"Apakah aku diberi kesempatan hidup hanya untuk menjadi peran pembantu dalam cerita hidup seseorang?"
***
Aku membuka mataku perlahan setelah mendengar bisikan lembut yang memecah kesunyian tidurku.
"Psst... Hei..."
"Eungghht..." erangku sembari mengerjap, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih membelenggu. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang dingin dan gelap, mencari sumber suara itu.
"Lidya, ini aku, Oliver!" suara itu akhirnya menyeruak, dan di tengah kegelapan aku bisa melihat sosoknya.
Aku membulatkan mata, mengenali siapa dia. "Oliver?" bisikku, menahan rasa terkejut. Adik Pangeran Averio berdiri di sana dengan senyum cerdiknya.
"Ada apa? Kau mau ikut masuk ke penjara kumuh ini?" tanyaku sinis.
Brugh...
Tanpa aba-aba, Oliver melompat dari jendela tinggi dengan lincah. Ia mendarat dengan sempurna di lantai yang keras, seolah tak terganggu sama sekali.
"Apa yang kau lakukan?!" Teriakku kaget.
"Ssst..." Oliver segera membungkam mulutku dengan telapak tangannya yang besar, membuatku bergelut untuk melepaskan diri.
"Mmmm..."
"Diamlah, Lidya. Kau ini benar-benar keras kepala," gumamnya sambil melepaskan tangannya dari mulutku. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Aku datang untuk mengucapkan terima kasih," katanya akhirnya, menatapku serius. "Aku bangga memiliki teman sepertimu."
"Kau mengejutkanku hanya untuk mengatakan hal membingungkan itu?" balasku dengan nada tajam.
"Rencanamu buruk sekali, tetapi kau mengorbankan dirimu demi diriku," ujarnya, mengeluarkan rantai dari balik jubahnya, lalu melemparkannya ke arah jendela tinggi tempat ia masuk tadi.
Aku memandanginya dengan bingung. "Rencana apa?" tanyaku, mencoba menggali ingatan yang terasa kabur.
"Hei, aku sudah menangkap rantainya. Naiklah!" suara seseorang dari luar memecah keheningan.
Oliver mengatur posisinya, bersiap naik ke jendela. Namun sebelum itu, ia menoleh padaku dengan senyum tipis. "Oh, dan selamat, kau akhirnya bertunangan dengan Pangeran Averio," ujarnya dengan nada setengah mengejek.
Aku mengangkat alis. "Lalu?"
"Aku akan membawa Irish kabur dan menikahinya tanpa pertunangan. Tapi tentu saja, aku akan mengundang teman tersayangku ini ke pesta pernikahanku," katanya sembari memanjat rantai dengan gesit.
Setelah sampai di atas, Oliver menjatuhkan rantai lagi kepadaku. "Ikutlah denganku. Aku tak tega melihatmu seperti tikus selokan di tempat kumuh ini," ledeknya.
Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah. "Dasar menyebalkan!" gerutuku, tetapi tetap meraih rantai itu. Kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali.
Namun saat mulai memanjat, lututku gemetar. Kaki-kakiku enggan diajak bekerja sama. Aku menatap ke bawah, merasakan ketakutan melandaku.
"Kau takut? Bukankah Lidya yang kukenal suka ketinggian?" tanya Oliver dengan nada menggoda.
"Aku takut mati," jawabku lirih.
Oliver tertawa kecil, tetapi kali ini suaranya terdengar hangat. "Tutup matamu, bayangkan kau bebas dari penjara ini," sarannya.
Aku memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu melompat. Seketika rasa takutku sirna, berganti dengan sensasi membebaskan yang mendebarkan.
Aku pun melompat. Awalnya aku takut, namun setelah meyakinkan diriku, aku jadi tak takut sama sekali. Rasa takut itu seakan sirna, yang ada hanyalah rasa gembira, bebas dan mendebarkan.
Hap...
Dua pria yang bersama Oliver menangkapku dengan sigap. Meski hatiku masih berdebar, aku merasa lega.
"Sepertinya aku tahu mengapa Lidya suka ketinggian" ujar Lidya setelah melepaskan tubuhnya dari tangkapan dua pria yang telah menolongnya itu.
"Maksudmu?" tanya Pria itu.
Aku tak menjawab.
"Memangnya kau bukan Lidya?"
"Iya, bukan!"
"Lidya, aku memang percaya padamu. Tapi tolong jangan membuat lelucon berlebihan." ujar Oliver.
Tak butuh waktu lama, aku akrab dengan Oliver. Lidya benar-benar memiliki teman baik. Ku pikir ia hanya punya banyak musuh. Sayang sekali, dua pria menyukai Irish secara bersamaan. Keduanya juga adalah orang berada. Mereka pangeran. Beruntungnya anak jalang itu.
"Akhirnya kau keluar," kata Oliver sambil menepuk punggungku.
Aku mendengus. "Jangan terlalu bangga dulu," sahutku, meski diam-diam aku merasa berterima kasih.
Kami berjalan melintasi jalan setapak yang remang-remang, diterangi oleh bulan purnama yang menggantung di langit. Suara gemerisik dedaunan mengiringi langkah kami.
"Itu danau yang indah!" ucapku spontan, mataku terpaku pada air yang tenang memantulkan sinar bulan. Di sekelilingnya, bunga liar dan rerumputan tampak seperti lukisan alam.
Oliver memandangku dengan alis terangkat. "Bukankah kau benci danau ini? Ini kan tempat favorit keluarga kerajaan berkumpul untuk menari," katanya heran.
Aku mengangkat bahu. "Aku berubah pikiran. Bagaimana kalau kita menari sekarang?" tantangku.
Okey sampai sini, minta votenya dan komen bolehlah ya😞

KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Princess✔️
FantasíaDalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu. Highest rank #2 | Pahlawan (13 February 2025) #13 | 2023 (13 February 2025) #22 | Jiwa (13 February 2025)