Dalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu.
Highest rank
#2 | Pahlawan (13 February 2025)
#13 | 2023 (13 February 2025)
#22 | Jiwa (13 February 2025)
"Jangan seperti itu pada majikan. Seekor anjing akan kelaparan jika majikan membuangnya,"
***
(
Putar Seven Nation Army-vintage cover)
Balkon kamar Lidya
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Entah sejak kapan aku menjadi suka merenung. Jika ada waktu senggang, aku menghabiskannya dengan merenung, memutar kembali kejadian hari itu dalam pikiranku seperti menonton panggung drama yang aku sutradarai sendiri.
Oh, betapa indahnya melihat wajah mereka yang kalah. Hati ini terasa penuh, seolah aku baru saja memenangkan peperangan besar. Aku tersenyum kecil sambil memerhatikan gaun yang kukenakan. Begitu menawan, bercahaya seperti aku—tapi sayang, aku harus menggantinya malam ini dengan gaun tidurku.
Langit malam semakin gelap, tapi aku enggan masuk ke kamar. Balkon terlihat seperti tempat yang sempurna untuk menikmati malam ini. Aku melangkah keluar, membiarkan angin malam menyentuh kulitku, membelai rambutku seperti seorang kekasih yang malu-malu.
"Tuan Putri, nanti masuk angin!" tegur Helena, pelayan setiaku, yang datang dengan nampan kosong di tangannya.
Aku memiringkan kepala, tersenyum kecil tapi malas menjawab. Biarlah dia mendekat jika memang ingin bicara.
"Aku tahu beban yang Tuan Putri rasakan," katanya dengan nada penuh simpati, matanya menatapku seperti aku adalah gadis rapuh yang perlu dilindungi. "Pasti berat memiliki ibu tiri dan adik tiri yang... yah, licik."
Aku tersenyum kecil, mengangguk seadanya. "Terima kasih sudah menemaniku," balasku pelan, walaupun sejujurnya aku ingin sendiri.
Aku melambaikan tangan, menyuruh Helena pergi. Ia terlihat ragu, wajahnya menunjukkan kecemasan, tapi akhirnya ia menuruti perintahku. Setelah dia pergi, keheningan kembali menguasai malam. Namun, tak lama, suara bising dari arah gerbang menarik perhatianku.
Aku berjalan meninggalkan balkon, sedikit berlari untuk memuaskan rasa penasaranku.
"Tuan Putri, mau ke mana?!" tanya para dayang di belakangku, tapi aku hanya melambaikan tangan dengan santai.
"Jangan ikut. Aku hanya ingin sendiri!" jawabku dengan nada setengah malas, setengah menyuruh.
Ketika sampai di tangga besar, aku melihatnya—Irish. Dia berlari menuju gerbang seperti rusa ketakutan. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku. Sosok pria bertubuh kekar dan tampan berdiri di sana. Aku memperhatikan wajahnya lebih jelas, dan darahku mendidih ketika aku mengenalinya.
"Pangeran Averio."
Aku mendengar Irish memanggil namanya dengan suara manis yang dibuat-buat, seperti madu yang disiramkan terlalu banyak. Menjijikkan. Dia bahkan membungkuk dengan sopan, memandangnya seperti dia adalah pahlawan yang baru saja menyelamatkannya.
Oh, ini lebih dari sekadar keberanian. Ini penghinaan. Bukankah Averio adalah tunanganku? Dan sekarang, dia berdiri di sini, berbagi momen rahasia dengan gadis licik itu.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah yang bergemuruh di dadaku. Dengan langkah penuh wibawa, aku mendekati mereka. Sepatu hak tinggiku mengetuk lantai batu dengan ritme yang sempurna, setiap langkahku menarik perhatian mereka.
Mata mereka membelalak ketika mereka melihatku. Oh, aku suka efek ini. Irish terlihat seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue, sementara Averio mencoba menyembunyikan rasa bersalahnya di balik senyum palsu.
"Benar-benar pemandangan yang indah," kataku dengan nada dingin namun santai. "Dua kekasih yang saling mencintai. Aku berharap aku bisa hadir di pernikahan kalian."
"Aku tidak tahu maksudmu," kata Averio datar, tapi aku bisa melihat rahangnya mengeras.
"Putri Lidya, kuharap kau menjaga bicaramu. Kau adalah Putri Utama!" bentak Ayah tiba-tiba, muncul dari belakangku.
Aku memutar mata dalam hati. Benarkah, Ayah? Kau akan membelaku atau mereka?
"Hiks, Ayah..." aku mulai menangis pelan, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku hanya ingin mendukung Irish agar dia bisa bersama Pangeran Averio. Tapi... tapi... kau malah membentakku. Ayah, aku ini anakmu!"
Ayah langsung melunak, wajahnya berubah penuh penyesalan. "Putriku, maafkan Ayah! Kau boleh menghukum Ayah jika itu membuatmu merasa lebih baik."
Aku menahan diri untuk tidak tertawa. Ah, begitu mudahnya dia dipermainkan. Aku melirik Irish yang terlihat semakin gelisah. Ini saatnya untuk menyerang.
Aku berjalan ke arahnya, tatapanku tajam. Semua orang memandang kami, termasuk para bangsawan dari wilayah Averio.
"Irish," kataku dengan nada yang terdengar manis tapi beracun. "Apa kau puas? Kau sudah merebut Ayahku. Sekarang dia lebih memilihmu daripada aku. Apa salahku? Aku bahkan sudah memberikan Pangeran Averio kepadamu, tapi kau juga mengambil Ayahku?"
"Kakak jangan marah!" jawab Irish dengan nada memelas, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak tahu apa-apa, sungguh!"
"Putri Lidya, kau terlalu jauh," sela Averio, suaranya tegas. "Putri Irish tidak melakukan apa-apa."
Aku menatap Averio sebentar, tersenyum tipis. "Oh, Pangeran. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan?"
Lalu, aku mendekatkan wajahku ke arah Irish, menatapnya lurus ke matanya yang mulai berkedip-kedip panik. Aku tersenyum lebar. "Irish, kau benar-benar berbakat bermain drama. Tapi tahu apa yang lebih menarik? Ini."
Aku tiba-tiba merintih keras, tubuhku terhuyung ke belakang.
"Argghhh!" ringisku, jatuh ke tanah dengan elegan.
Teriakan panik langsung terdengar. Para pelayan dan Ayah berlari mendekat, sementara Irish membeku di tempat, wajahnya pucat seperti hantu.
Ayah memerintah pengawal untuk mengangkatku, dan mereka membawaku ke kamar dengan hati-hati. Aku membiarkan mereka meletakkanku di tempat tidur, sementara aku pura-pura memejamkan mata, menikmati perhatian yang membanjiri diriku.
Namun, aku membuka mata sedikit ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Itu dia. Irish, datang dengan wajah ketakutan.
"Averio, tinggalkan kami," katanya dengan suara kecil.
Ketika yakin Averio sudah pergi, aku membuka mataku perlahan, menyeringai lebar.