Kamu adalah salah satu kekuatanku. Kamu menjauh, dan itu artinya kekuatanku melemah.
- Meisya Keyrila Cheryl
---><---
Meisya menatap punggung Vino yang menjauh dengan mata yang berkaca-kaca. Kejadian beberapa menit lalu saat Vino membentaknya begitu membekas.
Apa jika seorang adik menginginkan sesuatu yang terbaik untuk kakaknya adalah sebuah kesalahan?
Meisya hanya mau memberitahu yang sebenarnya. Mengapa Vino tidak mau mempercayainya dan sampai membentaknya?
Apa ini adalah cara mereka untuk berpisah?
Meisya menangis sesenggukan kala membayangkan Vino benar-benar marah dan menjauh darinya.
Menghapus air matanya yang membasahi pipi, lalu berjalan pulang melupakan Naya yang masih ada di sini. Toh, semua ini berawal dari Naya.
Sampai di rumah, Meisya mengambil kue yang dibuatnya kemarin bersama Naya dan membawanya ke kamar Vino. Berharap dengan seperti ini Vino bisa luluh.
Meisya melihat Vino yang sedang duduk di sofa kamarnya. Air mukanya terlihat lelah, ditambah dengan kejadian tadi di taman. Duduk di samping Vino dan menyodorkan piring berisi kue buatannya.
"Meisya minta maaf," ucap Meisya lirih dan menunduk.
Vino hanya memperhatikan Meisya dengan malas. Bahkan untuk membalas permintaan maaf Meisya pun begitu sulit.
"Meisya tau sekarang Bang Vino lagi capek, tapi dengan tanpa berpikir, Meisya malah ngomong kayak tadi. Harusnya Meisya tahan dulu, kalau Bang Vino udah gak capek baru cerita. Tapi gimana? Udah terlanjur Meisya ceritain, tapi Bang Vino gak percaya," lanjut Meisya menyesali perbuatannya.
Vino mengambil satu potong kue dan memakannya. Enak, tapi Vino sedang tidak mau mengatakan itu.
"Meisya gak pernah bohong sama Bang Vino. Meisya selalu jujur. Dan yang tadi juga, Meisya gak bohong. Dan itu juga bukan sebuah karangan yang akan menghancurkan hubungan Bang Vino sama Kak Naya. Meisya mau liat Abang bahagia, jadi gak mungkin Meisya jauhin Bang Vino dari sumber kebahagiaannya. Meisya cuma takut Abang bakalan sakit kalau tau semua fakta tentang Kak Naya itu terlambat," lanjut Meisya lagi.
Meisya berdiri dan berjalan mendekati jendela. Membuka gorden berwarna putih yang menghalangi sinar matahari masuk ke dalam ruangan ini.
Vino tak pernah beralih dan tetap memperhatikan Meisya. Walau marah, tapi Meisya tetap adiknya. Adik kecil kesayangannya.
"Meisya juga tau kalau Bang Vino bohong 'kan sama Papa? Sebenarnya Bang Vino ambil jurusan kedokteran 'kan, dan bukannya ilmu ekonomi? Kenapa harus bohong, Bang? Apa gak ada cara lain selain berbohong?" tanya Meisya menghadap Vino.
"Kamu gak perlu tau." Akhirnya setelah keterdiamannya beberapa saat, Vino membalasnya, walau dengan nada yang dingin.
Meisya menghela nafas sekali. Duduk di tepi ranjang tempat tidur Vino. Melihat sekeliling ruangan ini, kamar ini begitu rapi untuk laki-laki. Dan sekarang Meisya malah membandingkannya dengan kondisi kamar Gerry yang pasti sangat berantakan.
"Kenapa? Kenapa gak perlu tau? Kita ini saudara, kenapa Bang Vino gak mau berbagi? Kalau Bang Vino cerita sama kita, pasti kita bantu pikirin solusinya."
"UDAH DIBILANGIN KAMU GAK PERLU TAU! ITU URUSAN GUE SAMA PAPA. KENAPA JUGA LO HARUS IKUT CAMPUR? BISA 'KAN, GAK USAH TERLALU MENCAMPURI URUSAN ORANG LAIN?" bentak Vino marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEISYA [TERBIT]
Teen Fiction"Papa, sepatunya kena wajah Meisya ...." "Cukup, Pa!" "Papa, Meisya kesakitan sekarang." "Meisya minta maaf." "Meisya mohon maafin Meisya ...." "Pa, kaki Meisya perih ...." "Tangan Mei juga perih, Pa." "Meisya gak akan bolos lagi, Pa. Meisya janji."...