42. Kembali ke Awal

41 7 2
                                    

Suara Gita 🍁


Tidak ada anak yang minta dilahirkan. Pun tidak ada orang tua yang memilih anak. Keduanya bertemu pertama kali di dunia untuk diminta saling menerima. Orang tua dan anak adalah jodoh terbesar dari kehendal Tuhan yang harus kita sambut. Hari di mana aku kembali ke kota itu lagi, adalah di mana langkahku terasa berat namun tergesa-gesa, hatiku tak siap namun aku penasaran setengah mati. Hari di mana kepalaku penuh dengan pertanyaan, apakah aku pernah, sedikit saja, diinginkan?

Aku mengunjungi Panti Asuhan yang namanya entah bagaimana bisa ada di antara barang-barang nenek, bertandatangan Ibu, beralamat tepat di tanah aku dilahirkan. Semuanya berawa dari sini. Aku perlu menyatukan satu-satu kepingan kaca yang pecah itu, walau tanganku akan perih nantinya.

Tidak ada yang kuberitahu kecuali teman-teman kelompok. Aku juga hanya membuka pesan dari mereka. Aku menjadikan tugas observasi lembaga sosial untuk bisa pergi ke sini walau ada banyak yang jauh lebih dekat dan harus menggunakan "jatah bolos" beberapa hari. Mereka sama sekali tidak berkomentar apa-apa saat aku menawarkan diri untuk mengerjakan seluruh laporannya. Pada dasarnya mereka memang anak-anak pemalas yang tidak peduli dengan kontribusi, lihat saja bagaimana mereka memperlakukan Dyra sebelumnya. Kalau Dyra sampai sekarang tetap ada di kelompok ini, aku merasa dia juga akan menjalankan peran yang sama sepertiku karena kearoganan mereka. Bedanya, aku sukarela demi kepentingan pribadi. Entahlah, semuanya secara ketepatan melengkapi alasanku atau memang dari awal sudah diatur, mungkin aku memang dipanggil ke sini.

Tiga hari sudah aku membujuk Kepala Panti untuk mau mencoba mengingat nenek. Mulai dari nama dan foto, dia tetap tidak tahu. Aku tahu fisik orang tua memang tidak mudah diingat, namun aku tetap tidak menyerah. Dengan alasan keperluan tugas pendidikan, dia mengizinkan aku untuk tinggal di sini beberapa hari. Aku mencari perhatiannya dengan bersungguh-sungguh membantu pekerjaan di Panti, walau sebenarnya tanpa alasan itupun, aku bisa melakukannya dengan senang hati.

Mulai dari membagikan makanan untuk anak-anak, bermain, memperhatikan jadwal, dan mengawasi mereka. Terima kasih untuk rumah belajar, aku merasa semuanya menjadi hal yang biasa untuk kulakukan. Sejenak di tengah-tengah kehangatan itu, aku merasa terhubung dengan mereka. Aku teringat akan sesuatu, bahwa aku hampir akan menjadi bagian dari mereka, atau sudah pernah ada di posisi mereka namun aku tidak ingat. Kenapa tidak ada yang bisa kutanyakan tentang ini? Kenapa harus setelah nenek tidak ada?

Aku sedang merapikan buku-buku di ruang tengah saat Bu Wantina, Kepala Panti itu, dengan santai memeriksa identitasku yang ditinggal beberapa hari yang lalu di meja administrasi. "Kamu Gigi?" tanyanya.

"Iya!" Aku menyahut dengan semangat, mengira dia akhirnya punya ingatan tentangku.

"Anaknya Pak Danar?"

"Iya. Eh bukan," jawabku tidak konsisten. Awal kata aku hanya spontan karena antusias ingin mendapat informasi darinya.

"Bukan gimana? Orang saya ingat banget beliau mati-matian batalin kamu di bawa ke sini," jelasnya. Dia tidak terlihat ragu sama sekali. Tapi apa maksudnya itu? Aku lebih percaya kalau dia bilang yang membawaku dari sini adalah wanita tua berkacamata yang tidak sampai hati melihat korban dari pertikaian keluarga anaknya.

"Kenapa dia mati-matian bawa saya?" Aku meninggalkan buku-buku yang baru kutegakkan. Aku tidak peduli walau mereka berjatuhan lagi. Aku hanya ingin mendengarnya lebih jelas, mendekat ke arahnya walau pelan-pelan karena tidak sepenuhnya siap.

"Karena beliau bukan wali sah kamu. Saya udah kasih solusi buat ngadopsi kamu secara resmi, tapi beliau bilang takut ngga bisa bertanggung jawab." Jelas aku lebih memilih tinggal di mana pun yang jauh dari dia! "Dan takut kamu makin trauma sama beliau katanya."

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang