Cerita Lucas 🍀
Setiap perjalanan punya ceritanya masing-masing. Berhadapan dengan buntu, tersandung beberapa kali. Kadang lancar, kadang bertemu tanjakan, kadang bertemu tanjakan yang curam dan licin. Kadang datar namun tak berarah. Kadang tersesat di liku labirin, kadang terbentang luas namun hanya kabut yang tampak. Di sanalah cerita ditulis. Kita tersendat dan merasakan makna di setiap persinggahannya. Kita rehat dan bertemu lanjutan kisah di setiap jedanya. Langkah demi langkah.
And here I am. Di depan meja hijau penentu akhir perjalanan di kampus ini. Serba rapi dengan kemeja putih, lengkap berjas hitam selepas keluar dari ruangan yang lumayan mencekam.
Karangan bunga berdatangan dari mana-mana, bahkan dari orang yang tidak disangka. Kubilang ini perayaan sesaat sebelum kembali memikirkan kehidupan pascakampus. Aku apresiasi semua ucapan selamat dan bingkisian ini, tapi sumpah, tanganku yang hanya dua tidak mungkin cukup untuk mengangkut semuanya.
Seseorang yang kemudian mengaku bersedia menjadi manager sehari berlari ke arahku seolah sudah sangat terlambat. Sampai selangkah di depanku hanya tinggal nafas yang terengah-engah. Sambil memeluk karangan bunga, dia menatap tanah, mencoba menstabilkan dirinya kembali. Memang betul berpacaran membuatmu berpikir semua tingkah yang dilakukan pasanganmu selalu terlihat menarik, seberantakan apapun penampilannya.
Aku menyelipkan sebagian rambutnya yang jatuh menghalangi wajahnya ke belakang telinganya.
"Maaf ya, aku gabisa bolos lagi. Kamu tau kan kemarin aku udah ngambil banyak jatah bolos?" ucapnya di sela-sela usaha meembetulkan tempo nafas. Setelah diusap-usapnya sedikit, dia menyerahkan karangan bunga itu dengan mata yang memancarkan cahaya kehangatan.
"— Dari pacar Lucas paling cantik," tertulis pada memonya.
Setelah beberapa degupan yang kembali teratur, tidak ada yang ditahan dari raut wajahnya. Dia menggeleng beberapa kali seperti keheranan.
"Kok bisa ganteng banget ya?"
"Siapa?"
"Ya elu lah pake nanya."
"Pacarnya."
"Gue dong."
Percakapan kami seperti biasa tidak berarah namun memicu sedikit warna merah muda di bawah mata. Sesaat Leo datang dengan tangan yang penuh, walau beberapa sudah diamankan di ruang BEM sementara. Beberapa di antaranya, cokelat, bunga, atau barang lain dari mahasiswi yang kukenal saat aku menjadi panitia masa orientasi mereka. Leo nampak menggerutu, tampang lelahnya bahkan mengalahkan Gigi yang usai berlari.
"Buset dari cewe semua nih? gue pikir yang begini cuma ada di series." Gigi terheran-heran, matanya berbinar menatap cokelat-cokelat itu dan dari yang kutangkap memang dia ingin mengakuisisinya.
"Ambil aja kalo mau," ucapku menawarkannya apapun yang dia mau dari atas tangan Leo. Sedangkan Leo, tanpa dihiraukan, masih merasa dunia berputar tidak seimbang di porosnya.
"Beneran? Semua ga?" Gigi memastikan.
"Terserah lo." Wajahnya memang selalu ceria, tapi satu kalimat itu bisa membuat skala menyenangkan dari parasnya naik dan naik lagi. Seolah-olah aku sudah melakukan hal besar. "Aaa sayang deh."
🍀 🍀 🍀
Ada beberapa hal yang perlu kuurus bersama dengan dosen pembimbing. Terpaksa aku meninggalkannya sebentar sampai aku kembali lagi. Namun nyatanya dia memang sulit untuk berdiam diri sebentar. Perlu ekstra langkah sampai aku menemukannya diantara orang-orang. Dia menunduk tak lepas menyimak sesuatu di dalam ponselnya. Baru saja aku ingin menyusul, sebuah dialog muncul membuatku mengurungkan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda Vu
ChickLitPertemuan pertama setelah 12 tahun, di stasiun kereta lepas petang, Gita mendapati orang itu kembali dengan raga yang jauh tumbuh dari yang dia lihat terakhir kali. Tinggi badan yang dulu ada di bawahnya kini harus membuatnya mendongak sedikit untuk...