Sudut Hana 🌻
Kali ini tentang Gita. Yang hobinya adalah dorong pintu yang tulisannya tarik. Gita yang bersumbu pikir pendek, terbiasa mengiyakan semua kata orang. Terlihat enteng hidupnya dari luar. Dan begitu pula di dalam, setidaknya, itu yang dia mau. Sepuluh tahun yang lalu, di koridor sekolah menuju ruang guru, aku tidak membayangkan pandangannya menjadi luas dan legowo seperti sekarang.
Saat itu aku memintanya membantuku untuk membawakan tumpukan buku anak-anak kelas ke kantor guru. Tiba-tiba buku di tangan Gita jatuh. Mungkin karena dia jalan sambil menunduk.
"Apasih yang kamu lihat di bawah? Takut keinjek semut?" Aku ikut merapikan buku-buku yang berserakan di lantai.
Dia hanya diam memperhatikan. Melihatnya dari posisiku kini membuat penampilannya lebih suram. Kuletakkan sebentar buku yang ada di tanganku di atas lantai. Aku berdiri sambil melepas satu jepitan rambutku kemudian kupasangkan ke poninya agar rambutnya tidak menghalangi wajahnya.
"Nah, gini kan seger. Matamu bagus tau. Kenapa ditutupin?" Ucapku sambil tersenyum, membuat dia yang mendengar juga ikut tersenyum tipis.
Dulu, masa kecilnya tak seriang anak-anak yang lain. Kalau melihat sikapnya yang sekarang, aku kadang tak menyangka kalau dia adalah Gita yang dulu kutemui. Gita yang dulu terbiasa memendam semua masalahnya. Selagi kami tumbuh bersama ada kata-kata yang sering kuingatkan padanya, "Lo jangan sungkan kalo mau cerita sama gue. Gue mungkin ga bisa ngasih respon terbaik. Tapi gue akan selalu pasang kuping sampe cerita lo habis."
Waktu itu responnya pasti begini, "Tapi kalo kebanyakan dengerin gue energi lo bisa terkuras juga, Han."
Dan aku akan selalu senang hati mengatakan, "Gapapa, nanti kita isi lagi bareng-bareng."
🌻🌻🌻
"Han. Gue tadi muntah." Ucapnya pulang-pulang.
Aku yang sedang berbaring di sofa menoleh, "Mabok lo?"
"Huss.. Sembarangan."
"Ditepok Bagas dari belakang."
"Ya Allah kalian mahasiswa apa anak SD sih?"
"Iya kan? Gue jadi inget masa-masa SD." Jawabannya seketika merubah suasana.
"Git.."
Masa yang dia maksud adalah, saat anak-anak laki-laki di kelasnya suka mengganggunya setiap hari. Salah satu dari kenakalan mereka adalah menempelkan kertas di punggung Gita semena-mena bertuliskan, "Dijual ketiak bau." "Jangan temenan sama orang gila." Atau kata-kata lain yang tidak pantas diperuntukkan pada anak perempuan yang masih polos itu.
Saat Ibu menyuruhku belajar yang baik di sekolah, kukira yang dimaksud adalah duduk rapi di meja mendengarkan guru berbicara kecuali saat jam istirahat berlangsung. Jadi aku diam saja selama satu tahun sekelas dengannya di kelas 2. Kemudian aku dan dia tak sekelas lagi sampai kami beranjak kelas 5, kami dipertemukan lagi. Ternyata saat itu labelnya dari teman-teman masih belum berubah, si anak bau nenek. Itu karena entah kenapa satu kelas bisa tau kalau dia hanya tinggal dengan seorang nenek. Tak ada yang mau duduk dengannya. Satu orang yang ada di sampingnya kini, tidak punya pilihan karena datang paling terlambat saat hari pertama.
Dulu aku juga anak kesayangan dan kepercayaan Bu Idah, wali kelas kami waktu itu. Sebagai ketua kelas, dia memintaku untuk melaporkan kenakalan anak-anak yang tidak dilihatnya. Menggunakan alasan itu, aku meminta Bu Idah untuk memindahkanku ke bangku di sebelah Gita. Aku sadar, waktu itu aku hanya perlu alasan. Bahwa yang sebenarnya aku tak tega melihat pengucilannya. Aku bisa saja bertukar meja langsung dengan teman semejanya tapi aku juga harus menjaga perasaan teman semejaku waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda Vu
ChickLitPertemuan pertama setelah 12 tahun, di stasiun kereta lepas petang, Gita mendapati orang itu kembali dengan raga yang jauh tumbuh dari yang dia lihat terakhir kali. Tinggi badan yang dulu ada di bawahnya kini harus membuatnya mendongak sedikit untuk...