29. Anak nenek

39 9 0
                                    

Suara Gita 🍁


________________________________

2008

Mulanya aku cukup kesulitan. Aku baru pertama kali menjadi anak baru. Aku tidak paham apakah semua anak baru memang mendapatkan perhatian sebanyak ini. Yang aku tau aku harus berusaha menjadi anak baik dan tidak mengganggu teman, karena nenek bilang begitu.

Aku sangat mematuhi kata-kata nenek, karena cuma kata-katanya yang bisa aku dengar. Aku tidak tahu kalau ini ternyata aneh. Atau tatapan itu yang kulihat dari orang-orang. Rasanya sulit sekali untuk berjalan di koridor saja. Jarak dari gerbang ke kelas seharusnya tidak sejauh itu, namun begitu sampai di meja rasanya aku sudah lelah sekali. Melewati orang-orang sangat menakutkan. Kalau bisa, aku mau berdoa sama Tuhan agar diberikan super power menghilang seperti yang ada di TV-TV. Biar aku bisa berjalan tanpa dilihat. Boleh ga, ya Allah?

"Gita bau nenek-nenek!" seru seseorang yang aku tidak berani melihatnya. Melihat jalan dari sela-sela rambutku saja sudah susah, apalagi melihat orang lain. Kemudian dia tertawa bersama teman-temannya. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan kepuasan dari itu. Anehnya walau aku sudah biasa, aku tidak akan pernah terbiasa. Setiap hari aku kesulitan memikirkan bagaimana caranya diterima.

"Tobi, lo ngambil buku gue ya?"

"Dih, nuduh. Mana buktinya?"

Dua anak di kelasku sepertinya sedang mempeributkan sesuatu saat aku duduk dan meletakkan tasku di meja. Mereka duduk di sebelah kanan dan satu baris di depanku. Tobi, anaknya memang jahil tapi punya banyak teman. Yang satunya Mia, teman sebangku Tobi, punya beberapa teman dekat yang selalu mengikuti dan menurutinya.

"Gue bilangin mama gue ya lo!" kesal Mia.

"Dikit-dikit ngadu mama, dasar anak mami."

"Yee. Dari pada anak nenek, emang gue si Gita?"

Beginilah, kehidupan seorang anak kelas 3 SD yang kujalani. Hanya bernafas saja sudah menganggu. Hatiku denyut mendengar Mia berkata seperti itu. Karena dia benar, dadaku lemas, aku malu.

"Gita, bajumu kok gitu? Gak dicuci ya?"

Dalam waktu yang sangat sedikit tadi aku sempat senang karena ada yang mengajakku ngobrol. Tapi ternyata, seharusnya aku sudah menduga. Itu tadi Roma. Karena perkataannya itu, aku menengok pelan ke arah baju yang terpasang di badanku. Ini kusut, bukan tidak dicuci. Aku mengambilnya di keranjang setrikaan pagi tadi. Mungkin nenek lupa. Aku juga paham karena dia setiap hari harus bangun pagi sekali untuk berjualan ikan di pasar. Lalu pukul 7 dia balik sebentar untuk mengantarku ke sekolah.

"Kamu ga ada mesin cuci ya? Tapi maklum si, nenek-nenek kan dulu ga pake mesin cuci." Mia datang, menyambung omongan Roma. Kemudian mereka ngobrol di depanku.

"Ehh nenek aku bisa loh. Dulu waktu belum meninggal, nenek aku suka gantiin sprei aku gitu. Dia pake mesin cuci kok.l," balas Roma

"Ya nenek kamu sama neneknya Gita kan beda."

Kenapa mereka bisa ngobrol sesantai itu ya? Seperti sedang diskusi acara kartun yang sedang tayang di TV. Entah mereka sadar atau tidak bahwa mereka sedang mengolok-olok aku dan keluargaku satu-satunya.

"Tapi sisir juga lo ga punya, Git? Atau ga dicuci juga?" Mia belum berhenti juga.

"Kaya rambut kamu bagus aja, Mia. Keriting gitu kaya mi," balas Roma.

"Tapi rambut dia keset gitu loh, kaya keset kaki."

"Hehh kok gitu kamu ngomongnya, jahat."

"Orang bener kok. Liat nih ya, pasti nyangkut."

Mia meletakkan jari-jarinya dirambutku tanpa izin dariku, berusaha menguraikannya sampai bawah. Namun kepalaku tertarik walaupun aku sudah berusaha menahannya agar tidak malu. Dia hanya tertawa karena pernyataannya terbukti benar. Roma juga, aku bisa mendengar tawanya sedikit walau dia tahan.

Sedihnya, aku hanya bisa diam. Seperti manekin di toko baju. Lebih tepatnya, aku tidak tau harus apa walau sudah berkali-kali mendapatkan perilaku seperti ini.

"Gapapa kok, rambut nenek aku dulu juga kaya gitu," ucap Roma berusaha menenangkanku, tapi tidak terdengar menenangkan.

Pulang sekolah, aku sengaja menunggu semua anak keluar satu persatu dulu. Agar aku tidak perlu melalui mereka. Tinggal satu orang yang belum keluar. Mia, dia tiba-tiba duduk di bangku sebelahku yang selalu kosong karena tidak ada yang sudi menempatinya itu.

"Gita, kita temen kan?" ucapnya. Sampai sini aku tidak tahu lagi harus senang atau berhati-hati saat mendengarnya.

"Kita kan temen, temenin aku yuk," katanya halus sekali sampai memegang lenganku.

"Kemana?" tanyaku.

"Udah, yuk." Mia menanggap responku adalah persetujuan, atau dia memang dari awal tidak peduli pendapatku. Dia menggandeng tanganku dengan ramah sampai kami berhenti di depan toilet.

"Ngapain, Mia?" tanyaku.

"Temenin aku, ya." Mia mendekatkan wajahnya ke telingaku, membisikkan, "Aku mau pup." Dia tersenyum tidak enak menatapku. "Hehe."

"Tapi kan bisa di rumah. Ini udah jam pulang, pulang aja." Aku berusaha menolak.

"Ih tapi aku udah kebelet."

"Yaudah." Aku pasrah.

"Tapi kamu di dalem dong." Aku kaget bukan main mendengarnya. Pupil mataku mungkin saat itu membesar tak percaya dengan apa yang indera lainnya tangkap. "Plisss.. Aku takut banget, gelap, sendiri."

Demi Tuhan aku ingin sekali menolak dengan tegas. Tapi lagi-lagi aku tidak berdaya, menahan semua marah yang menumpuk dalam diriku sendiri. Aku takut penolakanku akan berdampak untuk kehidupan sekolahku besoknya. Sedikit di dalam hatiku, aku berharap dengan pengorbanan ini, aku bisa diterima jadi temannya. Karena kebodohan itu, aku harus menahan bau neraka selama sepuluh menit. Menangis pun aku tidak sanggup, mengingat murahnya harga diriku saat itu, aku sangat murka, dan sedih, dan sedih.

________________________________

Bukan tanpa alasan anak-anak menjauhiku dulu. Penampilan yang lusuh, tidak bisa mengikuti pembicaraan mereka, semuanya punya alasan, kan? Lucas pun, pasti punya alasan. Kenapa aku tidak berpikir sampai sana? Aku hanya mengira dia berubah.

Lalu kupikir aku mulai menjadi penganggu sejak di tempat baru. Ternyata sebelum menjadi asing aku sudah meninggalkan luka di memori orang lain. Rasanya malu sekali. Aku mendekatinya seperti itu selama ini tanpa mengetahui perasaannya selama ini bertemu denganku lagi. Wajahku mungkin saja mengingatkannya dengan wajah ibunya yang tidak sempat dia lihat terakhir kali, gara-gara aku. Lalu tingkahku yang memuakkan, menariknya untuk memperlakukanku seperti dulu.

Apa aku memang boleh berteman? Aku ingin meminta maaf kepada mereka yang sudah terlajur menjadi temanku.

Pertama kali aku dibawa ke sini satu-satunya manusia yang kukenal adalah nenek. Nenek adalah ibu dari ayah tiriku. Entah bagaimana akhirnya dia menjadi yang paling aku andalkan saat aku aku sendiri tidak akur dengan anaknya. Sebelum dengan nenek hidupku penuh teriakan dan ketegangan. Laki-laki itu hanya pulang satu bulan sekali, membiarkan mama tidak terkendali di rumah. Rumah, tempat aku ketakutan. Kejadiannya sudah lama sekali saat umutku masih belum dua digit. Tapi kenyataan bahwa aku masih mengingatnya sampai sekarang menjelaskan bagaimana itu begitu membekas dalam diriku.

Walau bertemu dengan nenek tidak kian menjadikan aku anak yang penuh cinta, dan nenek pun juga tidak selalu ada karena dia juga harus bekerja seharian untuk menghidupiku, tapi setidaknya ada yang mau memelukku saat dadaku terasa berat di sekolah. Dia sering mengatakan padaku kalau dia akan menghukum anak-anak itu dengan menyiramkan air got kepada mereka.

Dasar, sudah tua begitu. Masih saja bisa marah.

Kalau dia ada di sini sekarang, pasti dia akan memarahiku karena sudah menyia-nyiakan teman seperti Lucas, kan?

Ponselku terus bergetar beberapa menit sekali di dalam bus. Lucas, entah apa yang ingin disampaikannya kepadaku sekarang, tapi lebih dari penasaran, kupikir aku belum siap untuk bagaimana aku akan menghadapinya kalau kuangkat. Maaf.

🍁🍁🍁

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang