Mengapa orang yang sudah pergi masih diharapkan kehadirannya dibandingkan orang yang masih terlihat keberadaannya?
- Meisya Keyrila Cheryl
---><---
Meisya duduk di depan gerbang sekolahnya. Menunggu supir pribadinya datang menjemput. Gerry tidak bisa pulang bersama dengan Meisya karena ada tugas kelompok.Seseorang menepuk pundak Meisya dan membuatnya menoleh kaget.
"Kenapa, Le?" tanya Meisya pada Leo.
Leo ikut duduk di dekat Meisya. Leo juga sedang menunggu papanya menjemput.
Terkadang Meisya berharap papanya juga bisa seperti papanya Leo, Leon. Tapi, ya ... sudahlah. Bisa berangkat ke sekolah bersama seperti tadi pagi saja Meisya sudah sangat-sangat bersyukur.
"Tadi kenapa Lo diajak ngejauh dari kantin sama Kak Gerry?" tanya Leo.
Meisya mengerjap sekali. Ia kembali teringat dengan percakapan antara Gerry dengan sang papa di telfon.
"Nggak apa-apa kok, Le. Meisya cuma pengen tau apa yang diobrolin sama Bang Gerry dan papa di telfon. Ternyata obrolan itu menyangkut keluarga, makanya Bang Gerry milih ngejauh dari kantin," jawab Meisya.
Leo mengangguk faham. Ia tidak akan bertanya apapun lagi yang menyangkut obrolan Gerry dan Regan di telfon itu.
"Gue boleh tanya sesuatu lagi gak, Mei?" tanya Leo meminta izin.
"Boleh kok. Gak usah minta izin dulu kali, Le," ujar Meisya mengizinkan.
Leo terdiam sebentar sembari memastikan, apa ia harus menanyakannya sekarang?
"Kenapa setiap Lo datang ke sekolah, mata Lo selalu sembab dan merah? Terus Kak Gerry juga selalu nanyain Lo buat mastiin kalau Lo baik-baik aja. Emangnya kenapa sih?" tanya Leo penasaran.
Leo sudah ingin menanyakan ini dari lama. Ia penasaran dengan itu semua. Tapi Leo baru berani menanyakannya sekarang. Leo tak seberani Arizka yang ceplas-ceplos.
Meisya terdiam. Ia tidak mau menyebarkan kelemahannya kepada orang lain walaupun Leo adalah sahabatnya dari SMP.
"Soal mata Meisya yang sembab dan merah itu, karena Meisya setiap malam suka nonton film yang sedih. Kalau soal Bang Gerry, mungkin dia trauma karena dulu Meisya waktu SD tuh sekolah dalam keadaan sakit. Bang Gerry sempat tanya kayak gitu juga, tapi Meisya jawab gak apa-apa. Ehh taunya pas udah siang Meisya pingsan," cerita Meisya menjawab.
Leo mengangguk percaya. Pertanyaan yang selalu berkeliaran di kepalanya terjawab sudah. Ada sedikit keraguan dalam hatinya atas jawaban Meisya, tapi rasa percayanya lebih besar.
"Meisya duluan, ya, Leo," pamit Meisya saat mobil keluarganya berhenti di depannya.
---><---
"Meisya, ambilkan saya minum!" teriak Alina dari ruang keluarga rumahnya yang berada di lantai satu.
Meisya yang sedang menonton drama Korea pun langsung mematikan handphonenya dan bergegas mengambilkan air minum untuk Alina. Meisya tidak mau mamanya kembali memarahinya karena ia terlalu lama mengambilkan apa yang mamanya itu butuhkan.
Setelah mengambilkan minum untuk Alina, Meisya duduk di karpet madani. Memperhatikan mamanya yang sedang fokus membaca majalah.
"Mama cantik," puji Meisya.
Alina menatap Meisya sebentar lalu kembali fokus membaca majalah. Mungkin majalah lebih bisa mengambil seluruh perhatiannya dibandingkan anak yang lahir dari rahimnya sendiri.
"Saya tau itu. Dan kecantikan saya menurun pada anak saya, Antartica," balas Alina.
Meisya mengangguk pelan. Kakaknya, Antartica memang mirip dengan Alina. Sebenarnya Meisya juga tak kalah mirip dengan Alina seperti Antartica. Tapi jika Meisya mengakui hal itu di depan Alina, apa dia akan mengakui kalau Meisya adalah anaknya juga?
Jika iya, Meisya akan lakukan itu.
"Ma, Meisya minta maaf..."
"Untuk kesalahan yang mana?" tanya Alina cepat tanpa mengalihkan fokusnya.
"Kesalahan Meisya banyak banget, ya?"
Alina hanya berdehem pelan. Mengambil gelas air yang tadi ia letakkan di atas meja. Meminumnya lalu kembali fokus membaca.
Sebenarnya Alina tak benar-benar fokus membaca. Ia hanya melihat-lihat saja lalu membuka halaman berikutnya, selalu seperti itu.
Meisya mengambil remote tv yang tergeletak di kursi samping Alina duduk. Menekan tombol on lalu televisi menyala.
"Hemat listrik," ujar Alina dengan nada menegur.
Meisya yang peka dengan teguran mamanya pun menelan tombol off pada remote lalu menaruhnya kembali.
"K-kak Anta ... beneran mau diajak ke Eropa ya, Ma?"
Alina menarik nafasnya lalu menghembuskannya. Menutup majalahnya dan menaruhnya di meja.
"Iya. Saya dan suami saya pikir jika Antartica ikut dengan kami, maka dia tidak perlu repot-repot untuk mengurus dan menjaga anak pembawa sial seperti kamu," jawab Alina dan benar-benar membuat Meisya merasa sakit.
Meisya menunduk. Memainkan jarinya untuk menghilangkan rasa yang begitu menyesakkan ini.
"Iya, Meisya emang pembawa sial. Meisya yang udah bikin Dava sama Diva pergi sebelum melihat betapa indah dan kejamnya dunia ini." Meisya mengaku salah di depan Alina.
Keheningan terjadi dan membuat Meisya canggung berada di dekat mamanya sendiri. Di rumah mereka hanya berdua. ART dan supir sedang menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing.
"Mama pilih Meisya atau Dava dan Diva?" tanya Meisya.
"Haha ... Sepertinya tanpa kamu menanyakannya pun, kamu sudah tau jawaban saya. Jika boleh saya meminta dan memilih, lebih baik Dava dan Diva tetap hidup, dan kamu yang pergi," jawab Alina diawali dengan tertawa jahat.
Hati Meisya semakin sakit. Dadanya begitu sesak mendengarnya. Meisya menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis.
Ternyata ... Orang yang sangat Meisya sayangi malah mengharapkan dirinya pergi, untuk selamanya.
Meisya tidak menyangka hal ini.
Yang Meisya tahu kalau kedua orangtuanya membencinya. Meisya tidak tahu kalau orangtuanya berharap dirinya meninggalkan mereka untuk selamanya.
"Makasih, Ma, karena udah mau bicara sama Meisya. Pembicaraan kita begitu menghibur hati Meisya yang sudah terasa hancur," ucap Meisya tersenyum hangat.
"Iya, sama-sama. Saya harap kamu semakin hancur, lalu tidak lama kemudian kamu pergi meninggalkan dunia," harap Alina.
"Iya ... Lagian Meisya hidup cuma jadi beban di keluarga ini. Meisya gak mau nambahin beban kalian lebih lama lagi hanya untuk menampung Meisya si pembawa sial ini."
"Sadar diri juga kamu."
Huftt... Pendek ya guys
Walaupun pendek, jangan lupa tinggalkan jejak, oke?😙🐾
KAMU SEDANG MEMBACA
MEISYA [TERBIT]
Teen Fiction"Papa, sepatunya kena wajah Meisya ...." "Cukup, Pa!" "Papa, Meisya kesakitan sekarang." "Meisya minta maaf." "Meisya mohon maafin Meisya ...." "Pa, kaki Meisya perih ...." "Tangan Mei juga perih, Pa." "Meisya gak akan bolos lagi, Pa. Meisya janji."...