[7] HUJAN PEMBAWA SIAL

4 1 0
                                    

"Berani itu menang, sedangkan takut itu kalah. Siapa yang ingin menang, maka dia harus berani!"
~Hatta Ahsanan~

Di bawah derasnya hujan, juga petrikornya yang tercium jelas dari sebuah Pos kecil. Letta menepi, memberi beberapa jarak antara dirinya dan Hatta.

Namun, Letta malah terkena percikkan hujan, hingga membuat Wanita itu kembali pada posisi semula. Duduk di sebelah Pria yang menyebalkan.

"Lo tinggal di sekitaran sini juga?" tanya Hatta seraya menyilangkan kedua lengannya di dada.

Letta melirik Pria itu perlahan-lahan. Tidak percaya, orang yang selama ini membuatnya ketakutan, menanyakan tempat tinggalnya.

"G-gak, m-masih jauh," jawab Letta memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Rumah lo jauh, lo cuma jalan kaki?" lagi-lagi Pria itu bertanya. Tapi, kini malah menjadi lancang.

"Kenapa? Masalah? Lo sendiri kenapa jalan kaki?" Letta menjadi sedikit kesal mengobrol bersamanya.

Bukan hanya Hatta seorang. Bahkan hampir semua orang di sekolah bertanya demikian. Selebihnya, Anhar yang semula mengendarai motor, ikut-ikutan berjalan kaki untuk sekolah. Menyebalkan!

"Anhar siapanya lo?" Hatta menatap Letta dari samping.

Mendengar hal itu, dan perlakuan Anhar pagi tadi pada Letta, membuat Wanita itu merasa tidak nyaman kembali.

"Gak kenal!" timpal Letta berusaha memberhentikan ucapan Hatta.

Pria itu tersenyum. Benar-benar aneh! Apa dia tau Letta dan Anhar baru saja bertengkar di depan perpustakaan. Ah sudahlah, Letta pusing memikirkannya.

Hujan perlahan-lahan mulai berhenti, sehingga Letta telah bersiap untuk pergi dari Pos, juga dari pandangan Hatta. Belum saja setapak dua tapak ia melangkah, hujan kembali mengguyurnya.

Letta kembali lagi ke dalam Pos tersebut. Mengapa semuanya menyebalkan? Letta tidak suka, apalagi harus berdekatan dengan Hatta.

"Udah tau gerimis, main pergi-pergi aja. Lo kira, serintik gerimis hujan gak bisa bikin sederas hujan batu?"

Letta sudah banyak bersabar menghadapi Pria itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Mulutnya itu bagaikan aspal jalan. Sedingin-dinginnya cuaca, ketika telapak kaki bertelanjang menginjaknya, tetap saja akan terasa hangat.

"Emangnya lo buru-buru banget ya?" tanya Pria itu kembali dengan melirik Letta.

"Iya. Males gue lama-lama liat muka lo!" timpal Letta membuang pandangannya setelah puas.

"Ikut gue ke bengkel gih! Motor gue lagi ada perbaikkan," ajak Hatta yang sudah bersiap-siap berdiri.

"Eyy bambang, motor lo punya atap? Punya pintu? Lo kira motor lo anti curah hujan?" tanya Letta berbalik mengolok-olok kendaraan Hatta.

"Udah di baik-baikkin, malah di buruk-burukkin. Misal aja lo sampah, susah di daur ulang! Hasilnya tetap sama," kata Hatta sudah kesal dan meninggalkan Letta.

Kepergian Hatta membuat Wanita itu merasa kenyamanan yang tiada tara. Bagai rasa susu di gelas, hingga tetes terakhir. Toh, lagipula rumah Letta hanya beberapa meter lagi.

###


Curah hujan sudah tidak lagi berjatuhan dari atas langit. Letta berjalan di tepian, melangkah dan menuju ke rumahnya.

Dalam kondisi yang terpapar hujan, Letta mengigil sempurna ketika merasakan hembusan angin meniupnya. Bahkan, nafasnya saja seakan-akan hampir membekukan mulutnya.

R E M O R S E [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang