31. We grew up

56 12 0
                                    

Cerita Lucas 🍀

2007

Seperti katanya rumah kami hanya berjarak sepuluh hitungan. Berjalan ke rumahnya seperti hafalan perkalian lima yang megalir begitu saja tanpa perlu berpikir. Bahkan tutup mata pun aku bisa, saking menghampiri dan membawanya keluar adalah sebuah kebiasaan.

Sore itu pun begitu. Sambil menghitung langkah, aku berjalan riang menuju jendela kamarnya untuk menjemput tuan putri dari kastilnya. Aku begitu bersemangat sebelum aku berharap saat itu seharusnya aku tidak datang. Semua sumringah seketika hilang saat suara pecahan kaca membuyarkan lamunanku.

Tepat di hitungan terakhir badanku membeku. Baru kali itu aku mendengar suara teriakan sebegitu menakutkan per umur 7 tahun. Wanita itu adalah tante Risa, ibunya Gigi. Hari itu aku melihatnya jauh berbeda dari apa yang biasanya dia perlihatkan di depan kami. Dan aku tidak yakin apa itu juga yang pertama bagi Gigi.

"KALO KUBILANG TIDUR YA TIDUR!!! NGURUS SATU ANAK AJA KOK GINI BANGET YA ALLAH, YA ALLAH! KAMU BISA BAYAR UTANGKU GAK?! KALO TAU GABISA JANGAN NGATUR DI RUMAH INI!" Kalimatnya terpotong sebentar dengan tarikan dan hembusan nafas. "Jangan keluar kamar sebelum bapakmu pulang," dengan nada lebih rendah, seperti baru kembali ke kendali.

Pintu Gigi bersuara. Dia akhirnya masuk menuruti ibunya. Aku ingin pulang tapi kakiku tidak bisa bergerak karena ketakutan. Takut Gigi kenapa-kenapa, taku ketahuan, takut aku kenapa-kenapa.

Tanpa sadar mata kami bertemu lewat sela-sela gorden. Aku yang tidak bisa berpikir panjang saat itu karena ketakutan, langsung berlari kembali pulang berharap dia belum sempat mengenaliku.

Gigi, dia, sudah berapa hari dia lewatkan seperti itu?

Lebih dari aku menyesal sudah datang, aku menyesal sudah kabur hari itu.

Di lain harinya, mama bertanya kenapa aku tidak main dengan Gigi dan kubilang aku takut dengan ibunya. Aku menceritakan apa yang kulihat dengan mama. Mama bilang, orang dewasa tidak jahat, hanya sulit dimengerti. Mama bilang tidak baik membiarkan temanmu sendirian saat kamu tahu dia sedang butuh ditemani. Maka saat itu aku menemui Gigi dengan alasan ada oleh-oleh dari perjalanan dinas papa.

"Ini dibeliin papa Lucas. Kata mama harus bagi sama Gigi." Kami sudah berada di dalam markas kebanggaan kami dengan satu kotak pisang bolen di tanganku.

Gigi dengan senang hati menerima dan menjadikannya santapan ringan di sela-sela obrolan kami.

"Kata mama kalo Gigi takut di rumah Gigi boleh nginep di rumah Lucas sekali-sekali."

Aku tidak tahu bagian mana dari kalimat tersebut yang membuat Gigi menghentikan kunyahannya.

"Emang rumah aku kenapa?"

"Maksud Lucas kalo tiba-tiba ibu Gigi kaya gitu lagi,-"

"Emang ibu aku kenapa?"

Gigi mulai terlihat marah. Aku kalau bisa melihat wajahku, pasti seperti orang tertangkap basah sedang melakukan kesalahan.

"Karena mama kamu baik banget, dia bilang ibu aku aneh?" Suaranya semakin meninggi.

"Kok jadi nyalahin mama Lucas?" balasku dengan suara yang bergetar.

"Kamu duluan yang nyalahin ibu aku. Kamu pamer rumah kamu, kamu pamer keluarga kamu, papa kamu. Kamu kan anak baik, ga pernah bikin ibu nangis, ga pernah bikin ayah kamu jadi ga suka pulang. Kamu anak baik, aku nakal. Makanya waktu itu kamu pergi kan? Karena aku bukan anak baik."

"Gigi kok ngomongnya gitu?"

"Gara-gara aku ga nurut semuanya pergi. Kamu juga pergi aja."

Mungkin saat itu, aku terlalu terkejut dan sedih untuk tetap tinggal.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang