Komunikasi Mimpi

322 28 0
                                    

Nenek tidak mau singgah ke paviliun milikku, dia tampak terburu-buru menuju Istana Rebel. Aku penasaran apa rencana yang akan ia lakukan. Sekarang kami berdiri di lantai utama  Istana Rebel, wajah nenek terlihat serius. Semua pelayan disini tampaknya mengenal nenek, semua membungkuk memberi salam kehormatan.

"Panggilkan Mario, bawa dia kehadapanku!" Perintah nenek pada Moza, asisten kepercayaan ayah.

"Maaf Ibu Suri Agung, terdapat masalah besar di istana ini. Untung anda datang dan saya yakin anda adalah orang yang akan memberikan solusi bijak! Raja Mario terlihat sibuk dan kebingungan," Ujar Moza.

"Bawa aku kehadapannya, bedebah itu hanya dapat membuat masalah. Astaga, aku melahirkan anak yang sungguh menyebalkan!" Geram Nenek.

Kami akhirnya mengikuti arahan dari Moza, kami berjalan menuju lantai atas dan disana terlihat ayah berdiri di depan pintu kamar Irish. Tunggu, mengapa ayah berdiri disana? Apa jangan jangan Irish meninggal? Aku harap begitu.

"Mario!" Panggil Nenek dengan Tegas.

Tampak dari wajah ayah yang awalnya termenung menjadi ekspresi terkejut. Lalu, ayah mengerutkan dahi seakan memastikan bahwa yang memanggilnya adalah orang yang ia kenal.

"Ibu? Ibu tidak memberi kabar hendak kemari. Saya bisa menyiapkan banyak hal" ucap Ayah mencoba mengatur raut wajahnya.

"Untuk apa? Setelah aku mengutuk tempat ini, kau berharap aku mengabarimu jika aku hendak kemari?" Ucap Nenek.

Kami pun terdiam cukup lama, sampai seseorang keluar dari kamar milik Irish. Pria itu lalu berbicara pribadi dengan Ayah. Aku pun berjalan mendekati orang tersebut, ternyata dia adalah seorang medikus. Aku mencoba terus mendekati mereka.

Mataku terbelalak ketika mendengar pernyataan yang tak terduga, tiba-tiba nafasku tersengal-sengal. Pandanganku memudar perlahan, tidak tahu entah kapan, aku sudah terbaring di lantai.

Aku tertidur, secepat ini aku bermimpi.Hei, Baru saja aku terjatuh. Tapi, dimana aku? Ini seperti lebih dari sekadar mimpi. Aku bahkan berdiri dan bisa menyentuh diriku sendiri. Aku bisa berpikir, aku bisa bernafas.

"Dalilah" Aku mendengar suara memanggil, sampai panggilan ketiga barulah aku mencari sumber suara.

"Dalilah!" Kini suara sendu itu berubah menjadi suara amarah. Aku sedikit terkejut, seseorang yang awalnya terduduk membelakangi 'ku akhirnya menunjukkan wajahnya. Wajahnya mirip denganku. Apa jangan jangan dia?

"Aku Lidya, mengapa kau menyalahkan gunakan tubuhku! Aku memberi kesempatan untukmu hidup sebagai diriku, tapi kau mengecewakan aku," Ujarnya melemah. Ia tidak berkata apapun lagi, aku melihatnya menangis dan berusaha menyeka air matanya.

"Mengapa? Mengapa kau tidak berusaha mencuri hati Averio?" Lirihnya.

"Sekarang yang mengendalikan tubuhmu adalah aku, bagaimana bisa aku mengambil hati seseorang yang tidak aku cintai?" Aku tidak salahkan, bagaimanapun juga aku harus membela diri.

"Aku tahu, tapi tak bisa kau membuatku bahagia dari sini? Aku hanya ingin melihatmu bahagia bersama Averio. Itu membuat perasaanku senang," Lidya berjalan menjauh dariku, aku menarik tangannya agar ia tidak menyudahi pembicaraan kami.

"Semuanya terlambat," ucapku.

Lidya menundukkan kepalanya, "aku tahu, ini alasanku memanggilmu kemari,"

"Apa kau ingin aku membunuh Irish serta bayi yang ia kandung?" Tanyaku .

Aku tahu ia kecewa. Namun, jika ia menampilkan wajah sedihnya aku jadi ingin menangis. Amarahku pada Irish memuncak, seseorang yang amat Lidya cintai membuat Irish mengandung.

"Irish adalah makhluk berbahaya, setelah membunuhku ia hidup tenang seolah tak terjadi apa-apa. Kau harus lebih berhati-hati jika berhadapan dengan gadis itu!" Peringatnya.

Aku mengangguk setuju dan paham akan peringatannya. Sejauh ini aku sudah berusaha mencelakakan dirinya, tenang saja Lidya. Dengan menggunakan tubuhmu aku bisa melakukan sesuatu sepuasnya.

"Cepat atau lambat, kau akan menyusul diriku. Ini takdir. Namun, aku akan berusaha untuk membuatmu hidup lebih lama. Dalilah, pergunakan tubuhku sebaik mungkin. Sebelum kau pergi, lakukan hal yang bijak. Kau tak perlu mendekati Averio bajingan itu. Sampai jumpa,"

Dalam sekejap, ia menghilang. Tubuhku memudar seakan ada tarikan yang sangat kuat hingga akhirnya aku membuka mataku. Aku dikelilingi banyak orang. Ternyata jiwaku kembali ke tubuh Lidya.

"Nenek," wajah yang aku dapati pertama adalah nenek. Saat nenek membelai rambutku, aku menangis.

"Semua orang disini tahu kau mencintai Averio, tapi apa yang diperbuat mereka terhadapmu? Dasar tidak tahu diri, anak jalang itu harus tahu posisinya!" Tegas nenek.

Aku baru sadar ternyata ayah berada di samping nenek, ia memandangiku dengan perasaan bersalah, aku tahu itu dari rautnya menatapku lirih.

"Maafkan ayah, apakah ayah harus membatalkan perjodohan kalian?" Ayah membuka bicara langsung memberi tawaran. Setelah pembicaraanku dengan jiwa Lidya, aku yakin membatalkan perjodohan adalah solusi terbaik.

"Baik, ayah." Aku sedikit terisak.

Isakanku datang bukan karena jalan hidup yang menyedihkan. Aku ingin ikut Lidya pergi, aku tidak mau tinggal disini. Aku rindu ibuku. Aku ingin berbicara lebih lama dengan Lidya.

"Jangan menangis lagi, cucuku! Kita segera melakukan pembatalan perjodohan resmi dengan raja dari kerajaan Asgard. Kita harus menuntut tindakan buruk calon putra mahkota mereka!" Ujar Nenek.

Aku mengangguk lalu memandang wajah ayah yang memilih untuk diam. Mungkin, ia sudah berbicara dengan nenek.

Oh, Lidya. Ambil saja tubuhmu ini. Biarkan aku pergi, hidup sebagai dirimu benar benar menyiksa diriku. Aku benci dengan kisahmu.

Aku membangkitkan tubuhku, beranjak dari ranjang. Baru saja aku mulai berdiri, jantungku dikejutkan dengan kehadiran Irish. Gadis itu tersungkur di kakiku. Gadis itu tak ragu menarik kakiku sambil meracau tak jelas.

"Maafkan aku, jangan gugurkan bayi ini. Aku yang bersalah, bayi ini tidak salah. Maafkan aku, maafkan aku!" Ujarnya.

Apa? Gadis ini menangis? Akan aku beri kau pelajaran.

"Lidya, tolong hentikan!" Ayah berusaha membuatku berhenti, tetapi nenek menahannya.

"Lihat dan saksikan!" Ucap Nenek pada ayah.

Irish tak juga menyerah saat aku terus menginjak kakinya, kini aku memiliki ide di kepalaku. Rasakan ini Irish.

"Arhhhtttt!" Teriak Irish.

Aku terus menginjak kepalanya, lalu aku berjongkok untuk membuatnya berdiri dengan cara menarik rambutnya.

"Dia persis seperti ibunya," nenek tekekeh sembari menggelengkan kepalanya. Aku padamu nenek.

"Ini tidak bisa dibiarkan!" Ucap Ayah.

Ayah berjalan mendekatiku untuk melepaskan cengkramanku pada Irish. Ayah menarik Irish dan menenangkan gadis itu.

Plak!

Aku membeku, pipiku terasa panas. Aku memegang pipi kiriku, rasanya sakit. Sakit pada pipi ini tidak seberapa, tapi di dada. Rasanya sesak, sudah berapa kali ia menampar Lidya.

"Hei, bedebah! Kau menampar cucuku yang merupakan anak kandungmu? Aku bahkan tidak pernah menampar dirimu, Mario. Kau adalah anak kandungku, sebesar apapun kesalahanmu padaku, aku tidak pernah berpikir untuk menamparmu!"

Untuk membalas perbuatan ayah, aku menarik Irish yang masih berada dalam perlindungan ayah. Aku merebutnya dari ayah.








The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang