10. Perubahan

110 21 2
                                    

Cerita Lucas 🍀


"Lu sendiri, kenapa harus pake cara kaya gini?"

"Emang ada yang lebih praktis dari ini?" Balasnya masih merasa tak berdosa. Kemudian dia diam sejenak seperti menyiapkan sesuatu yang ingin dikatakan.

"Gue nungguin Sabtu kemaren tau nggak? Lo nggak ada. Gue takutnya lo keluar dari sana." Ternyata kelakuan ga masuk akal ini hasil dari rasa bersalahnya karena aku tak ada Sabtu lalu. Tapi, siapa yang bilang aku tak datang karena dia? "Jujur gue ga ngerti sih kenapa lo harus ngejauh gini. Tapi seandainya lo bilang, mungkin gue bisa ngasih batasan juga kalo lo maunya gitu. Tapi kemaren itu, kalo lo ga masuk kelas cuma gara-gara gamau ketemu gue, gue akan merasa bersalah. Lain kali ga perlu kaya gitu lagi, gue ga akan ganggu lagi, ok?" Dia nampak muram dan serius dengan kalimat 'tidak akan mengganggu' itu.

"Lu gaada jadwal kuliah hari ini?"

"Eh? Ada sih tapi... ah gitulah." Keragu-raguannya hanya memperjelas kalau dia absen kuliah demi datang ke sini.

"Lagaknya nasehatin orang biar ga bolos."

Di akhir percakapan itu, satu mangkok soto pesanannya datang.

"Tolong ini dibungkus aja. Tambah dua porsi lagi." Aku kepada ibu soto.

Dengan sisa kerutan di dahinya, dia menatapku bingung.

"Makannya di tempat gua aja."

🍀🍀

Aku membawanya karena tak mau apa yang akan dia katakan selanjutnya akan terdengar oleh orang lain. Ini juga karena dia nggak sopan sudah membuat ku merasa bersalah juga. Di kontrakan yang kusewa per tahun itu, ada Nikita yang baru keluar dari kamar. Mereka pernah bertemu sekali, di stasiun.

"Ah, halo. Gue temennya Lucas."

"Kak Gigi?" Niki melihatku, aku mengangguk. Sudah kuceritakan semuanya sejak di stasiun waktu itu. Bahkan dari sebelum dia lahir. Tentu saja karena dipaksa. Lewat matanya yang menoleh padaku, Gigi juga bertanya-tanya.

"Kata Lucas, kakak..." Dia sengaja tidak melanjutkannya hanya untuk bermain-main denganku.

"Lu manggil dia kakak, manggil gua ga sopan." Aku menyerahkan soto yang kubeli tadi ke Niki, untuk dituangnya ke dalam wadah yang ada di dapur.

"Ga jadi kak. Nanti aja kita ghibahin dia." Akhirnya dia pergi juga setelah menerima kresek yang kuberikan, meninggalkan Gigi yang masih kebingungan.

Aku menjawab tanpa ditanya, "Adek gue, Niki." Info tambahannya, dia bukan tinggal di sini. Kebetulan lagi main karena liburan semester. Ke sininya ikut sepupu naik pesawat. Dan sebelumnya aku ngontrak sendiri.

"Tiri?"

Aku mengernyitkan dahi, "Kandung. Gaada yang nikah lagi."

"Kok bisa?"

"Bisa. Dia lahir waktu lu udah pindah."

"Maksud lo dia masih..." Dia berhitung di kepalanya.

"13 tahun."

"Haaah? Gila. Anak jaman sekarang emang gayanya maju banget. Gue pikir dia paling nggak SMA loh. Iya ya, kok ga kepikiran ya dia adek lo?" Entah kenapa kurasa Gigi tiba-tiba jadi semangat.

"Emang lu ngira siapa?"

Dijawabnya dengan canggung, "Ga siapa-siapa."

Akhirnya Niki kembali dari dapur mengantarkan kami ke waktunya makan siang. Kalau dipikir-pikir, yang sebelumnya juga soto. Sudah jadi makanan wajibnya ya ini? Waktu kecil padahal dia tidak suka makanan yang terlalu banyak kuah.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang