Mimpi

360 31 0
                                    

Nenek menolak singgah ke paviliun milikku, menunjukkan ekspresi yang terburu-buru menuju Istana Rebel. Aku hanya bisa menahan rasa penasaran tentang rencana apa yang akan ia lakukan. Perjalanannya begitu sunyi, hanya suara langkah kaki dan gemerisik kain yang mengiringi langkah kami di koridor istana. Akhirnya, kami tiba di lantai utama Istana Rebel, tempat semua pelayan tampaknya mengenali nenek. Mereka membungkuk dalam-dalam memberi salam kehormatan, sesuai etiket yang kaku dan formal.

"Panggilkan Mario, bawa dia ke hadapanku!" perintah nenek dengan suara tegas kepada Moza, asisten pribadi kepercayaan ayahku. Wajahnya penuh kewibawaan, tak terbantahkan.

Moza membungkuk rendah sebelum menjawab, "Maaf, Ibu Suri Agung, terdapat masalah besar di istana ini. Untung Anda datang. Saya yakin Anda adalah satu-satunya orang yang dapat memberikan solusi bijak. Raja Mario terlihat sibuk dan kebingungan."

Nenek mendengus, suaranya mencemooh. "Bawa aku kehadapannya. Bedebah itu hanya bisa membuat masalah. Astaga, aku melahirkan anak yang sungguh menyebalkan!" geramnya tanpa ragu.

Kami mengikuti Moza menuju lantai atas. Suasana istana terasa mencekam, pelayan-pelayan bergegas dengan wajah tegang. Saat kami tiba, aku melihat ayah berdiri di depan pintu kamar Irish. Wajahnya menegang dan matanya tampak terfokus pada sesuatu di balik pintu itu. Hatiku melonjak aneh. Mengapa ayah berada di sana? Apa jangan-jangan... Irish meninggal? Aku berharap itu benar.

"Mario!" panggil nenek dengan nada tegas, seperti petir yang menyambar di tengah keheningan.

Ayah menoleh, tampak terkejut. Dia mengerutkan dahi, memastikan suara itu berasal dari sosok yang dikenalnya.

"Ibu? Anda tidak memberi kabar hendak kemari. Saya bisa menyiapkan banyak hal," ujarnya, mencoba mengatur ekspresi wajahnya yang bingung.

Nenek menyipitkan matanya, pandangan menusuk. "Untuk apa? Setelah aku mengutuk tempat ini, kau berharap aku mengabarimu jika aku hendak kemari?" ucapnya dengan nada pedas.

Suasana menjadi tegang. Ayah terdiam, tak mampu membalas kata-kata nenek. Saat itu, seorang pria keluar dari kamar Irish. Dia mengenakan pakaian medikus, terlihat letih namun profesional. Ayah segera mendekatinya untuk berbicara secara pribadi. Aku, yang penasaran, mendekati mereka.

"Bagaimana kondisinya?" bisik ayah pada medikus itu.

Aku tidak mendengar jelas, tapi sesuatu dalam nada mereka membuat darahku berdesir. Aku mendekat lebih jauh, berusaha menangkap setiap kata. Namun, apa yang kudengar membuat mataku membelalak. Jantungku berdetak kencang, napasku memburu. Pandanganku memudar, dan sebelum aku menyadarinya, tubuhku terjatuh ke lantai.

Ketika membuka mata, aku mendapati diriku di tempat yang berbeda. Ini bukan sekadar mimpi. Aku berdiri di ruang kosong, udara dingin menyelimuti tubuhku. Aku bisa merasakan, bernapas, dan berpikir. Tiba-tiba, suara lembut memanggilku.

"Dalilah..."

Aku berbalik, mencari sumber suara itu. Suara itu memanggilku lagi, kali ini lebih keras dan tajam. "Dalilah!"

Sosok seseorang tampak duduk membelakangiku. Aku mendekat dengan hati-hati, hingga akhirnya dia menoleh. Wajahnya... mirip denganku. Tidak, bukan sekadar mirip. Dia adalah aku.

"Aku Lidya. Mengapa kau menyalahgunakan tubuhku?" katanya dengan suara bergetar, penuh emosi. "Aku memberi kesempatan untukmu hidup sebagai diriku, tapi kau mengecewakan aku."

Aku membeku, tidak tahu harus berkata apa. Lidya mengusap air matanya yang mulai mengalir.

"Mengapa? Mengapa kau tidak berusaha mencuri hati Averio?" tanyanya lirih.

Aku mencoba menjawab, meski suaraku terdengar lemah. "Sekarang aku yang mengendalikan tubuhmu. Bagaimana aku bisa mengambil hati seseorang yang tidak kucintai?"

Lidya terdiam, lalu berkata pelan, "Aku tahu. Tapi tak bisakah kau membuatku bahagia dari sini? Aku hanya ingin melihatmu bahagia bersama Averio. Itu akan membuatku tenang."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosi yang memuncak. "Semuanya terlambat," jawabku akhirnya.

Lidya menundukkan kepala, tampak patah hati. "Aku tahu. Ini alasanku memanggilmu kemari," katanya pelan. "Irish adalah makhluk berbahaya. Setelah membunuhku, dia hidup tenang seolah tak terjadi apa-apa. Kau harus berhati-hati dengannya."

Aku mengangguk. "Aku mengerti. Aku akan melindungi tubuhmu dan memberinya pelajaran yang setimpal."

"Cepat atau lambat, kau akan menyusulku. Ini takdir. Tapi sebelum itu, pergunakan tubuhku sebaik mungkin. Lakukan hal yang bijak. Kau tak perlu mendekati Averio bajingan itu. Semua tidak ada gunanya lagi. Sampai jumpa," ucap Lidya sebelum menghilang, meninggalkanku dalam keheningan.

Ketika membuka mata lagi, aku dikelilingi oleh banyak orang. Wajah nenek adalah yang pertama kulihat. Dia membelai rambutku dengan lembut, dan aku tak bisa menahan tangis.

"Semua orang di sini tahu kau mencintai Averio. Tapi apa yang mereka lakukan padamu? Dasar tidak tahu diri! Anak jalang itu harus tahu posisinya!" ujar nenek dengan nada tajam.

Ayah, yang berdiri di samping nenek, tampak bersalah. Dia menatapku dengan pandangan penuh penyesalan.

"Maafkan Ayah. Apakah Ayah harus membatalkan perjodohan kalian?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk, suaraku parau saat berkata, "Baik, Ayah."

Nenek tersenyum puas. "Jangan menangis lagi, cucuku. Kita segera membatalkan perjodohan resmi dengan membuat pertemuan dengan Raja Asgard. Kita juga harus menuntut tindakan buruk calon putra mahkota mereka!" katanya penuh semangat.

Namun, sebelum pembicaraan selesai, suara tangisan memecah ketegangan. Irish muncul, tersungkur di kakiku. Gadis itu menangis histeris sambil memohon-mohon.

"Maafkan aku! Jangan gugurkan bayi ini! Aku yang bersalah, bayi ini tidak bersalah. Maafkan aku, maafkan aku!" ujarnya sambil menarik kakiku.

Aku memandangnya dengan dingin. Amarah menguasai diriku. "Rasakan ini, Irish," bisikku. Aku menginjak kakinya dengan keras, membuatnya menjerit kesakitan. Ayah berusaha menghentikanku, tetapi nenek menahannya.

"Biarkan. Lihat dan saksikan apa yang pantas untuk gadis ini!" ujar nenek penuh keyakinan.

Aku menarik rambut Irish, memaksanya berdiri. Dia menangis keras, tapi aku tidak peduli. "Kau harus tahu tempatmu, Irish," gumamku sebelum menariknya lebih keras. Ayah akhirnya melangkah maju, menarik Irish dari tanganku dengan paksa.

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku tertegun. Ayah telah menamparku.

"Hei, bedebah!" nenek berteriak. "Kau menampar cucuku yang merupakan anak kandungmu? Aku bahkan tidak pernah menamparmu, Mario! Kau sungguh durhaka!"

Aku menyeka pipiku yang panas, tetapi rasa sakit di dadaku jauh lebih menyiksa. Dengan tangan yang gemetar, aku melangkah mundur sambil menatap Irish. "Kau belum selesai denganku," bisikku pelan. Dalam hati, aku bersumpah akan membuat hidupnya lebih menderita dari apa pun yang pernah ia bayangkan.

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang