Pergi

347 27 0
                                    

Aku tak menyangka tua bangka itu rela bila anaknya pergi, apakah ia tidak memiliki rasa sayang pada Lidya? Aku memandangi tubuh ini di cermin, benar-benar malang.

"Helena, aku memiliki rencana." Aku tersenyum pada pantulan wajahku di cermin, entah apa yang ada di pikiranku hingga memiringkan sedikit ujung bibirku.

"Saya harap bukan ide yang buruk lagi, Nona. Saya tidak mau Anda terluka!" jawabnya khawatir, matanya memandangku dengan campuran cemas dan penuh harap.

Aku menggelengkan kepala, sedikit mengangkat bahu yang mulai terasa pegal karena barang bawaanku. "Kau tahu bagaimana kabar nenek?" tanyaku sambil melipat gaun yang akan kubawa dengan hati-hati.

Helena terdiam sejenak, seperti mengumpulkan ingatannya sebelum menjawab. "Anda tahu, Yang Mulia Victoria terakhir kali saya dengar hidup terisolasi. Beliau memiliki kemarahan luar biasa pada kerajaan Azalea. Entah apa penyebabnya, saya tidak tahu. Karena ini semua hanyalah rumor," jelasnya, suaranya nyaris berbisik.

Ingatan Lidya melintas di benakku. Aku melihat seorang wanita tua dengan tatapan tajam, terakhir bertemu dengannya saat umurku masih enam tahun. Setelah itu, tidak pernah lagi. Mengapa? Apakah nenek adalah dalang di balik semua ini? Atau hanya korban seperti aku? Segalanya tampak mencurigakan, tetapi membuatku semakin penasaran.

Kami berjalan keluar kamar, melewati lorong istana yang dingin dan sunyi. Ternyata beberapa pelayan telah berkumpul menyambut kami di depan pintu besar. Di sana, ayah dan keluarga kecilnya berdiri, seolah menikmati kejatuhanku. Sangat lucu jika mereka tahu sebentar lagi aku akan membuat mereka menyesali segalanya. Putri kesayangan mereka akan kubakar di depan mata mereka. Andai saja semua itu benar terjadi.

"Kami telah mempersiapkan mobil untuk membawa barang bawaan," Mazo, kepala pelayan istana, menghampiriku dan menuntunku ke luar. Sikapnya yang berlebihan membuatku hampir tertawa.

Dari kejauhan, tampak Lucas berlari mendekat ke arahku. Wajahnya terlihat gusar dan khawatir. Nafasnya tersengal ketika ia akhirnya berdiri di depanku.

"Ayah mengusir Kakak! Kau jaga diri di sini. Kakak sudah memutuskan hubungan ayah dan anak dengan Raja Mario. Aku harap ini keputusan yang baik!" sengaja kubesarkan suaraku agar semua orang di sini dengar, terutama ayah. Aku ingin rumor ini sampai ke seluruh penjuru istana. Aku ingin rakyat mendengar betapa tidak adilnya raja mereka.

"Kalau Kakak butuh bantuanku, separuh harta kerajaan Azalea ini pun rela kuberikan, termasuk gelarku!" Lucas berseru, suaranya tegas meskipun penuh kesedihan.

Aku menatap Lucas dengan senyuman pahit. "Adikku yang manis, Kakak ingin sekali melihatmu berdiri dengan mahkota raja dan duduk di singgasana. Aku harap kau menjauhi pikiran bodohmu itu. Jika ibu tahu, dia akan sedih di atas sana!" Aku memeluk Lucas erat, berusaha menenangkan gejolak emosinya. Namun, saat hendak pergi, Lucas menarik tanganku dengan tatapan penuh tanya.

"Kak, kenapa kau tahu ibu sudah tiada? Kau bilang ibu ada di atas sana." Suaranya bergetar, matanya membeku.

Astaga, aku lupa. Adikku ini tidak tahu mengenai ibu. Aku mengutuk diriku sendiri karena tidak memikirkan hal ini lebih awal. Bagaimana cara menjelaskan semuanya?

"Kakak harus segera pergi. Lain kali, jika waktunya tepat, Kakak akan menceritakan semuanya!" Aku melepaskan diri dengan lembut dan masuk ke dalam mobil kerajaan dengan tergesa, diikuti Helena yang setia. Dayang yang lain? Aku pulangkan saja. Saat ini, aku hanya butuh satu pelayan yang bisa kupercaya.

"Kita akan ke tempat yang Raja berikan kepada Nona. Di sana terdapat barang mewah dan peti berisi perhiasan," jelas sopir, memecah keheningan di dalam mobil.

"Hanya itu? Seharusnya dia sadar kalau aku minta terlalu sedikit dan menambah beberapa tanpaku minta!" protesku sambil melipat tangan di dada. Membayangkan saja aku sudah muak.

"Anda belum melihat bagaimana kastil yang diberikan Raja," katanya dengan nada tenang.

"Kastil?" tanyaku memastikan, mataku membelalak.

Sopir mengangguk. "Benar, sangat mewah. Ini adalah bangunan yang diimpikan Yang Mulia Rosalina. Namun, Anda yang mendapatkannya. Sungguh beruntung!"

Aku menatap sopir itu dengan penuh selidik. Sepertinya dia tahu banyak hal. "Kau tahu banyak hal. Aku suka itu," kataku, mencoba menggali lebih dalam.

Sopir tua itu terkekeh. "Di umur saya yang setua ini dan menjadi sopir kepercayaan seorang Raja, pastinya saya mengetahui banyak hal."

"Kalau kau diberi pilihan, kau mau jadi orang kepercayaan Raja atau aku?" tanyaku, penasaran dengan jawabannya.

"Apa bedanya jadi kepercayaan Raja ataupun Nona Lidya? Bukankah sama saja?" jawabnya diplomatis.

Pintar sekali dia. Sepertinya dia berhati-hati dalam situasi seperti ini. Aku harus waspada.

"Entahlah, Raja sekarang berbeda. Aku tak yakin dia akan memimpin seperti dulu. Semoga saja kinerjanya semakin baik. Tapi aku rasa kinerjanya semakin buruk. Lihatlah rakyat, mungkin hanya kalangan kaya saja yang bahagia. Tapi bagaimana dengan kalangan bawah?" Aku mengarang, mencoba menguji reaksinya. Sesungguhnya, aku tidak tahu kondisi rakyat kecuali kondisiku sendiri dengan ibu saat dulu.

"Anda pemerhati juga. Tapi Anda perlu bukti jika ingin membicarakan sesuatu. Dan kita harus hati-hati pada mereka yang sudah membuat rencana jauh-jauh hari," katanya. Perkataannya terdengar seperti peringatan, tetapi sikapnya yang terkekeh membuatku sulit membaca situasi.

Aku memutuskan untuk tertidur, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Beberapa jam berlalu tanpa terasa.

"Kita sudah sampai ke tujuan!" kata sopir. Mobil berhenti mendadak, membuat jidatku mengenai jendela. Ngilu rasanya, tapi segera terlupakan ketika pandanganku jatuh pada gerbang besar di depan.

Gerbang itu setinggi empat kali manusia, dihiasi ukiran rumit dan megah. Di baliknya, hamparan rumput hijau terbentang luas dengan patung-patung megah di setiap sudut. Mobil terus berjalan hingga kastil itu tampak. Satu kata: luar biasa. Bahkan kata itu pun tidak cukup untuk menggambarkannya.

Lalu ada paviliun di bagian belakang, berdiri di atas danau yang memantulkan sinar matahari sore. Sebuah jembatan indah menghubungkannya dengan daratan.

"Kalau begini ceritanya, aku bisa hidup bahagia. Andai ibu masih hidup, pasti dia menjadi ibu paling bahagia di bumi ini!" seruku kegirangan, tak peduli bagaimana reaksi mereka. Toh, mereka akan pergi dan aku tak membutuhkan mereka. Kecuali Helena dan sopir tua itu.

"Hei, Pak Sopir. Aku tak akan membiarkanmu kabur tanpa memberikan sesuatu!" kataku dengan senyum misterius, memandangi kastil yang kini menjadi milikku.

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang