8. Kuharap semua hari adalah sabtu

108 29 3
                                    

Suara Gita 🍁

Hana dan dua sobat Bgsd sudah berada di antara relawan dan anak-anak. Dyra dari dalam memberi gestur tangan agar aku segera masuk. Dari suara yang sudah ramai bisa dipastikan aku terlambat. Lucas dan aku bersama memasuki acara yang sudah dimulai itu. Mulai turun dari motor sampai masuk ke ruko kecil di pinggir jalan ini, aku menjelaskan selayang pandang kelas ini pada Lucas walau tidak diminta.

Ruangannya kotak sederhana, tapi dengan sedikit sentuhan dari inspirasi dekor yang kami lihat di instagram, semuanya terasa lebih baik dan nyaman ditempati. Rak buku bekas cokelat tua yang kami bawa dari rumah Dyra ternyata cocok ditegakkan di antara bingkai-bingkai ilustrasi daun monstera dan kaktus. Sisi lainnya dipenuhi oleh gambar hasil karya anak-anak yang melahirkan suasana polos dan ceria. Hampir semua barang kami bawa seadanya dari rumah masing-masing. Meja kursi? Semuanya duduk di lantai dengan meja lipat kecil. Satu lagi yang tak kalah penting, tanaman hias di pojok ruangan yang sudah dipelihara sejak awal kami berpijak di sini.

"Tahun ini dari mana?" Dari semuanya, Bagas yang paling nampak menyimak acara.

"Vietnam." Dia menoleh sekali lagi, mungkin karena di sebelahku ada wajah baru baginya.

Kupikir dia akan langsung pergi begitu kami sampai, tapi herannya dia bahkan ikut sampai ke dalam. Niatku untuk membolehkannya pulang kalau dia mau tiba-tiba dibatalkan oleh anak-anak yang berlarian menarik-narik tanganku. Ternyata arahan dari games untuk memilih satu kakak relawan pendamping. Dan matilah aku. Anak-anak itu mengira Lucas bagian di dalamnya. Mereka memang sedang di umur lincah-lincahnya sampai rasanya seperti teseret ombak tanpa perlawanan. Maaf Lucas, aku tak berdaya melawan proses pertumbuhan manusia.

Saat suasananya agak kondusif, aku berusaha mengeluarkan Lucas dari situasi ini. Tapi setelah tidak memperhatikannya beberapa menit aku jadi kehilangan pengawasanku terhadapnya. Di belakang, luar, sampai ke sisi jalan yang masih bisa kulihat, sudah kupastikan tidak ada. Kalau itu Lucas yang sekarang, sangat mungkin kalau dia sudah pulang tanpa pamit

"Tadi itu siapa, Git?" Dyra menyusulku keluar.

"Ada. Nanti gue ceritain ya."

Walau gimana pun, Lucas masih sama baiknya. Matanya saat bermain dengan anak-anak tadi tidak bisa bohong kalau dirinya masih menyukai kehangatan. Karena dia juga aku bisa di sini sampai acara selesai. Sampai kami berberes merapikan sisa acara sedang Dyra menghampiri relawan dari Vietnam itu untuk dijelaskan di mana dia akan menetap.

Aku dan Hana mengangkat satu persatu kardus berisi buku-buku hasil donasi yang kami kumpulkan. Lalu Bagas datang mengambil alih pekerjaan Hana dan menukarnya dengan trashbag ringan untuk dibawa ke luar.

"Cieeee" Sorak anak-anak yang belum pulang, menyita perhatian dari semua yang ada di ruangan. Termasuk Dyra dan si bule Vietnam.

Hhh dasar. Anak-anak ini pasti membayangkan sosok romantis di dalam Bagas. Tapi realitanya, di tengah-tengah perhatian itu si bodoh Bagas malah meletakkan kardusnya ke atas kardus yang sedang kuangkat. Setelahnya, diambilnya satu kardus baru untuk dibawanya sendiri.

"Aak! Gobl-" Tidak kulanjut memikirkan banyak anak-anak yang mendengar.

Maksudnya apa? Kalau Hana wanita yang harus diringankan bebannya, lantas aku apa? Kenapa ada ketidaksetaraan teman di sini? Jauh sebelum ada beban dua kali lipat di tanganku, menjadi temannya sudah lebih dari beban hidup. Hana mendecak sambil geleng-geleng, Dyra terkekeh kecil bersama dengan tawa anak-anak.

***

Hari Sabtu datang lagi. Sudah menjadi rutinitas baru bagiku untuk menemui Lucas setiap Sabtu. Hari ini pun aku menemaninya sampai ke perpustakaan. Lucas kali ini tak sedingin Lucas di stasiun, walau masih tak selembut Lucas tetanggaku dulu, tapi setidaknya dia mulai terbiasa dengan gangguan yang kuberikan. Kali ini tidak pura-pura membaca buku bahasa Jerman, tidak juga menonton Hiho channel di youtube dengan earphone yang dipinjamkannya. Tapi dengan niat yang benar, mencari referensi untuk tugas mata kuliah Psikologi Forensik. Hanya saja dilakukan bersama seorang teman dengan urusan yang beda. Aku dengan laptopku, dia dengan bukunya.

Di tengah-tengah aku mulai merasa jenuh. Dari pada jari, aku lebih suka kalau mulutku yang bekerja. Tapi karena perpustakaan adalah ruangan bebas ngobrol dan makan, aku akhirnya memutuskan untuk memutar playlist dan mendengarkannya lewat earphone. Nothing oleh musisi kesayanganku Rex Orange County, dengan tenang masuk ke gendang telinga. Sebenarnya hanya formalitas, aku menawarkan sebelah untuknya.

"Ada lagunya nih. Bukan cuma buat pajangan doang."

"Kok ga pake bahasa isyarat?"

Aku terkekeh seadanya. Tadinya aku jadi hendak memasang yang satunya ke telingaku sendiri. Tapi sebelum itu terjadi, Lucas merebutnya dari tanganku untuk dipasangkannya ke telinga miliknya. Dasar. Aku tersenyum tipis.

Masih dalam jeda sebelum melanjutkan tugas, aku iseng melihat-lihat isi buku catatan Lucas yang sudah terbuka di sebelahku. Ini catatan yang sebelumnya sempat menginap di aku dan di satu lembarnya sudah kutulis kesan pesan dengan beberapa doodle tentang kelakuan yang pernah kami buat di masa lalu. Lucunya di beberapa kalimat ada bagian yang ditandai dengan highlighter oleh dia. Seperti "main sepeda sampai rantainya lepas", "Inget nggak, kepalamu pernah nyangkut di kerangkeng AC", "aku sengaja ngajak lomba makan telur gulung biar punyamu cepet abis, sedangkan punyaku masih banyak", dan masih ada yang lain lagi.

"Ini dihightlight gini maksudnya biar gampang diinget ya?" Gumamku pelan sambil terkekeh sendiri. Lucas menyadari dan menghentikanku saat aku mau membuka halaman berikutnya. Dia gugup, bersamaan dengan aku yang langsung kaget saat kulihat ada foto kecil kami berdua tepat di bawah paragraf terakhir yang kutulis.

Agustus 2020, hari ini di Sabtu ke-empat, kami mulai terhubung lagi lewat satu melodi.

Jeda VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang