28

34 4 0
                                    

Fiona POV

Sudah dua hari aku tidak keluar kamar. Ya, tadinya aku sekamar dengan Christina. Malam itu aku memaksa pindah kamar dengan alasan ingin sendiri. Selama dua hari kerjaanku hanya menangis dan menangis. Bahkan aku tidak merasakan lapar sama sekali. Beberapa kali Christina datang ke kamarku untuk memastikan aku baik-baik saja. Daniel juga selalu mendatangiku setiap pagi dan malam. Namun aku tidak ingin menemuinya. Aku tidak pernah membukakan pintu untuknya. Kurasa kami harus menjaga jarak. Aku adalah sumber masalah untuk Zach dan Daniel. Berita tentang perpisahanku dan Zach juga sudah tersebar. Bahkan Zach sendiri yang mengonfirmasinya saat mereka diwawancara. Ponselku berdering. Ayah menelponku.

"Fiona?" Sapa ayah membuka pembicaraan.

Air mataku mulai keluar, aku tidak bisa membendung air mataku.

"Are you okay?" Tanya ayah.

"Ya, i'm okay." Balasku menahan tangis yang akhirnya pecah juga.

Tangisanku pecah setelah aku berpura-pura baik saja.

"No, i'm not." Ucapku pada ayah disela tangisanku.

"Darl, listen to me. Kau harus bangkit, ayo pulang. Zach akan menyesal karna meninggalkan berlian sepertimu." Ucap ayah menyemangatiku.

"Okay, malam ini aku pulang." Balasku.

"Keep your head up. Jangan pernah menunduk. Jangan biarkan mahkotamu terjatuh. Sampai jumpa di bandara." Ucap ayah kemudian mematikan telpon.

Aku langsung memesan tiket pulang dan mengemasi barangku. Aku bangun dari tempat tidur dan berkaca. Mukaku tampak pucat, mataku sangat merah, kantung mataku membengkak, dan aku terlihat kurus. Aku seperti sedang melihat mumi.

"Everythings gonna be okay, Fi." Ucapku pada diriku sendiri.

Air mataku kembali menetes. Sulit sekali mencegah air mataku keluar. Serapuh inikah aku?

Aku berjalan ke arah jendela dan melihat kota Singapore yang begitu ramai. Kendaraan berlalu lalang, orang-orang beraktifitas. Ya, semua berjalan seperti biasa seakan tidak ada apa-apa. Hal ini menyadarkanku bahwa hidup akan terus berjalan. Mau sampai kapan aku berdiam diri disini. Hanya meratapi dan menangisi nasibku yang malang. Aku harus bangkit dari keterpurukan ini. Aku membersihkan diriku kemudian bersiap-siap untuk pulang. Aku pergi ke bandara menaiki taksi. Sepertinya aku harus mengabari Christina agar ia tidak panik mencariku kemana-mana. Aku mengirimnya pesan singkat.

To : Christina

Christina, gua harus pulang ke Amerika. Makasih lu selalu perhatiin gua. Jaga diri disini. Salam buat yang lain.

Singapore dan Australia akan menjadi negara yang ku blacklist untuk ku kunjungi. Aku harus meninggalkan semua kesedihanku disini.

Zach POV

Aku sedang memainkan ponselku di backstage. Ya, kami sedang menunggu konser dimulai.

"Zach, Fiona hari ini pulang ke Amerika." Ucap Christina memecah keheningan.

"So? Apa hubungannya dengan gua? Harusnya lu kasih tau Daniel." Jawabku.

"Lu yang bawa dia kesini, harusnya lu yang anter dia pulang." Sahut Daniel.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Daniel.

"Okay, pembicaraan cukup sampai disini ya. Jangan di perpanjang lagi, sebentar lagi kita mau perform." Ucap Jack menengahi kami.

Baiklah, keadaan sudah mulai memanas. Lebih baik aku mencari angin dulu diluar. Jika kalian bertanya mengenai hubunganku dan Daniel seperti apa, aku dan Daniel sedikit berjarak. Ya, beberapa kali kami beradu mulut. Kami juga hampir tidak pernah saling mengobrol. Kami hanya terlihat akrab saat sedang berada di publik. Apa boleh buat, kami harus profesional dalam pekerjaan ini.

Aku berjalan keluar dan menghirup udara segar. Aku melihat ke langit yang masih cerah. Padahal hari sudah sore dan matahari sudah mau tenggelam. Aku melihat pesawat melintas diudara. Aku teringat ucapan Christina tadi. Fiona pulang ke Amerika. Jauh didalam lubuk hatiku, aku masih sangat mencintainya. Aku masih ingin melihatnya menemaniku di backstage. Memberiku semangat sebelum naik ke atas panggung. Memelukku setelah aku turun dari atas panggung. Walaupun badanku basah  berkeringat, ia tetap mau memelukku. Senyumanku mengembang ketika mengingat masa-masa itu.

"Zach?" Panggil seorang wanita.

"Fiona?" Sahutku.

"Oh, sorry. Ada apa Emily?" Tanyaku.

"Gua tau lu pasti kangen Fiona ya?" Balasnya.

"Gua lagi gamau bahas itu." Jawabku.

"Lu harus move on, Zach." Balasnya mendekatiku kemudian mengelus pundakku.

"I know." Jawabku tersenyum.

Bagaimana bisa aku melupakan Fiona hanya dalam beberapa hari? Aku dan Fiona sudah bersama selama 2 tahun. Akan sangat sulit melupakannya.

"Gua masuk dulu ya." Ucapku berjalan ke dalam.

Tiba-tiba Emily memeluk tubuhku dari belakang.

"Emily? Lu ngapain?" Ucapku berusaha melepas pelukannya.

"Semangat ya. Gua yakin, lu pasti bisa lewatin semua ini." Balasnya.

"Thank's." Jawabku melepaskan pelukannya dan berjalan masuk.

Aku tau ini adalah kesempatan yang tepat untuk Emily mendekatiku. Namun aku belum mau membuka hatiku untuk siapapun.

Fiona POV

Aku sudah mendarat di kampung halamanku. Tanpa menunggu lama, aku menghentikan taksi dan pulang ke rumah. Penerbangan yang sangat melelahkan dan memakan waktu yang banyak. Sesampainya dirumah, ayah dan ibu sudah menunggu di depan rumah. Aku turun dari taksi dan membawa koperku. Mereka tersenyum padaku, bukan senyum bahagia, melainkan senyum iba. Air mataku kembali jatuh untuk yang kesekian kalinya. Aku berlari kepelukan ayah dan menangis dipelukannya.

"It's okay. Ayah selalu ada disini. Ga ada yang bisa nyakitin kamu lagi." Ucap ayah mengelus rambutku.

Tangisanku semakin pecah mendengar kata-katanya. Cinta yang abadi adalah cinta seorang ayah pada anaknya. Dan aku menangisi mantan pacarku dipelukan ayah.

"Ayo masuk, diluar dingin." Ucap ibu.

Aku sampai lupa disini ada ibuku. Aku bergantian memeluk ibu.

"Mom, maaf aku lupa bawa oleh-oleh." Ucapku.

Ayah dan ibu tertawa mendengar ucapanku. Aku tersenyum ketika melihat mereka tertawa. Ya, aku tidak membawa oleh-oleh. Aku hanya membawa hatiku yang sudah hancur.

First Sight || Zach HerronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang