52. Jimat

31 4 0
                                    

Tulisan Dyra 🌼


Mereka di sana lagi. Seolah sengaja menyewa koridor untuk memamerkan kekuasaannya. Jujur, lontaran melecehkan kemarin saja masih belum hilang dari kepalaku. Apalagi untuk mendengarnya dua kali, sepertinya aku tidak sanggup dan tidak kutemukan keberanian untuk berdiri di hadapan mereka. Alih-alih, aku memilih jalan yang lain untuk menuju kelas.

Sebelum masuk, aku mendapati Kak Lucas di depan. Sepertinya sedang menunggu Gita. Beberapa langkah kemudian mata kami bertemu. Dia tetap memandangku seraya jarak kami semakin berkurang. Seolah sepintas berniat untuk bertegur sapa sebentar.

"Nih." Sebuah pelantang telinga keluar dari kepalan tangannya. "Gue liat tadi lo ga punya nyali."

"Apa ini?"

"Jimat. Kalo lo pake, semua suara luar jadi omong kosong, lo jadi punya kekuatan untuk bodo amat dan dengan kaya gitu orang jadi ga tertarik lagi sama lo."

Apa maksudnya dia melihatku saat mengganti jalan tadi ya?

Belum lama, Gita muncul dan langsung menghampiri lelaki barunya itu. Aku yang tidak ingin mengganggu waktu berdua mereka ditambah situasiku dengan Gita juga masih bersitegang, lantas berpindah menuju kelas.

"Kamu emang hobinya bagi-bagi earphone ke cewe-cewe ya?" tukas Gita yang masih sampai ke jangkauan pendengaranku.

"Kalo buat kamu harusnya bukan earphone tapi yang bisa nutup mulut sih biar ga berisik."

"Ada loh, tinggal kasih."

"Apa?"

"Sun."

"Di sini? Awas ya kalo menghindar."

Gita setengah berteriak. Dialog macam apa itu pagi-pagi! Aku hanya menggeleng dan menyeringai seraya memilih bangku.

Ternyata Gita pun buru-buru masuk untuk kabur dari tantangan yang dia inisiasi sendiri tadi.

"Makanya hati-hati kalo ngomong!" hardik Kak Lucas dari luar sana.

Wajahnya nampak berseri menerima berluap cinta di pagi hari. Dan wajah itu berubah kaku saat menatap banku kosong di sampingku, tempat yang biasa menjadi pilihan pertamanya.

Aku bingung, perselisihan itu menyisakan lubang serba salah di hatiku. Mustahil aku tidak sedih kalau seorang terdekat malah menjaga jarak. Bahkan saat di kantin pun, kami masih mempertahankan ego untuk menjadi masing-masing. Ada Bagas yang entah kali ke berapa kembali berkeliaran di mantan kampusnya ini. Dia nampak bingung memposisikan diri.

Awal dia mengarah ke mejaku, aku langsung memberikan penegasan. "Kamu sama gita aja, aku lagi pengen sendiri."

Saat itu juga dia langsung pindah haluan menuju meja Gita. Namun bisa kudengar penolakan dari sini.

"Lo kenapa di sini? Sana sama temen lo!" tukasnya lalu berbicara dengan telefon yang masuk. "Ayang ayo makan. Aku sendirian."

Bagas bukan lagi pasrah, namun kesal dengan pertikaian kedua sahabatnya yang malah menyudutkan dia. Repot-repot dia datang, malah hadirnya tidak diterima. Tapi dari awal juga tidak ada yang mengharapkan ketersediaan waktunya. Kuperhatikan dengan sekilas curi-curi, dia duduk di meja yang lain dengan raut yang menggerutu. Sempat dihentakkannya meja itu sekali seolah ingin menunjukkan dia juga berhak marah.

Dari pada ketegangan, ini lebih terasa canggung menghadapi situasi saling diam seperti ini. Sekeluarnya Gita dari kantin itu membawa Bagas mendekat ke mejaku. Bisa kulihat sebuah panggilan masuk di ponselnya. Aku tidak tahu siapa dan apa yang mereka bicarakan. Tapi dia melirikku sebentar sebelum merespon, "Mana mau dia pulang sama gue."

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang