46. Renjana dan Nelangsa

35 8 0
                                    

Tulisan Dyra 🌼


Dua minggu kemudian. Dua minggu sejak Bagas meninggalkan almamaternya dengan kepala tegak. Setiap harinya terasa seperti akhir dari sebuah novel yang menggantung bagiku. Sulit untuk mengalihkan pusat pikiran darinya dan banyak bermunculan tentang "bagaimana jika". Terbiasa melihat rupanya dari berbagai penjuru mata angin membuat semuanya kini terasa lebih hambar bagiku. Sisi mana pun yang aku tangkap hanya akan memperlihatkan kubangan kosong yang hampa. Kali ini pun aku tidak akan bohong, aku merindukannya.

Setiap langkah yang kuambil dari pintu ruang kelas selalu diikuti dengan harapan dia masih ada di sini. Mengisi tempat-tempat dengan tingkahnya yang kadang tidak masuk akal namun berkesan. Hari-hari yang seharusnya bisa lebih baik kalau dia bisa setidaknya satu jengkal saja lebih jauh dariku.

"Ngelamun mulu ntar kesurupan." Sebuah suara dari sisi depan mengatup sebuah pikiran yang kosong. Aku menemukannya berdiri bersandarkan dinding di koridor menuju tangga. Dari mana dia punya kekuatan sihir untuk bisa keluar dari pikiran seseorang seperti itu?

Ujung bibirku bergerak otomatis.

"Kuliah mulu kaga lulus lulus," cibirnya mengandung sedikit satir terhadap dirinya sendiri. "Kaya gue dong kelar kurang dari tiga tahun."

Aku menyeringai seperti tujuannya. "Sekarang rencana kamu apa, Gas?"

"Ke rumah belajar. Yuk," jawabnya dengan santai padahal dia tahu bukan itu maksud pertanyaanku. Aku menggangguk menuruti. Mungkin itu juga jawaban,

untuk tidak ingin menjawab.

Aku mengangguk paham, olehnya diartikan dengan setuju. 

Sudah lama aku tidak mengenakan helm ini, yang paling nyaman dan kupercaya aman. Tali pengaitnya tidak sengaja menyangkut pada rambutku yang tergerai bebas. Aku bahkan tidak akan menyadari itu kalau dia tidak membantu menguraikannya saat kebetulan dia sedang menoleh. Perlakuannya begitu wajar untuk aku yang terlalu suka mencari arti. Matanya pun bergerak natural untuk mataku yang buncah dengan perasaan.

Motornya berlayar sampai ke tujuan. Sela-sela perjalanan diisi oleh angin dan cerita. Kami berhenti di sebuah jajanan kaki lima. Ada banyak alasan untuk melintasi jalanan tetap sesuai rencana awal. Namun sesaat berhenti di tengah untuk menikmati sekitar juga tidak apa-apa. Hari ini aku melihat pundaknya jauh lebih tegak dari dua minggu yang lalu. Mungkin beberapa beban telah runtuh dan membuatnya menjadi lebih ringan. Atau justru tulang-tulangnya lah yang menjadi semakin kokoh dan siap memikul yang baru.

Melihat pedagang telur gulung itu laris manis dengan kerumunan para remaja tanggung, asumsi kami pasti rasanya enak. Tapi kalau kata dia, nggak ada telur gulung di dunia yang nggak enak.

Seandainya kita bertemu sedikit lebih dulu, pasti semua yang kita llihat saat ini adalah apa-apa yang pernah bersinggungan dan membuat kita bernostalgia bagaimana kita tumbuh bersama.

Namun tak apa, kita bisa membuat memori baru kapan pun. Serupa dengan memulai, kapan pun.

Sesederhana menyebrang di jalan raya pun akan menetap di ruang ingatan mulai dari hari ini. Caranya berjalan di sisi arah datangnya kendaraan, lalu pindah ke sisi satunya ketika menghadapi arus yang berbeda. Aku tidak peduli ini perlakuan dari siapa untuk siapa. Sepertinya hari ini aku lupa kalau aku sedang merapikan perasaan.

Karena untuk menyukaimu aku tidak perlu usaha, kenapa aku harus bersusah payah melupakanmu?

Ringkas cerita sampai pula kami pada tujuan awal: rumah belajar. Hanya ada Hana hari ini. Nampak sunyi. Sebenarnya ini adalah suasana yang normal sebelum Yen hadir. Namun menjadi terbiasa dengan perasaan dan emosi baru akan menempatkan kita pada ruang kehilangan setelah sesuatu yang dari awal bukan milik kita dibawa pergi. Kendati demikian, itulah sifat manusia; datang dan pergi. Termasuk yang kini selalu dekat, juga punya suatu hari untuk meninggalkan atau ditinggal.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang