Cerita Lucas 🍀
Baru kali itu aku melihat Hana dengan tatapan kosong tidak bersemangat, duduk di ruang depan rumah belajar sambil memangku pipinya dengan tangan kanan, persis remaja yang baru mengenal cerita merah jambu. Aku berniat untuk sekadar melewatinya tanpa mempedulikan apa yang sedang dia pikirkan. Namun sayangnya matanya terlanjut mendapatiku sebelum aku berpaling.
"Gue mau nanya dong."
"Apaan?" Terpaksa aku ikut duduk di sampingnya.
"Mungkin ga sih cowo suka sama dua cewe sekaligus?" Sepengenalanku, Hana tidak mungkin membagikan masalah pribadi -apalagi soal asmara-nya ke temannya. Mungkin karena dia belum menganggapku teman, jadi dia bisa santai karena dia tidak peduli apa yang kupikirkan dan aku pun demikian.
"Kalo pertanyaannya gue balik, mungkin ga cewe suka sama dua cowo sekaligus?"
"Kok lo jadi nanya balik?"
"Karena gua juga pengen tau."
"Bukannya Gita udah jelas banget ya?"
"Ya kan? Bagas juga jelas banget kan?" Aku tidak tahu kenapa kami bisa terus terang dan anehnya bersemangat untuk itu.
"Jadi jawabannya apa anjir?" tukas Hana.
"Gatau. Gaada di perpus," jawabku ogah.
"Oh iya baner juga, cari di google deh," usul Hana yang kemudian lekas membuka ponselnya untuk mengetikkan rasa penasaran kami di sana.
"A plausible way of explaining this difficulty is to claim that romantic love is based upon a few significant characteristics of the beloved, and hence loving more than one person at a time may not be entirely unfeasible, as the additional love would be based upon a different set of characteristics, and thus the two loves could be considered complementary rather than contradictory. Another context for such polyamorous love is having two romantic relationships which are at a different stage: One could be at the infatuation stage and the other at a later, more mature stage."
From psychologytoday.com
Sejenak setelah selesai membaca masing-masing dalam hati, kami bertukar tatap.
"This is not the answer we want, right?" Hana menatapku pasrah. Begitu juga aku.
Kebetulan yang tidak terlalu kebetulan. Dyra baru sampai dan masuk, berjalan di sebelah kami. Meja ini posisinya ada di bagian sudut depan ruang ruko. Tiap ada yang masuk, pasti langsung melihat dan melewatinya dulu.
"Dyr, sini deh," panggil Hana.
Dyra mengambil posisi duduk di depan kami dan Hana langsung memberikan kode kepadaku untuk mengambil bicara duluan.
"Lu, anak psikologi kan?"
"Iya, kenapa, Kak? Mau minta aku baca pikiran? Ga bisa, Kak, aku anak psikologi, bukan dukun."
Aku tersenyum kecil menyikapi responnya. Kadang-kadang dia bisa menjadi tipe orang yang menyebalkan tapi tidak bisa dibenci.
"Ini, buat keperluan penelitian gua ya, mungkin ga sih orang bisa suka sama dua orang sekaligus?'
Dyra tersenyum kecut, "Aku tau kok apa yang kakak pikirin."
"Tadi katanya gabisa," tukasku.
"Hhh.. Pasti Kakak mikirnya kalo cewe suka sama dua cowo di saat yang sama, dia egois, serakah, pecundang yang ga mikirin perasaan masing-masing orang yang dia suka. Ya, kan? Sayangnya, engga, Kak. Suka sama dua orang di saat yang sama itu mungkin, dan bukan berarti jahat. Sederhananya, karena gaada dua orang yang sama di dunia ini. Seseorang mungkin pendengar yang baik, seseorang yang lain supporter yang baik. Walau pun kita ga mencari sempurna, tapi kadang perasaan itu dateng gitu aja."
Ujung mataku melirik Hana di samping, penasaran bagaimana reaksinya setelah mendengar ini langsung dari rival sehatnya.
"Jadi boleh gitu?"
"Hm... Kita kan ga bisa kontrol perasaan kita, tapi kita bisa kontrol reaksi kita terhadap perasaan itu. Mau menyakiti perasaan keduanya, atau merelakan satu perasaannya sendiri. Atau lebih bijaknya lagi, sebelum tumbuh lebih dalam, seharusnya dari awal perasaannya jangan dikasih makan."
Tidak lama, satu orang datang lagi; salah satu tokoh cerita yang sedang dibahas.
"Lagi ngomongin apa si? Boleh gabung ga?" Gigi bertanya sambil tetap berdiri di sebelah Dyra.
"Engga. Lagi diskusi ringan aja kok." Hana akhirnya berbicara.
"Hemmm... Gini ya kalo tiga orang pinter digabungin. Jadi kangen Bagas deh, mau gibah, bukan diskusi." Gigi melanjutkan langkahnya setelah tidak tertarik dengan kegiatan kami.
Dyra kemudian beranjak mengikuti Gigi.
"Btw, kenapa anak HI ngulik penelitian tentang cinta segitiga ya?" Dyra tersenyum jahil sebelum dia dan Gigi kembali berjalan, seolah sengaja mengatakannya di sebelah Gigi.
"Hm? Maksudnya apa?" bingung Gigi.
"Ga ada apa-apa. Udah yuk masuk." Dyra lekas mendorong santai punggung Gigi menuju salah satu kelas.
"Kok dia manggil gua kakak tiba-tiba?" heranku setelah mereka sudah menghilang dari pandangan.
"Iya kita baru tau lo setahun di atas kita."
"Terus lu kenapa manggil gua sebaya?"
Hana merubah ekspresi wajahnya menjadi tidak senang.
"Udah lo bisa pulang aja ga sih?" tukasnya.
Aku lantas menepuk-nepuk punggungnya sebelum pulang, untuk memberi sedikit dukungan atas kegalauan yang dia simpan sendiri atas nama harga diri dan gengsi itu.
🍀 🍀 🍀
Sejak dari keterbukaan itu, aku dan Gigi menjadi lebih dekat, hanya berjarak kendaraan roda dua. Tidak ada keraguan lagi, aku pun tidak begitu keberatan kalau dia beberapa kali ke kontrakanku hanya untuk menjadi saksi aku mengerjakan tugas akhir. Referensi tahun depan, alasannya. Kadang juga berjalan sedikit ke coffee shop terdekat. Kadang aku yang ke rumahnya, tapi lebih sering dia yang datang. Dia juga sudah tidak lagi bergentayangan di perpustakaan untuk mencariku. Kadang ada juga saat-saat aku celingak-celinguk memeriksa keberadaanya namun dia memang tidak ada. Tidak pula ada memo singkat. Mungkin permainan sembunyi dan mencari sudah membosankan baginya atau dia akhirnya sadar bahwa dia bukan pengangguran yang bebas mengikuti jadwal orang lain. Namun sedikit kubilang bahwa kekosongan kecil itu terasa hilangnya. Walau harusnya tidak berkurang karena dia bisa tiba-tiba saja di sini, di sana, dan di depan pintu rumahku.
Ponselku berdering dengan menunjukkan nama "Om Danar" di sana. Seharusnya aku tidak membuka itu di samping Gigi. Matanya langsung menatap tajam ke arah ponselku, setelahnya bergantian ke bola mataku yang otomatis berlari kemana-mana menghindarinya.
"Kok ga diangkat?" curiganya. Tatapannya kini terasa mengintimidasi. "Itu orang yang gue kenal ya?"
Ini seharusnya tidak menjadi rahasia. Namun seperti ada yang tidak tepat kalau dikatakan di saat seperti ini. Aku juga tidak terlintas pikiran untuk menceritakanya sebelumnya.
"Angkat dong." Gigi meraih ponselku perlahan seolah sedang mengonfirmasi persetujuanku untuk itu. Ditekannya tombol hijau untuk menjawab. Sedikit bisa kudengar suaranya dari jauh sana, menanyakan apakah aku saat ini sedang bersama dengan Gigi, anak tirinya.
"Aku ada di rumah Lucas," jawab Gigi dengan suara yang tegas membuat suara di seberang telfonnya berakhir seketika.
Gigi menatapku kecewa dan putus asa di saat yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda Vu
ChickLitPertemuan pertama setelah 12 tahun, di stasiun kereta lepas petang, Gita mendapati orang itu kembali dengan raga yang jauh tumbuh dari yang dia lihat terakhir kali. Tinggi badan yang dulu ada di bawahnya kini harus membuatnya mendongak sedikit untuk...