Gila

485 29 0
                                    


"Kau benar benar ingin kedamaian? Aku terlalu baik jika memberinya dengan percuma," ujarku.

Irish menatapku bingung, "Aku benar benar minta maaf karena mencelakaimu, tapi aku berjanji melakukan segala hal demi dirimu!"

"Aku tidak berkata mengenai hal itu, aku bertanya kau ingin kedamaian atau tidak?" Aku berjalan mendekati Irish yang kini tampak berjalan mundur dengan raut wajah ketakutan. Dasar bocah bodoh, berlagak kejam tapi lihatlah dia sekarang seperti kelinci yang hendak di panggang.

Byurrr......

Dayang-dayang yang asik dengan pesta minum teh mereka, tak sadar jika Irish terjebur ke danau. Seketika wajah mereka panik dan berusaha memberi pertolongan. Ini bukan salahku, dia saja yang tolol hingga menjatuhkan dirinya ke danau.

Aku berdiri diam, menyaksikan gadis itu menengadahkan kepalanya. Ia berusaha keras untuk menghirup udara. Aku memasukan kakiku ke danau untuk mengukur kedalama danau tersebut, tak kusangka ternyata dalam. Pantas saja anak itu tenggelam.

"Nona, kasihan nona Irish. Mengapa anda terlihat santai dan memasukan kaki anda ke danau?" Salah satu dayang pengikut Irish memberi protes kepadaku. Siapa yang peduli jika anak itu mati.

"Nona Irish pingsan! Saya akan berenang!" Dayang yang tadi mencerca diriku, akhirnya ikut menceburkan diri disana. Kenapa si bodoh itu tidak berenang dari tadi, malah mengharapkan aku.

Wajah Irish tampak pucat setelah dibawa ke permukaan, Averio datang karena dipanggil pengikut Irish. Sebentar lagi pasti akan ada masalah baru.

"Lidya!!" Averio menatapku berang. Wajahnya terlihat khawatir ketika berusaha untuk menggendong Irish.  Namun ketika kembali melihatku, wajahnya akan berubah seperti iblis.

"Bukan salahku, kau tanya saja mereka,"

"Aku tahu rencana busuk dan pikiran kotor milikmu itu, jadi sampah sepertimu pergi saja dari kerajaan ini!" Setelah mengatakan hal itu kepadaku, Averio meninggalkan aku dan dayang dayangku.

"Nona, menangis?" Tanya Helena.

Aku tidak merasakan diriku menangis tapi mengapa air mata ini keluar dengan sendirinya. Aku tertawa karena Lidya yang bodoh ini benar benar lemah akan cinta.

"Helena, kalian pergilah aku akan mengurus berandal itu!"

"Tapi-"

Aku tidak peduli dengan perkataan Helena selanjutnya, hari ini aku harus memberi pelajaran pada Averio.

Aku berjalan ke ruang milik Irish, aku menemukan tabib memeriksa tubuhnya. Ada ayahanda juga disana, benar benar ayah yang baik.

"Hari yang indah," aku memasuki ruangan tersebut membuat semua perhatian tertuju padaku.

"Lidya, mari ikut ayah!" Ujarnya tanpa ekspresi.

Baru saja aku sampai sudah disuruh pergi lagi, bukankah aku ini baik ya? Menjenguk adik tiri yang lemah lembut.

"Ada apa ayah? Aku tahu ayah pasti akan menyalahkan aku. Aku akan terima, jika kau membuangku karena anak itu aku juga terima. Aku juga akan menerima kenyataan bahwa ibu Arabella yang tulus menyayangi diriku!" Semoga jika aku menangis seperti ini dia akan luluh.

"Lidya!!!!" Ayah berteriak, kelihatannya dia marah. Aduh, apa dramaku tidak berhasil?

"AKU AKAN PERGI DARI TEMPAT INI AYAH! JIKA KAU SENANG. AKU AKAN KEMBALI KE TEMPAT IBU BERADA. AKU AKAN BERITAHU PADA SEMUA ORANG JIKA KAU ADALAH RAJA YANG MENELANTARKAN ANAKNYA SENDIRI!"  Aku berteriak, seisi ruang menjadi sunyi. Tidak ada yang mengangkat bicara karena mereka tahu aku sudah biasa melakukan hal ini. Kecuali ayah yang menatap ku berang.

"Baik, tidak peduli bagaimana tanggapan rakyat diluar sana. Aku akan membiarkan dirimu keluar dari tempat ini!"

Kenapa? Ini tidak bisa dibiarkan, dadaku sesak, air mataku terus mengucur. Lidya bodoh, hentikan semua ini kenapa kau malah menangis. Kenapa kau harus menangis dihadapan seseorang yang bahkan rela membiarkanmu pergi. Lihat aku sebagai Dalilah, tidak pernah menginginkan cinta dari ayah. Kenapa aku tidak bisa mengendalikan tubuh ini, aku terus menangis.

"Terimakasih! Kau harus tahu kalau aku sedang menangis bahagia. Aku tidak menyangka, penantian ku terkabul," aku berusaha untuk memutar balikkan fakta bahwa sesungguhnya aku tidak mau angkat kaki dari tempat ini.

"Namun, sebelum aku resmi memutuskan hubungan ayah dan anak, bolehkah aku meminta hak?" Tanyaku, logika saja dengan apa aku hidup jika tidak ada uang.

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Raja.

"Aku ingin rumah mewah dengan pekarangan luas serta memilik paviliun di samping rumah. Aku juga ingin perhiasan, uang, aku juga ingin bangunan pinggir jalan tengah kota-"

"Kau keterlaluan, bukankah ini terlalu banyak?" Istri si Raja ini menghalangiku rupanya. Belum selesai aku bicara, terlalu banyak apanya bagiku ini masih kurang.

"Seharusnya setengah harta dari kerjaan ini milikku, karena aku adalah putri utama. Tapi aku masih bersikap baik untuk tidak egois terhadap putri malangmu, aku hanya ingin meminta sedikit tapi apa? Niat baikku disalah artikan. Padahal ak sudah mengalah!" Jawabku.

"CUKUP!" teriak Raja.

"Aku akan mengabulkan semua permintaanmu sebagai seorang ayah aku masih ingat hak seorang anak," ucapnya.

"Itu menunjukan kau tidak bodoh seperti istrimu," aku pergi meninggalkan mereka.

Aku tahu pasti hati wanita jelek itu terbakar, lagipula dia tak cocok bersama ayahku. Dasar jalang murahan.

Aku berjalan menuju kamarku, menggeledah seluruh lemari hingga laci. Aku memerintahkan seluruh dayang untuk mengemasi barangku. Aku mengumpulkan harta benda milik Lidya dan menyatukannya di peti yang besar.

"Selamat tinggal kamar Lidya, ku harap jiwamu tenang setelah ku bawa pergi dari neraka ini!"

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang