21. Kamu tahu, kan?

46 14 0
                                    

Suara Gita 🍁

Hari Sabtu yang entah keberapa. Aku baru sadar tidak menghitungnya lagi setelah dia sudah di dalam jangkauan. Kali ini aku datang karena memang punya keperluan, bukan lagi mencari-cari alasan untuk menunggu orang yang tak jelas. Begitu keluar menuju halaman depan aku bertemu dengan Bagas yang saat itu tiba-tiba melepas ikatan rambutku semana-mena. Sumpah kapan dia satu hari saja tidak mengganggu?

"Apasih lo topeng monyet!" Aku membiarkan rambutku tergerai pasrah. Dia malah menggunakan hasil curiannya untuk mengikat bagian rambut di atas ubun-ubunnya.

"Majikan lo lagi di rumah ga?" Dia menanyakan Hana.

"Bukan."

Bagas diam, tandanya dia paham apa kelanjutannya; bukan urusanmu.

"Padahal jok belakang gue kosong hari ini."

"Bisa nebengin gue dong ya?"

"Bisa. Tapi tadi." Dia berlagak angkuh lalu mendahuluiku sesegera mungkin. Toh pada akhirnya dia juga gak akan mengantarku karena hari ini Hana tidur di rumah kakaknya.

Lepas dari Bagas, sesuai dengan harapan, aku mendapati Lucas hari ini. Tak heran, memang sudah jam kelasnya selesai. Aku terus berjalan membuat jarak kami semakin dekat, tapi dia sedang bercakap-cakap dengan temannya. Aku merasa tak perlu menganggu dan memutuskan untuk tetap berjalan melaluinya begitu saja.

"Mau balik?" Dia menoleh tiba-tiba.

"Iya nih."

"Awas mati."

Apa yang kuharapkan dari Lucas, sih? Ga mungkin dia berbaik hati menawarkan tumpangan cuma-cuma. Bahkan kata "hati-hati" yang seharusnya pun dia ganti dengan yang lebih terdengar seperti kutukan. Walau begitu, dia menyempatkan diri untuk menghampiriku. Diambilnya salah satu tanganku yang lalu didaratkannya kartu kereta kepunyaan dia di sana.

"Kaya punya saldo aja," Clcibirnya. Yah aku memang gak begitu berharap diantar pulang. Kepulanganku kan memang bukan tanggung jawabnya. Tapi bagian dia meremehkan isi saldoku, menyebalkan walaupun benar. Tapi kan memang aku niatnya akan mengisi di stasiun nanti.

"Makasih loh," Ucapan terakhirku yang terdengar tidak begitu ikhlas sebelum meninggalkannya di sana.

Baru beberapa langkah aku teringat sesuatu, kembali aku ke hadapannya.

"Temenin cari buku mau ga? Gamau ya? Yaudah."

"Yang bener kalo minta tolong."

"Tolong."

"Ga mau."

"Gimana biar mau?"

Dia mengambil sapu tangan dari sakunya. Kemudian diputarnya badanku untuk membelakanginya. Aku masih bingung apa maksud dan tujuannya mengingatkan rambutku dengan kain itu. "Bekas ingus ga sih itu?" Spontanku yang masih membelakanginya. Alhasil aku mendapat toyoran kecil akibat perkataanku.

"Ketat banget tolong ini gue kayak lagi dijambak." Aku langsung kembali menghadapnya begitu dia selesai.

"Biar gabisa dilepas." Aku tak tau apa maksudnya tapi aku harus membetulkan ikatannya kalau tidak mau sakit kepala.

Walaupun dia gak bilang iya untuk ajakanku, akhirnya kami sampai juga di toko buku. Sebenarnya tujuanku bukan untuk mencari buku apapun, tapi mengisi ulang stok perlengkapan alat tulis yang akan habis sekalian melihat-lihat barang kali ada novel yang cocok untuk dibawa pulang.

"Oi tahu!" Bingung aku tiba-tiba ada yang ngomong. Anehnya dia nampak yakin sedang berbicara denganku. "Lu tahu kan?"

Aku menatapnya heran seolah sedang bertanya. 'ada apa dengan tahu?'. Aku lihat lagi orang ini untuk kukenali. Dan sial, benar saja. Aku memang pernah bertemu dengannya. Rambutnya yang pendek ikal ditutupi topi itu, pernah kulihat saat aku betapa cerobohnya melemparkan tahu ke piringnya di kantin waktu itu. Spontan aku cengengesan.

"Udah inget?"

"Udah dong jangan diinget-inget."

Dia tersenyum sambil geleng-geleng, "Kocak sih lu kalo makan kek sirkus."

Lucas tiba-tiba ikut bergabung dengan kami. "Udah dapet bukunya?" Kedatangan Lucas memotong interaksi kami berdua.

"Tar gue traktir makan tahu ya. Ganti yang kemaren," katanya lalu berlalu.

Tak ada yang bisa kutanggapi, aku hanya membiarkan tanganku bertumpu pada salah satu rak selagi kutundukkan kepala memandang diam lantai yang tak punya salah.

"Lo gapapa?" Lucas menyentuh pundakku tanpa tahu rasa malu yang sedang kutahan. "Kenapa? Dia ngapain?"

"Gapapa, udah lah yuk balik."

🍁🍁🍁

Saat itu aku berharap tidak akan bertemu dengannya lagi di sudut dunia manapun. Terkabulkan setidaknya sampai hari kesehatan mental dunia seminggu setelahnya, di auditorium kampus.

"Kita begitu sulit mengatakan tidak untuk seseorang. Satu-satunya 'tidak' yang mudah kita katakan adalah 'tidak apa-apa'. Harusnya kita paham, bahwa berkata 'tidak' juga tidak apa-apa. Terima kasih. Selamat sore." Pemateri hari ini menyampaikan dengan sangat baik. Beruntung aku panitia di sini dan bisa mendengarkannya tanpa harus bayar tiket masuk. Tapi itu berarti aku harus bekerja lagi begitu acara tanya jawab selesai.

"Wah kayanya banyak yang relate nih sama materi barusan." Galih, partner MCku hari ini membuka dialog ringan di atas panggung.

"Bener banget, Lih. Saya lihat tadi banyak yang ngangguk-nggangguk waktu nyimak."

"Kalo Gita sendiri tipe yang sulit bilang tidak gak?" Padahal cuma basa-basi, tapi aku perlu diam beberapa detik untuk menjawab. Mungkin pertanyaan ini memang untukku.

"Kalau saya tergantung pertanyaannya, Lih."

"Oke. Gita, saya ganteng gak?"

"Tidak." Jawaban cepatku mengundang reaksi tertawa spontan dari orang.

"Wah sama sekali tidak ada kesulitan ya."

"Jangan ngambek ya, Lih. Tadinya kamu oke lah ya, cuma ini nih, yang mau perform sekarang itu cogan-cogan kampus. Yah, jadi maaf banget, kamu harus kalah sebentar."

"Wahh." Galih merespon dengan ekspresi seperti sedang tersakiti. "Yaudah dari pada insecure mending kita panggil dulu lah." Dari belakang, seseorang memberi tanda bahwa masih belum waktunya. "Oh belum siap? Belum siap katanya, Git. Kita harus basa-basi lagi nih." Galih sengaja mengatakannya dengan microphone sebagai improvisasi humor yang amatir. Namun bukannya menanggapi, pandanganku malah terganggu pada salah satu di antara yang sedang mempersiapkan alat musik itu. Seseorang yang ingin kuhindari karena pertemuan pertama yang tak enak.

Sayang, aku hanya bisa menghindarinya sampai selesai acara. Karena saat itu entah dari sudut mana dia menghampiriku begitu saja.

"Haha ternyata lu adek tingkat gue."

Aku tidak tahu dari mana dia dapat informasi itu, tapi kalau memang iya, "Wah iya siap kakak senior."

"Haha tapi kenapa gue yang merasa terintimidasi ya ahaha." Sungguh nada bicara yang penuh basa-basi.

"Bagus tadi penampilannya," ucapku yang ikut basa-basi.

"Bagus tadi nge-mcnya." Basa basi jilid tiga.

"Gigi." Lucas memanggil dari sisi lain. Ini bukan hari Sabtu dan mau apa dia di sini?

"Nah ini ajudan lu udah dateng. Yaudah gua balik dulu, nanti juga sering ketemu," ujarnya santai sebelum berlalu.

"Ajudan?" Lucas tersinggung.

"Wah kok lo tau nama gue Gigi? Emang dulu kita pernah kenal ya?" Ungkapku begitu Lucas sampai.

Maaf saja, yang duluan tidak suka membahas masa kecil kan dia duluan. Dia pasti terlalu malu untuk mengingat betapa dia mau aja saat kusuruh-suruh.

"Kan lu sendiri yang bilang waktu di perpus. Sok kenal."

"Nama gue Gita bukan Gigi."

"Gurita?"

"Hah?!"

"Gua bikin nama panggilan baru."

Kenapa jadi suka-suka dia? Aku baru tahu dia bisa serandom ini. Tapi dari pada itu, aku lebih penasaran apa tujuannya datang ke sini di hari yang bukan Sabtu. Sejak kapan dia di sini? Jangan-jangan, dari awal acara? Padahal waktu aku tanya, katanya ada urusan dan lebih itu terdengar seperti, 'sudah bukan urusanmu'.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang