3. Pertemuan Seharga Tiket Harian

217 27 1
                                    

Suara Gita 🍁


Aku bersorak sejadi-jadinya begitu nama Bagas disebut ke podium saat pemberian medali. Banner yang sudah kusiapkan bersama Dyra kami angkat tinggi-tinggi agar semua orang melihat manusia yang kadang-kadang keren ini adalah teman kami.

"Minum dulu nih minum. Huuuu atlit nasional kita." Sambutan bahagia begitu dia menuju ke arah kami. Sebotol air mineral sudah siap menyegarkan. Kontribusiku dalam kesuksesan dia emang cuma nyediain air minum sama teriak-teriak hebat.

"Keren asli gue." Sambil mengembalikan botol minumnya kepadaku. Disambut Dyra dengan dua jempol ke arah Bagas.

"Nama asli lo sebenernya Bagas Sanjaya bukan sih?"

Segala ekspresi kami tunjukkan demi membangun suasana bahagia ini sampai tiba-tiba kedengaran sayup-sayup ciutan orang lain yang mengatakan kalau kami terlalu berlebihan untuk seorang penerima medali perunggu dalam ajang yang tidak bergengsi ini. Sejenak suasananya berubah hening sampai kami lihat-lihatan satu sama lain. Ekspresi kami antara malas mendengarkan dan menahan sedikit malu. Kemudian tidak ada alasan untuk kami tidak pergi dari situ. Bisa dibilang aku beruntung dikelilingi orang-orang yang napas aja udah bikin sayang. Setelah awalnya aku kecewa tidak sekampus dengan Hana, ternyata aku dikumpulkan dengan dua orang bertolak belakang ini. Pertemuan yang diawali dengan pertanyaan lokasi ruang kelas dari aku kepada mereka, sampai akhirnya kami menemukan kecocokan satu sama lain, atau hanya perasaanku saja. Dengan Bagas, Gita, dan Sadyra, sempurnalah perkumpulan ini menjadi BGSD.

"Loh ko belok? Bukannya kita mau ke kantin?" Kupikir kami sejalan tapi mereka malah ke arah parkiran motor.

"Lo aja, gue balik." Jawab Bagas singkat dan langsung pergi. 

Sambil menunjukkan punggungnya padaku, dia melambaikan sebelah tangan dengan santai sebagai tanda pamit. Aku bisa lihat Dyra bingung mau ikut siapa walaupun sudah pasti dia akan ke supir ojeknya itu karena kalau tidak dia mau pulang dengan siapa. Emang sih ini hari Sabtu, waktu terbaik untuk tidur siang. Tapi kan memenuhi kebutuhan sebentar juga tidak membuang-buang waktu istirahatmu. Dasar nggak setia kawan. Ternyata memang cuma aku yang menganggap kita ini teman.

Lapar di perutku ini sudah tidak bisa dibendung lagi gara-gara teriakin si Bagas tidak tau diri itu. Padahal aku tidak berharap ditraktir. Berharap sih tapi nggak banyak, tapi siapa juga yang menyangka akan ditelantarkan begini. Aku terpaksa menuju kantin jurusan terdekat sendirian. Ramai juga kantinnya. Karena lagi ada event ini, manusia-manusia jadi banyak berkumpul di sini. Tetap tidak mengurungkan niatku untuk makan siang. Aku lihat semua meja hampir penuh, terpaksa harus berbagi meja dengan orang lain.

"Join ya." Kataku yang langsung disambut baik dari laki-laki yang tidak kukenal ini.

"Iya silakan."

Apa sih ini. Kok euphoria kemenangan Bagas udah berhenti sampe sini? Gini doang?

Kenapa juga ini ayam keras banget. Ayo dong bantu aku makan dengan tenang!

Kletakk!! Sendok dan garpu yang barusan kupakai untuk memotong ayam kemudian bersiteru dengan piring. Akibatnya, tahu goreng yang tadinya di piringku begitu saja melayang ke piring laki-laki yang sedang makan di depanku.

Mampus! Apa? Gue harus ngapain? Ngumpet? Kabur? Atau pura-pura mati?

Ini baru defenisi waktu terasa berhenti berputar. Saking malunya aku sampai tak bisa bergerak. Bodoh banget aku astaga!

"Wah makasih ya."

"Ha?" Aku masih bengong ga habis pikir.

"Makasih, udah ditambahin lauknya." Sial! Aku malah tertawa sok asik menanggapi sarkasnya. 

Ternyata orang-orang di sebelah kami juga menikmati pertunjukan barusan. Kelihatan muka-mukanya tersenyum tipis seperti menahan hasrat ingin tertawa.

"Atau masih mau diambil lagi?" Lanjutnya. 

Serius aku mati gaya. Akhirnya sambil menahan malu, kuambil kembali tahu yang kurang ajar itu lalu langsung kukunyah dengan canggung.

***

Aku berjalan seorang diri menuju gerbang. Apalagi kalau tidak pulang. Sungguh membosankan hidup ini kalau tidak ada barang seorang pun yang mengajak main. Ke mana semangatku tadi pagi?

"Gigi!" Aku tersentak. Kenapa aku merasa seperti dipanggil padahal tidak mungkin ada orang di Jakarta yang memanggilku dengan nama itu.

"Gita!" Ah, Aini. 

Dia datang dengan maksud ingin memintaku untuk menemaninya mencari buku incarannya di Gramedia malam nanti. Memang aku sulit bilang tidak untuk ajakan orang. Siapa pun itu, susah aja. Terlepas dari ga enakan atau semacamnya, bertemu orang itu menyenangkan, setidaknya menurutku. Menjadi 20 tahun dan dikelilingi orang-orang menyenangkan itu anugerah. Walau perlu diingat, kalau orang-orang ini bisa hilang kapan saja. Setiap pertemuan yang sangat kuhargai, bisa berakhir pada waktu yang tak diduga sekalipun. Tapi jauh lebih baik untuk tidak dipikirkan sekarang, kan?

Aku hidup untuk hari ini. Hidup untuk cerahnya langit siang ini, untuk padatnya stasiun sore ini. Hidup untuk kesialan hari ini setelah habisnya saldo pada kartu commuter line. Lalu diikuti dengan habisnya cash di dompet, begitu pula pada mesin atm di stasiun itu. Karena prinsip hidup ini aku bisa bertahan hidup. Bertahan untuk tidak malu mengatakan, "Mas boleh belikan saya tiket harian? Saya kehabisan cash tapi langsung saya transfer kok ini." Bayangkan perkara tidak cukup saldo tiga ribu rupiah aku harus terpaksa berhutang dengan seseorang tidak dikenal. Tapi toh, besok kami tidak akan ketemu lagi.

"Maaf mba." Pertahanan diriku sia-sia. Aku langsung malu begitu dia menolak dan mendahuluiku begitu saja. Baru saja, apa aku tampak seperti seorang pengemis?

Sialnya seseorang yang lain mungkin menganggapku begitu. Laki-laki muda di depan mesin tiket yang langsung menawarkan tiket harian kereta di tangannya. Suasananya aneh, aku merasa dikasihani. Ditambah tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya, hanya ekspresi datar yang canggung. 

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang