[16] OBSESI

3 1 0
                                    

"Satu-satunya alasan mengapa aku terobsesi. Itu karena aku tidak sedang main-main dengan perasaanku untukmu"
~Hatta Ahsanan~


Tatapan mata Pak Moi melesat pada dua murid di depan. Ia yang tengah duduk di ruangannya, meminta Letta dan Hatta berdiri bersampingan.

"Kalian pacaran?" tanya Pak Moi menginterogasi keduanya.

Pertanyaan itu seketika membuat Letta ketar-ketir. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya setelah ini, Letta malu benar-benar malu.

"Belum Pak!" jawab Hatta sesekali melirik Letta.

"Jadi, ada kemungkinan bakal pacaran?"

Pak Moi yang bersi-keras menggali dan terus menggali informasi.

"Enggak, Pak! Dengan berat hati, saya yang bernama Arletta Vilove, tidak menjalin hubungan dengannya, dan tidak akan pernah mau."

Setidaknya dengan memberikan jawaban itu, Pak Moi dapat memberhentikan tujuannya.

"Yahh,,, jangan gitu dong. Udah jelas-jelas tadi kamu monyong pas mau ketemu sama monyongannya Hatta. Kalau perlu mah, silaturahmi dulu ke rumah Letta nya."

Hatta yang mendengar ucapan Pak Moi, berbinar-binar bahkan terkekeh geli. Sedangkan Letta, ia lebih tidak percaya pada perkataan Pak Moi tersebut.

"Hehe- udah dong Pak kemarin," kata Hatta tersenyum.

Letta semakin muak, hingga menggeleng-gelengkan kepalanya lalu pergi tanpa permisi. Ya mau bagaimana? Jangan salahkan Letta jika berperilaku tidak hormat, ketika gurunya sendiri lebih tidak menghormatinya.

Wanita itu berjalan dengan langkah yang cepat, menyusuri koridor yang cukup ramai. Bahkan, menyelipkan diri walaupun jalan di kerumuni banyak orang.

Letta masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk dan memperhatikan Icha dan Ika yang kebingungan. Bagaimana tidak, ketika Letta berwajah cemberut tentu saja sedang mengalami permasalahan.

Mau tidak mau, sebagai teman yang sudah terikat, Icha membuka pembicaraan. Walaupun nyalinya dulu-dulu menciut, ketika Letta menghempaskan mejanya.

Praaakkk

Jangankan Icha dan Ika, seisi kelas juga membuat pusat perhatian ke arah Letta.

"Eh-eh-eh,, lo kenapa, Ta?" tanya Icha mengerutkan dahinya.

"Eummm,,, gue mau pindah sekolah!"

Setelah mendengar ucapan Letta, Icha membelalakkan matanya. Bahkan, Ika yang sedang asyik selfie, tak sengaja menjatuhkan ponselnya ke pahanya.

Ini adalah masalah serius. Bukan hanya harga diri Letta yang akan jatuh, tapi semua tentang Letta. Satu-satunya cara untuk menghilangkannya, pindah sekolah.

"No-no-no! Letta jangan pindah! Ika gak mau temenan sama Icha mulu, dia ngebosenin orangnya."

"Muncung lo yang bosen!" balas Icha.

Letta menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Kalau begini terus, Letta bisa stress oleh pikirannya. Apalagi jika kedua temannya seperti tidak mendukung jika Letta pindah. Ini hanya kehendak Letta, jika di bicarakan dengan kedua orang tua nya, tentu saja Letta akan di marahi.

Terdengar lonceng yang berbunyi dengan sangat nyaring. Membuat gendang telinga Letta peka dengan apa yang di ucapkan oleh suara tersebut. Seperti biasa, setelah selesai lomba tentu saja akan ada pengumuman.

Letta segera ikut berkumpul di lapangan, tentunya bersama Icha dan Ika yang selalu risih di barisan.

"Lo ratain bahu Letta kek, masa beda sendiri?" tegur Icha pada Ika yang keras kepala akan aturan yang telah di buat.

R E M O R S E [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang