Level 050

283 45 0
                                    

Meski aku bisa menginjak kesatria yang menindas Eckliss seolah itu bukan apa-apa sebelumnya, aku tetap tidak akan bisa melakukan apapun jika yang memimpin mereka adalah Rennald. Jadi aku tidak mengatakan apa-apa lagi tentang solusinya.

Aku juga berjalan di atas es tipis hari demi hari di tengah penyiksaan dan penghinaan mereka.

“… Kau dan aku, kita memiliki kehidupan yang buruk.”

Tiba-tiba, tawaku meledak. Bagaimana aku bisa memilih ML, yang berada di garis bawah bahkan meski tahu dia ditindas habis-habisan?

Kalau dipikir-pikir, akulah yang memilih situasi ini. Aku tahu bahwa lebih mudah memenangkan hati orang yang tidak memiliki apa-apa daripada orang yang memiliki banyak hal.

"Ambil ini."

Mustahil bagiku untuk memberikan hadiah kejutan dengan wajah cantik seperti pahlawan wanita dalam mode normal.

Aku mengendurkan cengkeramanku pada kalung itu, dan mengulurkannya padanya.

"Ini…"

“Itu memang seperti mainan, tapi sebenarnya itu pedang. Pegang pegangannya dan cobalah."

Eckliss menatap kalung dariku dengan tatapan bingung. Seolah tidak percaya itu pedang.

"Cepat."

Atas desakanku, dia dengan enggan mengangkat mainan itu dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Saat itulah.

Cahaya terang keluar dari tangannya, dan di titik yang Eckliss pegang, sebuah pedang panjang muncul.

"Ah."

Eckliss melihat pedang yang muncul entah dari mana dengan mata membesar.

Tidak seperti pedang lain, pedang itu terlihat kokoh tanpa satupun permata atau ornamen, tapi cahaya yang mengalir melalui bilahnya tidak terlihat biasa.

'Aku berencana meminta pengembalian uang 10 kali lipat jika pedagang itu berbohong, tetapi ternyata benar?'

Entah karena dia seorang ML atau apa, Eckliss, yang mengenakan pakaian latihan baru dan berdiri dengan pedang besi besar di satu tangannya, terlihat cukup modia.

Tidak ada yang akan mengira bahwa dia seorang budak.

Aku bisa merasakan kerumunan orang di sekitarnya meliriknya.

"Ini … "

Eckliss tergagap, menatap pedang di tangannya. Suaranya terdengar tersumbat.

Aku membuka mulutku sambil melirik pedangnya yang berkilau.

"Di Kerajaan Inca, budak dari negara yang kalah tidak diizinkan untuk memakai pedang."

“…”

“Tapi jika kau tidak berubah pikiran untuk menjadikanku sebagai mastermu, aku akan menjadikanmu sebagai …“

“…”

“Ksatriaku satu-satunya.”

Pupil Eckliss membesar, lebih besar daripada saat dia melihat kalung itu berubah menjadi pedang.

"Apa pilihanmu?"

Awalnya, aku tidak berencana memberinya pedang dan mengancamnya seperti ini.

Seperti pahlawan wanita dari Mode Normal, aku bermaksud mengucapkan kalimat menyentuh, mengatakan, 'Tidak peduli siapa kau, kau adalah kesatria bagiku
selamanya.'

'Ha ha. Aku sangat tersentuh oleh ucapanku sendiri sampai tidak bisa berkata-kata.'

Sejak aku mengungkit topik penindasan, suasananya menjadi kacau, yang berpuncak pada ancaman.

The EckartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang