Tulisan Dyra 🌼
Sebuah panggilan tidak dikenal menghubungiku, memintaku untuk menemuinya di depan pagar. Aku menurutinya. Seorang kurir dengan jaket pekerjaannya, membawa satu bingkisan kecil di tangannya. Padahal aku tidak merasa pernah memesan ini. Aku yakin juga tidak seorang pun di rumah merupakan pemesannya, karena jelas yang dihubungi adalah nomorku.
Dengan tetap mempertahankan kerendahan hatiku, sebenarnya aku cukup pernah beberapa kali mendapati hal seperti ini. Aku kenal dengan situasinya. Seseorang dengan sengaja memcoba meraih perhatianku dengan kejutan kecil seperti ini. Pertanyaannya hanya siapa di antara mereka saja.
"Jangan dikasih tau, mba, katanya," jawabnya sopan.
Aku menerimanya-aku merasa jahat namun lebih jahat jika kutolak- setelah berterima kasih dengan mas pengantar. Aku mengintip sedikit isi bingkisannya, cake sederhana namun tetap pada ke-estetik-annya, bertulis:
Dyrahayu!
Aku bertanya ini sudah jam berapa kepada mas tadi yang belum beranjak pergi. Jam 12 malam lewat 15 menit. Ini artinya memang sudah berganti hari ke hari ulang tahunku. Siapa pun pengirimnya, aku merasa berterima kasih sekaligus tak enak.
Ternyata dibalik kertas itu masih ada tulisan lagi:
Gue tau lo nggak mau ketemu gue.
But still, Happy Birthday!
Dari situ aku tahu siapa pengirimnya. Bukan seseorang yang ingin mengambil perhatianku, namun seseorang yang ingin mengembalikan perhatianku. Seseorang yang menganggapku penting namun tak sepenting aku menganggapnya. Aku tidak punya waktu untuk merasa keki dengan ini atau memang keinginanku untuk menjaga jarak sudah pada tenggat waktunya. Bahkan dalam hati pun aku masih bisa merasa senang dengan ini. Dalam kata lain, aku luluh, aku mengaku kalah.
Saat aku berniat kembali masuk ke rumah, Mas yang tadi memanggilku, ternyata dia belum juga pergi. Aku berbalik menunggu apa yang akan dikatakannya.
"Maaf, Mba, ini belum dibayar," ucapnya dengan raut yang segan.
Astaga! Aku tidak habis pikir, alias, siapa yang menduga ini? Anehnya, emosi dan respons fisikku berbanding terbalik. Dalam hati aku jengkel namun bibirku bergerak merekah sendiri. Aku menyeringai tak berkesudahan. Ini hanya menguatkan kalau pengirimnya dia.
Masalahnya, aku tak membawa uang serupiah pun. Siapa yang membawa dompet ke halaman rumahnya dengan menduga akan ada seorang penagih? Aku hanya membawa satu set piyama di tubuh dan satu ponsel, sudah itu saja. Dia sudah menunggu lama saat aku sibuk memikirkan pengirimnya tadi. Dari pada membuang waktunya lebih banyak, dengan tak enak hati, aku meminta izin untuk membayar lewat e-wallet ke akunnya. Dia setuju. Dengan begitu aku bisa kembali ke dalam rumah dengan tenang.
Ternyata tidak tenang. Baru selesai menutup pintu, aku mendapati satu buah mobil mendarat di depan. Aku kenal mobilnya, salah satu yang tinggal di sini namun tidak begitu menganggapnya rumah. Kalau iya, mana mungkin dia baru pulang jam segini. Bahkan ini terukur cepat, biasanya bersamaan dengan aku bangun untuk sholat subuh. Bau alkohol dan kemeja yang kancingnya tak teratur.
Aku buru-buru menutup gorden, mematikan lampu tengah, menuju kamar dan menguncinya rapat-rapat seolah aku sudah tidur dari tadi. Aku tidak membencinya. Hanya tidak suka bertemu dengannya, apa lagi hari ini. Dia selalu berwatak berkebalikan dengan apa yang ditunjukkannya. Dia tidak pernah berteriak atau melempar-lempar barang, namun malaikat mungkin sudah setiap hari mendengar hati Mama berteriak karena dia tidak pernah mengakui yang jelas-jelas diperbuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda Vu
ChickLitPertemuan pertama setelah 12 tahun, di stasiun kereta lepas petang, Gita mendapati orang itu kembali dengan raga yang jauh tumbuh dari yang dia lihat terakhir kali. Tinggi badan yang dulu ada di bawahnya kini harus membuatnya mendongak sedikit untuk...