39. Kalau aku hujan, dia tanahnya

34 7 0
                                    

Tulisan Dyra 🌼


Tahun kedua Putih Abu-abu, 2015.

Sore ini, hujan November pertama di tahun ini. Bau hujan, menenangkan sampai ke tiap-tiap ruang di dada. Dari koridor lantai dua, nampak sangat nyata bagaimana kawanan air itu jatuh bertalu-talu menuju dasarnya. Bukankah bumi dan fenomena alamnya itu menakjubkan? Sesuatu yang berasal dari lapisan atmosfer telah sampai di daratan seolah mereka sedang berkirim-kirim sinyal. Lantai dua yang terbaik. Tempat di mana langit dan taman bundar bisa beradu serasi menjadi satu bingkai yang pas bagi yang melihatnya lama-lama. Bukan tanpa alasan aku tergerak untuk mengabadikannya ke dalam galeri ponsel.

Segera saat bunyi pertanda foto sudah ditangkap, dari belakang suara manusia menyambut. "Bahkan langit pun menangisi kepergianmu. Tiada senja yang datang menjemput, hanya petir yang bertikai karena kau tak kunjung di sini."

Itu Bagas, seorang sahabat dan tidak lebih. Dia memang ahli untuk membuat segala tingkah lakuku terlihat memalukan. Entah dari mana dia belajar kosa kata itu namun siapa pun akan terganggu kalau cara berbicaranya seperti itu. Jahil!

"Apaan sih?" Aku hanya menyeringai, diam-diam berharap dia berhenti mempermalukanku seperti tadi.

Senyuman puas kemudian muncul di wajahnya. Mudah sekali dia tersenyum, semudah aku tertawan setelahnya.

"Udah nunggu lama? Yuk?" Dia menyipratkan air hujan tepat di wajahku. Dia sadar aku termangu, namun tidak sadar alasannya. Atau dia memang tidak sadar dua-duanya namun hanya berperan sahabat yang usil.

"Emang siapa yang nungguin?" aku mengelak.

Dia tak mau kalah. "Nungguin hujan reda maksud gue."

"Oh."

"Eh ayok keburu telat," ajaknya ulang. Sejak pertama dia bisa berkendara roda dua dengan legal, aku turut menjadi penumpang setianya. Itu berkat rumah-rumah kami hanya dipisahkan oleh dua nama jalan. Aku sudah tau bahwa kebiasaan itu hanya akan menempatkan posisiku menjadi semakin sulit.

"Ga bawa payung. Kamu?"

"Ah lama." Bagas lekas menarik tanganku, menyeretku ke tengah-tengah hujan. Terobos semua percikannya, menuju parkiran motor sampai tujuan akhir adalah rumahku. Menetes-netes dari kedua seragam putih dan abu itu, air hujan yang menyenangkan, membasahi teras rumah yang aku yakin akan menjadi penyebab mood Mba Ida rusak sampai malam. Dia memang ajaib. Aku tidak suka.

"Balik dulu. Bye." Ya Tuhan sungguh curang ciptaanmu ini. Sudah membuatku basah kuyup begini malah meakhirinya dengan pamit yang dingin. Sebatas lambaian tangan dengan punggung yang sudah diperlihatkannya.

"Eh." Aku menunda keberangkatannya. Berhasil. Dia berbalik. Tidak berucap apa-apa tetapi seperti menunggu yang akan kukatakan. Dan sekarang aku bingung mau bilang apa. Ayo Dyra, berpikir.

"Keburu telat maksudnya apa? Habis ini ada turnamen?" Ah, hanya itu yang bisa terpikirkan. Aku hanya memanggil kembali ucapannya sebelum mengantarku pulang di sekolah tadi.

"Telat nganterin lo pulang. Lama-lama di luar bisa kecapean, terus sakit deh," tuturnya dengan raut yang tak acuh, berdera dari apa yang dikatakannya.

"Lah terus maksudmu hujan-hujanan gini aku bakal sehat sentosa?"

Dia menyeringai geli. Senyuman itu lagi!

"Milih sakit karena hujan-hujanan, atau karena kecapean di luar?" Dia mulai berbicara semau-maunya lagi, tidak peduli korelasinya datang dari mana. "Ntar kalo kena flu ya berarti lo tinggal istirahat, anggap aja itu alarm dari dalam tubuh lo biar nggak maksain diri lagi."

"Maksudmu sengaja biar aku sakit? Dasar kriminal!"

Dia tertawa lagi. Huh harusnya aku tidak usah mengatakan itu.

"Awas, jangan begadang. Kalo ada yang ngajakin ketemu bilang lo lagi sakit. Kalo si ketua osis itu nyuruh-nyuruh lo, bilang lagi sakit." Omong kosong macam ini yang bisa terdengar tidak masuk akal sekaligus menyentuh. Bagas memang ajaib. Sekali lagi, aku tidak suka.

Ngomong-ngomong tentang ketua osis, aku dulu memang terlibat aktif sebagai sekretarisnya. Sudah sewajarnya sebenarnya tugas-tugas yang disebut dia "nyuruh-nyuruh" itu aku kerjakan. Aku selalu bisa mengatasinya dengan baik sampai di suatu jam istirahan Kak Aiden, namanya, membawaku ke taman bundar untuk membiarkanku mendengar kata-kata pengakuannya. Semua yang bisa menjangkau kami, dari lantai satu sampai lantai tiga, berbondong mengambil posisi seolah tidak ingin kelewatan sebuah pertunjukan. Beberapa dari mereka yang ada di lantai dua ternyata merupakan bagian dari rencananya, memegang banner bertulis isi pengakuannya untuk mengajakku berpacaran. Sungguh sebuah cara pengakuan yang sedang nge-trend di jaman aku SMA dulu.

Astaga! Aku malu sekali. Aku tidak bisa tenang menyadari ada berapa banyak mata yang saat ini sedang tertuju padaku. Sejujurnya aku tidak pernah melihat ini sebagai perilaku yang romantis. Sebaliknya cara seperti ini menurutku sangat memberatkan seseorang yang dinantikan jawabannya. Apakah mereka tidak berpikir bahwa keputusan yang diambil tidak akan murni berasal dari perasaannya? Bagaimana kalau itu sudah dipengaruhi oleh pertimbangan untuk tidak ingin memperlakukan seseorang dan penonton-penonton yang mungkin akan kecewa dengan akhir pertunjukannya? Atau memang itu tujuannya, entahlah. Aku berharap seseorang bisa membawaku kabur dari semua ini.

Semua orang menungguku untuk berbicara dan itu malah membuatku semakin takut untuk menjawab, bahkan bergerak. Sampai akhirnya aku tidak menyangka doaku dikabulkan. Seseorang yang datang untuk memberikanku tiket keluar.

Dia masuk ke tengah-tengah, menjadikan dirinya tokoh baru dalam pertunjukkan. "Maaf nih, ganggu. Tapi Dyra tuh belom dibolehin pacaran sama Ayahnya."

Semua bersorak kecewa.

Dia mengangkat tangannya sebagai permintaan maaf sudah mengacau, "Gue cuma nyampein mandat bos, bokap dia serem, gue takut."

Kau mungkin sudah tahu siapa tokoh baru itu: Bagas Tri Ardhana. Tindakannya yang sungguh berani itu berakhir dengan menarik tanganku untuk membawaku keluar dari "pentas", menuju tempat yang lebih tenang. Oh, sebelum itu dia bahkan sempat mengacungkan jempol dan mengedipkan satu mata untukku seolah dia sudah melakukan hal yang benar. Memang sudah sangat benar. Kerja bagus!

Namun sayangnya, lagi-lagi aku berharap yang tidak ada. Kejadian itu hanya membuat perasaanku semakin tumbuh tidak tahu diri. Berharap perasaan kami akan bertemu di permukaannya, namun hanya milikku yang berhasil menembus tanah, mencari-cari benih di samping yang tak kunjung muncul. Karena memang tidak pernah disemai.

Bulan-bulan menahun, perasaan itu belum mati juga. Entah zat hara mana yang diserapnya sampai dia bisa tumbuh sebaik ini tanpa seizinku. Ada dua hal yang tidak boleh hidup berdampingan di dunia ini. Sebaik apapun kau merawat keduanya, pada akhirnya kau tetap harus menghancurkan salah satunya: perasaan atau pertemanan.

Sewajarnya, dia menemukan perempuan yang menarik di matanya. Kau sudah mendengar namanya: Leora. Cantik seperti namanya. Aku tidak bisa menyangkal kalau batinku memberontak menentang hubungan itu. Kenapa bukan aku?

Namun sayang-bagiku sesuatu yang harus disyukuri-, mereka menemui titik ketidakcocokan. Menurut Leora, hubungan mereka berantakan karena aku hadir di antara mereka. Tapi siapa peduli? Dan kalimat itu harusnya diperbaiki, bukan aku yang hadir, tapi dia. Aku sudah ada lama di dalam daftar tunggu sebelum dia. Mungkin dia benar soal aku sudah merebut perhatian Bagas selama mereka bersama. Tapi siapa peduli? Kenyataanya dia tidak menerima keseluruhan sisi Bagas yang sudah tumbuh bersamaku. Itulah yang terjadi kalau kau memaksakan sebuah hubungan, Dyra! Kandas.

Beberapa kali dia terlepas dari sebuah hubungan, kupikir harapanku kembali, atau aku memanggil harapanku untuk kembali. Kukira pernah, setidaknya sekali saja, dia bisa melihatku sebagai perempuan. Namun aku salah besar. Aku hanya menyiksa diri dengan berpikir seperti itu. Karena kenyataannya, dia begitu tidak jauh-jauh atas nama persahabatan, penjagaan, perjanjian sebagai orang luar yang paling dipercaya oleh keluargaku. Paling tinggi mungkin aku hanya dianggap sepupu.

🌼 🌼 🌼

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang