30. Orang-orang masa lalu

39 9 0
                                    

Suara Gita 🍁

"Kita gaada yang tau orang itu kaya gimana. Yang keliatan kalem kaya Dyra aja ternyata dalemnya gitu."

"Tapi katanya yang nolongin dia si Bagas loh."

"Bagas siapa?"

"Si Bagas ini yang dulunya direbut juga sama dia."

"Mereka pacaran?"

"Engga. Entah cowonya atau cewenya yang nebar benih."

"Cowonya nebar benih, cewenya gatel, cocok dah tu berdua."

"Awas lo ngomong gitu tar ditampar sama dia."

Kukira hari bisa menjadi lebih damai karena nama Dyra sudah bersih. Tapi kenapa seperti tidak ada yang berubah? Mereka berkumpul selayaknya sudah banyak teh yang disajikan di meja itu. Entah mereka tahu aku ada di ruangan yang sama dengan mereka atau tidak, yang pasti mereka jelas tahu kalau aku tak suka tehnya. Aku duduk tidak terlalu jauh dan bisa mendengar semuanya.

Aku tidak suka ini, tapi mengumpulkan energi untuk melawan sendirian, rasanya aku terlalu malas. Aku yakin bukan hanya aku yang sadar, bahwa semakin menarik seseorang pada fisiknya, semakin peduli orang-orang dengan kehidupannya. Untuk yang satu ini kadang aku suka lupa, tapi Bagas, popularitasnya sebagai social butterfly juga menarik untuk dibahas, termasuk eksistensinya dalam atlit dadakan kampus.

Aku menaikkan sedikit pandanganku setelah terpaksa menelan pahit teh itu tanpa melakukan apa-apa. Apa yang kulihat pertama adalah Dyra sedang berdiri di depan pintu. Tidak tahu sejak kapan.

"Kok lo ga masuk? Dibilang gausah nungguin gue." Bagas pasti membuyarkan pikiran Dyra sekaligus menyadarkan tukang gossip tadi sampai mereka bergelagat canggung dan berusaha tampil seperti tidak terjadi apa-apa.

Seharusnya kami bisa melewati hari ini begitu saja kalau Dosen Psikologi Lingkungan hari ini tidak membagi kami dalam kelompok-kelompok. Sejak kami diminta untuk berpindah posisi duduk sesuai dengan grup masing-masing, diam-diam aku memperhatikan Dyra untuk memastikan dengan siapa dia dikelompokkan. Sialnya dua dari tiga mereka adalah yang tadi pagi mengarang cerita dengan namanya. Entah aku yang terlalu peka atau mereka memang sengaja memenuhkan kursi agar Dyra kesulitan mencari posisi di antara mereka. Entah kenapa itu membawaku kembali ke memori di setiap awal tahun pelajaran dulu saat aku kesulitan mencari bangku karena semua orang tidak ingin aku menjadi teman semejanya.

"Emang lo anak SD kaya gitu?" Tanpa sadar ternyata aku bergumam.

"Kenapa, Git?" tanya Gilang heran.

"Ngga kok, gimana tadi?" Aku mengembalikkan fokus ke kelompokku, sementara.

Aku tahu Dyra adalah orang yang sangat pandai menuturkan gagasan, tapi kali itu dia terlihat pasif, atau itu karena setiap dia berbicara pasti selalu disanggah sebelum dia selesai. Mereka jelas memperlakukannya seperti bayangan.

Aku sudah tidak tahan lagi. Aku menarik kursiku menuju mereka untuk duduk di sana. "Gue mau ikut di kelompok ini dong. Anak bawang."

"Eh, Git, lo mau kemana?" tanya Gilang bingung.

"Gue yang gantiin Gita." Tiba-tiba Bagas datang ke kelompokku. Dia menyeret kursi kosong yang ada di dekatnya tanpa peduli siapa pemiliknya.

"Eh Bagas itu punya gue." marah yang kursinya direbut.
"Gantiin matamu. Lu di si sini aja ga bisa berguna anying." Aini, teman sekelompok Bagas tidak terima.

"Nah. Toh gue ada atau engga tetep ga guna, gapapa dong."

Bagas mengedipkan sebelah mata ke arahku dibalas dengan jempol dan muka datar dariku. Seketika suasana menjadi tidak kondusif. Ini didukung dengan Bu Dosen yang masih di luar sejak menyuruh kami untuk berpindah posisi.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang