Level 041

227 44 0
                                    

“Pffftt….”

Wanita yang meletakkan makanan penutupku tertawa kecil, menertawakan piring bersihku yang tidak berkurang sedikitpun isinya. Sungguh suara kecil yang hanya bisa didengar oleh telingaku.

Mata kami bertemu. Matanya dipenuhi dengan ejekan seolah dia sekarat karena kegembiraan.

‘Ohho… Jadi mau main-main ya? Oke, siapa takut.'

Aku segera menjatuhkan sendok terkecil ke lantai sebelum dia pergi.

Klang— Sendok perak dan lantai saling bertabrakan, menimbulkan suara yang cukup keras. Secara alami, semua orang di ruang makan menatapku.

"Oh maaf. Tanganku tergelincir.”

“………”

“Bisakah kau mengambilkannya untukku?”

Aku mengedipkan sebelah mata untuk meminta maaf. Bu Donna juga acuh tak acuh tentang perilakuku yang tidak terduga.

Dia tampak sangat santai, seolah-olah dia bisa melakukan apa saja.

"Tentu. Jangan khawatir tentang itu, Nona."
Jika itu Penelope, apakah dia akan melemparkan sendok ke kepala Bu Donna dan sudah bangkit?

'Tidak.'

Aku menegaskan ke diriku sendiri.

Dia adalah wanita, yang menurut kata kepala pelayan, selalu hadir dalam setiap penjamuan makan dengan Duke meskipun tidak diundang. Dengan kata lain, tidak ada orang lain yang berurusan dengannya kecuali pada saat seperti ini.

Ini adalah makan malam keluarga di mana dia hanya duduk diam disaat percakapan yang menyenangkan saling dipertukarkan.

Ini adalah posisi di mana dia memaksa dirinya untuk duduk sambil menanggung keterasingan dan kesengsaraan.

Namun, jika dia protes tentang peralatan makan itu, Duke mungkin tidak akan mengizinkan jamuan makan keluarga lagi.

Penelope tahu ini dengan baik. Oleh karena itu, dia menahan rasa lapar dan amarahnya dengan putus asa. Jika dia tidak bisa berpartisipasi dalam acara ini, dia tidak akan pernah bertemu dengan keluarga ini.

‘Tapi aku bukan dia.’

Aku memandang ke arah Bu Donna, yang wajahnya begitu tanpa ekspresi sampai membuatku malu dengan keributan ini

Dan. Klang-!

"Ya Tuhan! Maaf. Tanganku tergelincir lagi."

Sendok terkecil kedua jatuh di depan Bu Donna, yang baru saja bangun setelah mengambil sendol yang kujatuhkan.

Perhatian semua orang terarah padaku.

Duke menendang lidahnya memprotes,

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Maafkan aku. Pudingnya terlalu lembut sampai-sampai sendoknya terus tergelincir." Jawabku sambil mengangkat bahu.

Mata biru Derrick yang dingin tertuju padaku. Rennald tidak berbeda.

"Tidak apa-apa, nona."

Bu Donna mengambil sendok kedua yang jatuh di sampingnya tanpa mengeluh.

Dan disaat dia mulai besar kepala,

Klang, klang, klang–

Aku melempar sendok terakhir tepat ke lantai.

“Penelope Eckart.”

Wajah dan suara Duke membeku dalam sekejap.

"Ha? Apa yang sedang kau lakukan?"

Rennald tertawa seolah tercengang, dan Derrick memelototiku dengan wajah cemberut. Huruf putih di kepala mereka mulai berkedip.

The EckartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang