Dari Bagas🌸
"Gas udah bangun?" Dyra bisa dibilang alarm manusia kedua gue setelah nyokap. Pagi-pagi sebelum berangkat kampus dia pasti mastiin nyawa gue ada. Level satu lewat chat. Level dua telfon. Level tiga dia pergi sendiri gue ditinggal alias dia bangunin gue gara-gara gue biasanya jemput dia. Sebelum ditelfon, gue perlu setidaknya bales stiker random buat ngirim sinyal kebangunan.
Nyampe di rumah Dyra, seperti biasa, dia udah nunggu di depan terasnya sambil main hp yang sebenernya baca e-book atau scroll Twitter.
Klakson dari gue.
Dyra sadar dan segera nyamperin. Diraihnya dulu tangan kiri gue untuk ngelihat jam tangan di sana. "Masih ada waktu nih, udah sarapan?"
"Udah. Yuk langsung aja."
"Masa? Tumben?"
Gue cuma ngangguk pertanda iya.
Dyra ngetuk-ngetuk helm gue yang masih terpasang bahkan kacanya ga gue buka.
"Kenapa sih? Kaya beda kamu."
"Udah naik aja biar ga telat." Akhirnya dia nurut. Dyra kayanya mikir gue ada apa-apa makanya dia sepanjang perjalanan berusaha mencairkan suasana, teruma tiap berhenti di lampu merah. Yang nyeritain kang syomai pagi-pagi udah dorong gerobak lah. Penyebrang liar. Nanya kok bisa macet padahal emang tiap hari. Tapi kalo boleh jujur, gue lagi ga pengen diajak ngobrol.
"Duluan," kata gue begitu dia turun pas kita udah sampe kampus.
"Mau ke mana? Barengan aja."
"Ngga, duluan aja," kekeuh gue.
Dia diam sebentar. "Aku ada salah, ya?"
Akhirnya kebaca juga. Padahal bukan salah dia gue jadi ninggalin Hana. Dia juga ga tau apa-apa. Tapi semakin gue liat dia semakin gue ngerasa serba salah. Dari dulu, gara-gara terbiasa ngerasa punya tanggung jawab atas Dyra, gue selalu lupa sama perasaan gue sendiri.
Dyra tiba-tiba berusaha buka helm gue yang saat itu juga langsung gue tahan.
"Apaan sih, Dyr?" Tangan dinginnya gak bisa bergerak karena gue tahan di sisi helm gue.
"Ih. Ngomong yang bener sambil liat mataku."
Saat tangan gue lengah, saa itu dia akhirnya berhasil ngelepas helm dari kepala gue. Kaget dia.
"Kamu tadi malem ngapain?" Dia meriksa satu-satu lebam di muka gue gara-gara berantem sama Riki tadi malam. Gue berusaha ngejauhin tangannya dari muka gue.
"Biasa kok. Sana masuk duluan, gue mau ada perlu." Akhirnya gue turun dari motor dan berusaha menjauh dari dia. Tangan gue malah ditarik sampe ngikutin langkahnya. Gue langsung ngelepasin tangan gue saat itu juga.
"Udah lah, Dyr. Ini juga ga bakal terjadi kalo bukan karena lo."
Dia tersentak diam. Kayanya kata-kata gue barusan bikin dia kepikiran. Tapi kemudian dia narik tangan gue lagi. "Iya nanti aja marahnya, sekarang kita ke poliklinik dulu."
"Hah ngapain? Orang ga kenapa-kenapa."
Dyra menghela napas.
"Yaudah, yaudah. Tunggu di sini." Dia langsung pergi setelah ngasih peringatan itu. Sebentar dia balik badan lagi cuma buat ngasih gestur 'jangan ke mana-mana'.
Dia kembali dengan kotak P3K yang didapatnya entah dari mana. Menurut gue ini berlebihan. Tapi dia keras kepala sampai mau ngobatin luka-luka kecil ini.
"Udah apaan sih Dyr. Kan lo jadi telat."
"Bukan aku aja tapi kita berdua jadi telat."
"Kalo gue gapapa. Lo kan beda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda Vu
ChickLitPertemuan pertama setelah 12 tahun, di stasiun kereta lepas petang, Gita mendapati orang itu kembali dengan raga yang jauh tumbuh dari yang dia lihat terakhir kali. Tinggi badan yang dulu ada di bawahnya kini harus membuatnya mendongak sedikit untuk...