20. One Fine Day

46 13 0
                                    

Suara Gita 🍁


"Kenapa ga gua aja?" adalah kalimat yang gak pernah kuduga akan keluar dari mulut Lucas hari ini. Kuakui aku sempat terkejut sebelum akhirnya dia bilang, "Gitu kan frekuensi becandaan lu?"

Sial. Aku cuma diserang balik. Roti pun jadi pelampiasan untuk kugigit dengan kasar walaupun aku sudah kenyang.

"Yaudah, gue balik duluan ya," pamit Hana setelah rencana pulangnya dari tadi sempat ditunda oleh permintaan Lucas. Tinggal kami berdua, yang semakin hari semakin jauh dari kata canggung.

"Hati-hati, Han." Tak lama dari situ datang dering dari ponsel Lucas, adiknya memanggil. Niki meminta abangnya itu pulang cepat sambil membelikan pesanannya. Hal-hal yang seperti ini yang kadang membuatku ingin punya abang. Aku tidak akan tanya dia kemana dan apa urusannya, yang penting satu cup boba kuterima begitu dia sampai di rumah.

"Masih di sini dia?"

"Iya. Sampe lusa."

"Udah lo bawa ke mana aja?"

"Ga kemana-mana."

"Gimana sih. Jauh-jauh ke sini lo suruh jaga rumah doang."

"Gaada yang nyuruh dia dateng."

Mendengar jawaban itu, aku langsung membereskan sisa-sisa makanan yang ada di meja. Sudah kebiasaanku untuk membuangnya sendiri ke tempat yang disediakan. Setelahnya kuajak Lucas untuk bergegas juga, tak lupa kuambilkan jaket denimnya yang masih menggantung di belakangnya itu.

"Mumpung weekend, ayo jalan-jalan."

"Gak ah. Mau ke mana emang?"

"Udah, ikut aja."

Aku sebenarnya bingung mau bawa mereka ke mana. Tapi kalau kutanya Lucas, dia pasti bilang pulang saja. Beruntung hari ini dia agak lebih ramah, kalau gak dia pasti mengabaikanku dan menyuruhku pulang sendiri dari tadi. Yang melintas di kepalaku pertama kali adalah MRT yang baru diluncurkan tiga bulan yang lalu. Aku gak tahu ini untuk Niki atau keinginan pribadiku saja karena jujur dari awal MRT ini ramai-ramainya aku belum pernah mencoba sekalipun. Aku lega masih banyak ruang di sini, semuanya cukup untuk duduk. Kalau tidak, Niki mungkin akan menjadi patroli sosial lagi seperti di stasiun sebelumnya tadi.

"Kak boleh minta bangkunya ga? Ini kakek saya mau duduk," katanya untuk anak muda yang saling bercakap-cakap. Semua sibuk dengan masing-masing. Ada yang gak berhenti natap layar hp, ada yang dengerin musik lewat earphone, ada yang tidur, semoga, gak pura-pura tidur. Duduk lah pria berumur itu di tempat yang baru saja dikosongkan. "Makasih ya, Kak."

"Kakek hidup lagi?" seloro Lucas begitu Niki kembali ke sudut dekat pintu tempat kami berdiri.

"Sejak kapan itu kakek kamu?" sambungku.

"Sejak tadi kak, udah aku adopsi." Aku tebak, dia bilang begitu biar semuanya lebih ringkas. Dia mungkin gak mau dibilang ikut campur atau sok pahlawan. Anak ini bukan cuma lucu, tapi keren.

Yang aku suka lagi dari MRT adalah guncangannya lebih stabil daripada commuter line biasa. Aku gak perlu kehilangan keseimbangan seperti tadi sampai harus menubruk bahu Lucas dari depan.

"Pegang yang bener," tukasnya sambil menjauhkan kepalaku dari badannya dengan satu jari. Rasanya aneh walaupun dia sudah kukenal dulu. Aku sempat lupa kalau dia memang sudah tumbuh besar. Memang beda Lucas yang dulu dan yang sekarang. Dia tumbuh dengan baik jadi pria dewasa. Mungkin karena itu, sebagai lawan jenis yang seumuran, aku sedikit gugup.

"Jakarta ya gini-gini aja." Lucas mengembalikan sadarku setelah kami sampa tujuan. Dia bilang begitu seolah mengajak seseorang luar mengitari Jakarta adalah kesalahan.

"Enggak dong. Kan hari ini kita bertiga."

Kalau mukanya malas begitu, setidaknya tangannya bisa kutarik biar dia agak semangat. Semangat untuk menyalurkan jiwa muda di arcade setelah baru saja kami bersepeda di taman. Mana Lucas yang malas tadi, kok sore ini aku malah melihat Lucas yang berambisi mengalahkan Niki padahal itu hanya permainan tembak-tembakan. Dua kakak beradik ini ternyata lebih akur dari yang kukira. Kemistrinya entah kenapa menunjukkan dengan jelas kalau mereka saling memiliki. Dan aku di sini seperti nyamuk di antara mereka berdua.

Perjalanan hari ini, aku gak tahu akan selama ini. Mungkin karena Niki anaknya senang di luar, tempat tujuan kami terus saja bertambah. Atau mungkin sebelumnya dia memang sudah list tempat yang ingin dituju, namun karena kakaknya adalah Lucas si tidak peka, list hampir hanya menjadi list saja.

Niki terlihat sangat menikmati hari terakhirnya di Jakarta, termasuk saat kami memasuki aquarium. Gapapa aku jadi tukang foto seharian untuk dia sendiri, atau berdua dengan kakaknya. Di foto ini, rangkulan Lucas mengembalikan kemistri yang kusebutkan tadi.

"Sini kak, gantian." Niki setengah berlari ke arahku. Lucas bergeser untuk mempersilahkanku berpose sendiri. "Lu ikutan juga." Seru Niki dengan kamera ponsel yang sudah siap di tangannya.

"Udah sini." Kutarik tangannya sampai dia akhirnya terpaksa mengikuti kemauanku. "Biar ada foto baru yang bisa lo simpen." Aku menggodanya, pelan, cuma dia yang dengar. Aku ga habis pikir, bukannya marah, dia malah memasukkan jari-jarinya ke sela-sela jariku.

"Kalo mau remake foto yang bener dong." Maksudnya foto masa kecil yang disimpan dia, memang kami saat itu berpegangan tangan. 

Tapi kan gak begini hei, jangan suka bikin serangan tiba-tiba dong.

Padahal tangannya sudah dilepas, tapi kenapa aku merasa agak kesulitan bergerak? Semoga dia gak sadar kalo di sini ada jantung yang tiba-tiba deg-degan sambil melihat punggung mereka yang mendahuluiku.

"Gue harus makasih sama Niki," ucapku saat kami ditinggal berdua oleh Niki ke toilet.

"Buat?"

"Gara-gara dia kita bisa jalan-jalan."

"Pake alasan Niki, padahal cuma mau ketemu gua." 

Apa-apaan. Kenapa dia menggeser maknanya?

"Kita maksudnya, bertiga," tegasku.

Sudah sepuluh menit. Niki belum juga kembali. Cemas kalau-kalau dia mendadak diare di dalam sana, atau malah kesasar. Sudut ke sudut kami lalui sampai kususul ke dalam toilet.

"Nggak ada," laporku yang baru saja keluar dari toilet. Aku berusaha tetap tenang karena Lucas pun begitu. Yang kami bisa lakukan cuma mencari lagi sampai akhirnya ujung mataku mendapati dia di antara pengunjung-pengunjung lain. Di situ dia lagi dimintain foto. Helaan napas Lucas bisa terdengar olehku. Mata Niki juga akhirnya bertemu dengan kami.

"Gantian dong, Kak," pintanya kepada orang asing itu lalu menarik kami untuk foto bersama. Digandengnya tangan kami berdua untuk terlihat sangat akur walau hanya di foto.

Sampai hari terakhir kami bertemu pun, ingatanku terhadap Niki hanya yang baik-baik. Sayang aku tak diajak saat mengantarnya ke stasiun. Hati-hati, sampai ketemu lagi, anak baik.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang