9. Halo, Gigi

114 26 1
                                    

Cerita Lucas 🍀

Juni 2008

"Buruan mandinya, Nak. Sini sarapan." Dari kamar mandi kudengar suara ibu memanggil.

"Bentar lagi, Bu. Hitung sampe lima puluh deh."

"Orang mau makan kok disuruh itung-itungan." Kalau yang ini suara ayah. Dia menyahut diikuti suara tarikan kursi meja makan untuk dia duduki.

Rumah itu hangat saat manusia di bawah atap yang sama memperhatikan satu sama lain. Aku sudah hafal suara langkah kaki ibu menuju kamarku di malam hari hanya untuk memeriksa aku sudah tidur atau belum, dan caranya berjalan sambil menggesekkan telapak kaki ke lantai. Bahkan tempo napasnya yang kudengar saat dia membetulkan selimutku, bisa kukenali dengan mata tertutup saat pura-pura pulas. Atau tentang kerut dahi ayah di minggu siang yang tak hilang meskipun sedang tertidur. Semuanya indah untuk diputar ulang. Tapi, tidak ada kekal yang sempurna. Rumah yang hangat itu pernah membeku dan hampir meruntuhkan atapnya.

Manusia itu gudangnya kesalahan. Membuat luka, tapi juga pandai menjadi obat, setidaknya yang kupikirkan saat itu. Padahal sebenarnya mereka hanya ahli menutupi. Obat yang dimaksud adalah sama-sama sepakat untuk memulai hari baru tanpa mengusik luka lama. Nggak papa, kalau itu bisa membuat kami percaya bahwa waktu memang menyembuhkan. Nggak papa, kalau kami masih bersama-sama saat anggota baru hadir di dalamnya nanti. Adik kecil yang sampai umurnya tiga tahun selalu menggenggam jari telunjukku kalau berjalan. Sambil beberapa kali mengoceh karena langkahku yang biasa itu terasa terlalu cepat bagi kaki kecilnya. Dan hari-hari baru itu, punya peran lebih cerah dari sebelum-sebelumnya.

-----------------------------------------------

"Ini apa, Kas?" Aku lantas menutup buku itu.

"Lo pura-pura ga inget gue?"

Kulepas sebelah earphone yang tadi dia berikan, "Lu punya kebiasaan buka-buka barang yang bukan punyalu ya?"

Setelahnya tak usah ditanya. Kutinggalkan dia di sana.

Tidak bisa dielakkan, dari awal aku memang tak pernah lupa. Semua kejadian yang pernah kau sebut dan tuliskan, sudah menempel duluan sebelum kaumelihatku di stasiun. Atau sedikit lebih lama lagi, sebelum aku melihatmu duluan. Gi, waktu memang sudah berjalan jauh, tapi saat itu kupikir senyummu adalah hal yang paling mudah diingat. Awalnya aku hanya ingin memastikan, tapi lama-lama keterusan.

Awal Agustus 2020. Hari itu Hari Rabu. Dua bulan yang lalu, kudengar kedutaan menyediakan kelas bahasa Jerman akhir pekan di kampus ini. Lumayan, dibanding tempat kursus yang lain, yang ini bisa dibilang lebih terjangkau. Hari itu ada berkas yang harus kulengkapi untuk keperluan kelas yang sudah berlangsung minggu kedua di bulan ini. Dari koridor menuju keluar gedung fakultas, semua terlihat biasa saja sampai ada satu orang yang sedikit menggangguku. Semua perubahan yang ada di wajahmu, tidak butuh waktu yang lama untuk bisa kukenali.

Gerak yang terburu-buru, langkah yang ceroboh. Saat itu dengan seseorang di telepon kaubilang, "Hitung sampe 100 gue sampe."

Sama sekali tidak berubah.

Sabtunya, aku melihatmu lagi. Di kantin bangunan olahraga, setelah pertandingan bulu tangkis. Tentu saja aku hanya berkesempatan menonton waktu final karena jadwal kelas bahasa yang tak cocok. Padahal kantin saat itu isinya ramai. Tapi kenapa kau bisa terlihat menonjol di antara kerumunan orang ini? Dan kenapa sendiri? Apa kau belum punya pacar?

Ok sekarang, kenapa kau langsung duduk santai di depan orang itu? Jadi itu pacarmu?

Astaga. Dari jauh sini pun bisa kusimpulkan ada kecerobohan di sana. Gimana bisa isi piringmu terbang ke piring orang lain? Dua belas tahun sudah berlalu tapi sepertinya hanya ukuran tubuhmu yang bertambah. Tanpa kusadari aku sampai tersenyum karena pertunjukkan spontan itu.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang