29

2.2K 476 35
                                    

Hazel menyelipkan makanan ringan dan manis, seperti jelly dan coklat di koper Bangchan yang sudah terisi baju dan beberapa barang penting lainnya. Ia tahu itu bisa menaikkan mood Bangchan, meskipun pria itu tidak pernah bilang. Jadi ia selalu beli banyak untuk mereka berdua, dari yang biasanya ia beli hanya untuk dirinya sendiri.

Setelah barang dan pakaian selesai dibereskan, begitu juga dengan Bangchan yang sudah selesai mandi, keduanya pun makan malam, sembari mengobrol ringan, lebih sering bertukar pikiran, dan kadang ada perdebatan kecil. Tapi dibanding saat awal menikah, keduanya kini bisa saling menerima dan memaklumi kalau ada opini yang berbeda di antara mereka.

"Dari yang aku dengar, merawat anak tidak cukup atau benar-benar bisa seratus persen hanya dari teori, tapi kita harus terjun langsung, karena karakter setiap anak berbeda, jadi cara mendidiknya juga berbeda," tutur Hazel, yang Bangchan angguki setuju.

"Sepertinya begitu, ah, sepertinya kita pernah membahasnya juga," timpal Bangchan.

"Benarkah? Aku tidak terlalu ingat," gumam Hazel.

"Tidak apa-apa dibahas lagi. Teori dasar merawat anak, aku pikir memberinya kasih sayang yang cukup, porsi diasuh antara ayah dan ibu seimbang, kita memahami tentang psikologi anak, memahaminya, mau mendengarkan pendapatnya, dibanding menyuruh atau memerintah, tapi mengarahkannya ke hal yang benar,"

Hazel mengangguk setuju, "Benar." Ucap Hazel.

"Anak kita mau dijadikan apa?" tanya Bangchan.

"Dijadikan anak," jawab Hazel.

"Ck, bukan begitu maksudku,"

"Aku tahu, aku hanya mau menjadikannya anak yang baik. Nanti dia mau jadi apa itu terserah dia, asal itu bukan hal buruk. Memangnya kau mau anak kita jadi apa?"

"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku mau tanya dulu, kenapa kau tidak punya keinginan untuk menjadikan anak kita sesuatu, sesuai keinginanmu?"

"Karena anak bukan bahan, bukan mesin, bukan alat untuk mewujudkan mimpi orang tuanya yang tidak terwujud. Dia hanya manusia, seseorang, yang juga punya perasaan dan keinginan sendiri, sama seperti orang tuanya,"

"Ahh, benar..." gumam Bangchan.

"Tapi bukan berarti tidak bisa didiskusikan dengan anakkan, kita mau dia menjadi apa, asal jangan memaksanya," kata Hazel.

"Aku ingin anakku tentu jadi pewaris," ucap Bangchan.

"Kalau dia tidak mau?" tanya Hazel.

"Itu akan dipikirkan nanti, anak kita bahkan belum lahir, hahaha, sepertinya obrolan kita tentang anak terlalu jauh,"

"Karena kita sebentar lagi mau jadi orang tua, membahas tentang anak, sekarang terasa menyenangkan bagiku."

Bangchan tersenyum simpul, "Aku senang mendengarnya."

°°°

Bangchan mencium seluruh wajah Hazel, membuat wanita itu sedikit jengah, lalu Bangchan beralih mengelus perut Hazel, sebelum menciumnya.

"Aku pergi dulu, hati-hati di rumah. Kabari kapan kau mau ke rumah orang tuamu, biar aku antar," ujar Bangchan.

"Aku akan kabari, tapi aku pergi sendiri saja, aku akan minta adikku menjemput, jadi jangan khawatir. Besok aku mau menjenguk Eli dulu sebelum ke rumah orang tuaku, adikku juga harus menjenguknya, agar mereka akrab, mereka kan seumuran, sama-sama perempuan, seharusnya bisa jadi teman."

Bangchan mengangguk setuju.

Bangchan kemudian berjongkok di depan Hazel.

Wedding Bo2s | Bangchan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang