Suara Gita 🍁
2013
Tiga belas hari setelah nenek meninggalkanku. Aku dibawa paksa oleh pria paruh baya bersama dengan seorang wanita. Bagaimana pun aku meronta-ronta, aku tetap akan kalah melawan tenaganya yang bersikeras menggendongku.
"Apa gak kita tunggu dia siap aja, Mas? Kasian kalo kita paksa."
"Bahaya, Ma. Anak SMP lagi berduka tinggal sendirian, gaada yang ngawasin. Kita bawa ke rumah dulu, ya? Nanti kalo dia udah bisa tenang, kita kasih dia pilihan."
Kelak aku tau mereka adalah orang tua Hana. Pria itu sejenak menurunkanku ketika mereka sedang berbicara. Namun genggamannya tetap kuat tidak melepaskanku.
"Aku bisa tinggal sendiri! Aku udah besar!" Aku memberontak saat dia agak lengah. Kuhempas kuat tangannya dariku lalu aku berlari kembali sekencang yang aku bisa. Aku berlarian tanpa memedulikan apapun sampai tidak sadar sebuah motor melaju ke arahku dengan cepat.
Hampir saja aku bisa kembali bersama nenek.
Saat aku membuka mata, orang pertama yang kulihat adalah mereka lagi. Aku sudah berbaring di kamar rumah sakit dengan perban membaluti lutut, tangan, dan satu lagi menempel di dahi.
"Aku mau ikut nenek," lirihku. "Aku ga punya siapa-siapa lagi."
Mamanya Hana lantas langsung mendekat dan memelukku. Aku ingat sekali apa yang dikatakannya saat itu sambil mencium kening dan mengusap-usap punggunggku dengan cepat. "Gita tenang aja, ya. Gita sekarang anak saya."
"Udah cukup. Nenek orang tua terakhirku." Aku mengurai pelukannya. "Aku gak mau ditinggal lagi."
Baru itu aku merasakan kembali sebuah pelukan yang hangat setelah hari-hari kurasakan begitu dingin. Aku pun mulai bertanya pada diriku sendiri, setelah luka berhari-hari yang kutahan dan tidak tahu cara mengobatinya, apakah ternyata yang kubutuhkan sesederhana sebuah pelukan?
Beberapa hari menginap di rumah Hana. Sesuai janji papanya, saat aku sudah tidak berlarut dalam duka yang terlalu dalam, aku boleh punya pilihan sendiri. Aku memilih untuk kembali ke rumah nenek, tinggal dengan sisa kenangan yang ditinggalkannya di sana. Namun dengan beberapa kesepakatan seperti mereka boleh mengunjungiku kapanpun mereka mau, mereka akan menjadi wali untuk kebutuhan sekolahku, dan aku tidak boleh bolos konsultasi dengan Tante Ratih, perempuan berjas putih yang punya ruangan wangi sekali.
Saat pertama kali masuk ke ruangannya, melihatnya berdiri menyambutku dengan senyuman, hal yang pertama kali kukatakan adalah,
"Tante, boleh minta peluk ga?"
🍁 🍁 🍁
Dunia dari mataku tidak seindah yang orang pikir. Hatiku yang sebenarnya gelap dan berdebu, kadang ada kebencian di sana. Aku lebih sinis terhadap dunia dari pada yang orang kira. Kagum dengan bagaimana seseorang selalu membawa hidupnya dengan ringan. Di antaranya adalah mereka yang ceria, jujur, dan naif di saat yang bersamaan. Maka aku berupaya menjadi bagian dari mereka, aku juga ingin dikagumi. Melihat refleksi diriku di cermin, kadang saat pikiranku sedang menghitam, aku mengutuk diri sebagai munafik, berpura-pura menjadi penyayang, berperan seolah dibesarkan dengan kehangatan. Padahal di dalam paru-paruku hanya dihembuskan udara dingin
Aku terus berpura-pura sampai aku bingung, mana diriku yang sebenarnya, kapan yang sudah bercampur dengan rupa buatan. Kata orang tawaku renyah, senyumku selebar buah labu. Tapi aku tidak tau apa itu benar diriku atau hanya sebuah karya yang berhasil aku ciptakan. Aku selalu senang melihat orang yang selalu positif. Namun di sisi lain pandanganku bercampur dengan perasaan sinis bahwa apa mungkin mereka sepositif itu tanpa memendam apa-apa? Aku malu untuk mengakui bahwa aku selalu berpikir pasti ada bagian gelap di dalam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda Vu
Chick-LitPertemuan pertama setelah 12 tahun, di stasiun kereta lepas petang, Gita mendapati orang itu kembali dengan raga yang jauh tumbuh dari yang dia lihat terakhir kali. Tinggi badan yang dulu ada di bawahnya kini harus membuatnya mendongak sedikit untuk...