53. Cerita di jalan pulang

70 7 2
                                    

Sini, duduk bincang kita berhari-hari. 

Sini, sampai lupa caranya kita berdiri.


Tulisan Dyra 🌼


Hari presentasi tiba. Aku maju dengan kelompok yang lebih baik dari yang seharusnya aku dapatkan. Tidak ada masalah kecuali Bu Dosen yang menyadari anggota kami berubah. Aku mencoba tetap tenang walau pun khawatir akan berpengaruh terhadap nilai yang sudah kami perjuangkan. Dengan tenang aku mengaku kalau aku yang meminta bertukar kelompok untuk masuk ke sini.

"Kok lo ngaku-ngaku? Enggak, Bu, saya yang minta kok." Gita tiba-tiba berdiri dan berusaha untuk meyakinkan beliau. Nadanya ketus tapi entah kenapa aku merasakan perlindungan dari kata-katanya. Tidak ingin membuat semuanya lebih rumit, beliau akhirnya membiarkan kami dengan tebusan menuliskan lima halaman essai tambahan.

Aku pikir akhirnya aku bisa presentasi dengan lancar. Menyuarakan gagasan dan kembali ke tempat. Ternyata hasil kerja kami diapresiasi oleh wanita berkarisma itu karena sudah berhasil bekerja sama dengan perusahaan penggalang dana daring yang cukup terkenal dan menciptakan inovasi baru bagi mereka. Kalau presentasi ini berjalan tanpa masalah, beliau menyinggung mungkin akan dengan mudah memberikan nilai sempurna. Sehingga itu memancing pertanyaan pada sesi tanya jawab. Tentang bagaimana prosesnya sampai bisa bekerja sama dengan mereka.

"Yang nggak good-looking mundur aja," seloro seseorang. Tidak dengan lantang namun kami semua dengar. Mereka terkekeh seolah itu lucu.

"Nggak cantik-cantik banget gapapa asal bapaknya oke," balas salah seorang yang lain. Jelas mereka menyerangku.

"Asal gak sama bapak orang ya." Yang kali ini suaranya lebih pelan, duduknya di samping yang sebelumnya. Aku bisa dengar samar-samar dan menangkap gerakan bibirnya. Sedikit banyak aku merasa bersalah dengan kelompokku karena bagaimana pun kalau tidak ada aku mereka tidak akan tergiring sehingga menerima sentimen negatif seperti ini.

"Ada apa di sini? Kalian anak SMA?" Merasa bertanggung jawab atas suasana yang telah timbul, Bu Dosen mengambil alih perhatian.

Sejenak ruang kembali menjadi tenang. Sebelum terdengar celetukan dari seseorang, "Gara-gara dia Bagas jadi dikeluarin, Bu."

"Kenapa bukan dia aja yang keluar, sih?"

Tak berhenti sampai di situ, balasan datang lagi dari sudut, "Keadilan sosial bagi yang good-looking saja."

Kakiku membeku seperti tak merasakan pijakan lagi. Mataku yang terpaku seketika melihat Gita baru akan bangkit dari duduknya. Namun sebelumnya, keberanian yang sedang kukumpulkan akhirnya penuh dan membuatku sontak bersuara. "I work better than my face."

Ruang yang sempat hening kemudian meramaikan bising dan setengah bersorak. "Nyadar dia ternyata."

Tidak semuanya menyudutkanku. Hanya beberapa. Hanya beberapa kepala tidak akan membuatku merubah pandangan terhadap diriku sendiri. Mereka berpengaruh apa juga, dalam hidupku? Awal-awal mungkin terasa menyekik, tapi di ruangan ini bukan hanya ada mereka. Ada teman-teman kelompok yang kini berdiri bersamaku dan sudi bekerja sama tanpa mengusik kehidupan pribadi. Ada Bu Dosen pula yang selalu bersifat objektif dan bijaksana. Dan ada Gita. Gita yang masih dingin denganku. Gita yang aku yakin akan kembali.

Tepat selesainya kelas itu, selesai pula energi-energi tidak sehat yang kuterima dari lisan tajam mereka. Setidaknya begitu yang kupilih. Mungkin hari itu sudah ditetapkan. Tepat saat aku keluar menuju auditorium untuk menghadiri kuliah umum siang itu, mungkin kakiku sudah ditakdirkan untuk melangkah di sebelahnya saat melewati pintu ruangan. Aku memilih kanan, jalan tercepat menuju auditorium. Sedang Gita memilih kiri, jalan tercepat menuju gerbang, atau hanya jalan tercepat menghindariku.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang