DAY 14

3.7K 491 71
                                    


Sekretariat Ekskul kepenulisan agaknya sama berisik seperti keadaan di kelas tadi, membicarakan satu hal.
"Nah, Jimin dateng juga," Jay segera menyambut dirinya yang kini kebingungan.

"Ada apa?"

Jay menghela napas, "mau nggak mau berita ini harus ada di mading, kita perlu buat sesuatu sebagai kenang-kenagan atas hari ini." Jelasnya.

Jimin mengerutkan keninng, "gila lo?"

"Ji, ini berita gede. Kita bisa dapet banyak benefit dari kejadian ini." Ucap Jay mencoba untuk meyakinkan Jimin. "Ini juga kesempatan buat lo, nama Yoongi udah jelek, hastag dia turun drastis. This is your time Ji, lo bisa manfaatin semua ini buat diri lo."

"Maksud lo gue harus menang di atas penderitaan orang lain, gitu?"

Jay menghela napas, "Ji, jangan munafik. Dunia hari ini kalo lo nggak cepet lo nggak akan bisa dapet apapun. Ini kesempatan langka yang gak akan pernah lo dapet lagi, Park Jimin."

Jimin menggeleng dan tertawa, "Tanpa perlu jatuhin Yoongi gue juga bisa menang, Jay, lo nggak usah kaya orang pathetic gitu lah."

"Ck, terserah lo lah, asal sekarang kasih ide untuk header berita mading."

"Gue ketuanya, lo jangan banyak ngatur. Okay semua! Duduk dulu, kita berbincang dikit."

----


Kotor!!

Sampah!

Jijik woy!

Bisa nggak sih dia pindah sekolah aja?

Gay sampah!

Jijik sukanya sama cowok!

Sadar diri woy!

Homo!

Yoongi membiarkan caci maki itu melayang dan masuk ke telinganya lalu mengabaikannya. Karna apa? Ia sadar jika ia hanya punya dua tangan yang mana tak cukup mampu untuk menutup mulut mereka semua, maka lebih baik Yoongi menggunakan kedua tangannya untuk menutup telinganya.

Karna sebenarnya, ia juga tak akan mau kalah mengenai seksual orientasinya. Ia telah mencoba jujur pada dirinya sendiri dan apabila sosial tak mendukungnya, harusnya itu tak apa-apa. Karna ini hidupnya, ia bisa mencintai siapapun yang ia mau, ia bisa menjadi apapun yang ia inginkan.

Mengenai caci maki-yang-pasti-akan melukai mentalnya, tak apa. Ia hanya ingin mereka tahu jika sebenarnya Yoongi akan mempertahankan pendiriannya mengenai siapa saja yang bisa ia cintai. Entah itu laki-laki ataupun perempuan.

Walaupun lemparan kertas dengan hate speech di dalamnya itu tak kunjung reda. Namun Yoongi agaknya sudah mulai harus terbiasa duduk tenang dengan kekacauan mengenai dirinya di depan mata.

Sekolah tak mengusut, tak memberi respon, seakan menulikan diri dan bertingkah jika semuanya hanyalah kekacauan anak remaja yang akan mereda nantinya.

Karna kebanggan diri Yoongi masih menetap disana, abdianya pada sekolah ini sudah terjunjung tinggi. Nama baik sekolah ini menjadi luar biasa melambung juga ada jerih payahnya disana.

Sekolah tak akan berani menghakiminya, walaupun Min Yoongi yang sekarang telah melanggar norma, tetap saja ia masih Si Jenius Pecandu Matematika. Akan selamanya begitu. Karna jelas, usahanya tak main-main.

Maka kenapa Yoongi harus takut? Ia berhak menjadi dirinya sendiri.

••••

Sore hari selepas ekskul, Jimin pulang di jemput mobil. Ia menghela napas lelah. Seharian ini, ia melihat dengan jelas penolakan besar-besaran warga sekolah pada Yoongi.

"I'm glad Yoongi doesen't give a fuck about this."

Jimin lega. Yoongi tak merosot secepat itu. Lelaki itu tak pula melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat dari atas gedung. Setidaknya itu adalah hal yang dapat membuat Jimin yakin jika Yoongi akan bertahan.

Keadaan sekolah begitu mengerikan, hinaan-hinaan berlebihan itu terpampang bebas di mana-mana. Dan Jimin bukannya takut jika ia juga ketahuan, ia hanya tidak tahu akan sekuat Yoongi atau tidak.

Karna jika waktunya telah tiba, ia juga mungkin akan mereima stigma. Namun Jimin juga ingin jujur pada dirinya sendiri, pada orang lain, jika ia tak menyukai wanita.

"Dek, mau mampir street boba dulu?" Supirnya menginterupsi lamunan beratnya.

"Hm? Enggak dulu deh Pak, aku mau pulang aja."

Supirnya mengangguk paham lalu mulai melajukan mobil menuju tumah dengan kecepatan sedang.

Jimin gugup sekali jika ia sudah ingin bertanya-tanya mengenai seksual orientasinya. Topik berat dan sensitif itu selalu membuatnya berpikir dan kebingungan.

Namun semenjak ia rutin hadir pada acara gay-prom itu, Jimin paham bahwa ia bisa mencintai siapapun.

Ini semua berawal dari hari dimana Ibunya meninggal, terkena serangan jantung dan tak lagi dapat terselamatkan saat ia baru berusia sepuluh tahun.

Lalu ia hanya tinggal bersama Papanya. Papa yang baik dan perhatian. Jimin selalu berpikir, ia suka di sayangi, ia senang dimanjakan. Karna pada saat ia berkencan dengan wanita, mereka lah yang ingin di manja oleh Jimin. Dan Jimin tak menyukai itu.

Lagipula, selama berkencan dengan mereka Jimin hanya main-main. Sekali lagi, hanya atas dasar ingin mengalahkan Yoongi.

••••

"Capek, Ji," Yoongi menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan.

"Gak papa, lo hebat, lo kuat. Gue percaya sama lo."

Yoongi mendongak. "Mereka semua benci sama gue. Salah emang jadi gue?"

"Memang gak pernah ada pembenaran kalo tentang hal yang lo rasain. Tapi lo manusia, lo berhak punya dosa."

"Tapi Ji–"

"Cari pacar ya? Cowok juga nggak papa. Lo ada suka sama orang?"

Yoongi mengangguk. "Ada."

••••

Double Ji

it's okay to love your enemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang