Keringat dingin mulai berjatuhan. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang, bahkan ia sangat takut jika suara detaknya sampai keluar dari pintu kamar mandi ini. Hasilnya tetap sama walupun sudah sepuluh kalinya dia mencoba.
Positif
Ya, Vani positif hamil. Apa yang harus dilakukannya? Dia sekarang hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menangis pun seakan percuma karena jika menangis ini merupakan kesekian kalinya dia menangis untuk hal yang sama.
Digenggamnya tes kehamilan tersebut seraya berdiri, memasukannya ke saku rok. Vani keluar dari bilik kamar mandi dan membenahi penampilannya yang berantakan. Wajahnya pucat pasi, keringat yang masih bercucuran dan rasa gugup yang sangat mendominasi.
"Van, Lagi ngapain?" Tanya Rania, sahabat sekaligus teman sebangkunya. "Buruan, upacara mau mulai."
"Bentar." Balasnya. Sekali lagi, Vani menatap dirinya pada pantulan cermin, membasuh wajahnya agar terlihat segar dan menghembuskan nafasnya perlahan.
Seperti pada hari senin sebelumnya, ini merupakan hari senin kesekian yang cuacanya sangat panas sekali. Matahari memancarkan cahaya dengan teriknya, membuat sebagian murid menutup wajah dengan telapak tangan karena tidak memakai topi seperti yang diperintahkan.
Sedari tadi Vani merasakan kepalanya sangat pusing. Perutnya sangat mulai, dan saat melirik keatas, tepatnya sinar matahari yang sedang terik, dia segera kembali memusatkan perhatian pada kepala sekolah yang sedang memberikan amanatnya. Semua seakan gelap, Vani kira itu hanya karena efek yang ditimbulkan karena sinar matahari tadi, tapi saat dia merasa semua seakan berputar dan tubuhnya terhuyung, semua itu terasa tidak nyata.
Lalu, dengan samar Vani mendengar Rania berteriak dan seseorang yang sedang menahan tubuhnya saat itulah dia sadar. Ini nyata.
"Bawa ke UKS buruan!" Perintah Rania.
Akash dengan sigap menggendong Vani menuju UKS diikuti oleh Rania, petugas PMR memang menawari mereka agar membawa Vani menggunakan tandu atau membantu mengangkatnya, tapi ditolak Akash karena akan memakan waktu dan tubuh Vani juga tidak terlalu berat, dia bisa mengangkatnya sendiri.
Segera saja Akash membaringkan Vani pada salah satu brankar yang kosong, terletak di paling ujung. Wajah Vani pucat pasi, membuat Rania sangat khawatir dengan sahabatnya. Akash memberikan minyak kayu putih yang dia minta pada salah satu petugas PMR. Terlihat sekali disini lumayan ramai, banyak yang jatuh pingsan atau kelelahan karena berdiri hampir satu jam. Bahkan, sampai ada yang berpura-pura.
Sementara Akash yang mencoba membangunkan Vani, Rania membuat teh manis hangat untuk sahabatnya. Terlihat Vani yang mulai membuka kelopak matanya dengan perlahan. Dia sedang mengamati keadaan sekitar sebelum memaksa untuk duduk. Sontak saja Akash dan Rania membantunya agar bisa bersandar pada bantalan ranjang.
"Lo baru bangun, jangan duduk dulu," Seharusnya Rania mengatakan itu sebelum Vani duduk. Bukannya setelah Vani duduk dan bersikeras agar turun juga dari brankar. "Mau kemana?"
"Hah?" Vani hanya merespon dengan tiga huruf, keningnya berkerut dalam. "Kenapa?" Saat mencoba berdiri dia merasakan kepalanya berputar dan kembali terduduk di brankar.
Akash membantu Vani agar kembali duduk bersandar, Lalu memberikan teh hangat yang dibuatkan Rania tadi. Upacara selesai saat Vani kembali tertidur, karena pusing. Rania sedang pergi ke ruang guru dan meminta izin agar Vani tidak mengikuti pelajaran karena sedang beristirahat.
Akash diminta, lebih tepatnya di paksa Rania agar menemani Vani dengan bayaran mengurangi satu huruf A dalam absennya. Padahal Akash tidak terlalu mementingkan Absensinya. Lalu saat dia sedang memainkan game di ponselnya, ponsel milik Vani berbunyi karena tidak ada orang lain selain mereka.
Ponsel tersebut berada di saku rok, dan Akash ragu antara mengambilnya atau tidak. Tapi, tidur Vani seakan terusik karena suaranya yang nyaring, jadi dengan menetapkan diri, Akash mencoba mengambilnya.
Saat tangannya hampir mencapai saku rok, Vani terbangun dan segera duduk. Mengambil ponselnya dan menjawab panggilan telepon tersebut.
"Halo?"
Akash kembali bermain game dan tidak mendengarkan percakapan Vani dan orang di seberang sana. Dan setelah Vani menutup sambungan telepon, dia segera bertanya dimana keberadaan Rania, yang dijawab Akash hanya dengan mengedikkan bahunya.
"Kamu ngapain disini?" Tanya Vani lagi dan Akash hanya menunjukkan ponselnya, yang menunjukkan dia sedang bermain game. "Tumben sekolah."
"Senggang." Balasnya dengan gumaman setelah lewat beberapa detik Vani bertanya.
Sebenarnya, melihat Akash berada dilingkungan sekolah itu merupakan sebuah keajaiban dunia. Karena jika dilihat dari absensinya saja, akan banyak huruf A dibandingkan dengan satu titik yang mengisi absensi sehari-harinya. Dan Vani hanya mencoba membuat percakapan karena mereka satu kelas hampir dua tahun dan belum pernah mencoba berbincang seperti teman-teman yang lainnya.
Tapi, sikap Akash yang dingin dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman yang berbeda kelas dari mereka membuat Akash kerap kali dicap sebagai orang yang sombong juga cap bad boy yang melekat padanya. Dan ini percakapan pertama mereka setelah hampir dua tahun di kelas yang sama, sangat canggung dengan Vani yang memang tidak pandai memulai percakapan.
Lalu, saat Akash berdiri dari tempatnya duduk Vani juga melakukan hal yang sama. Tanpa kata mereka keluar di UKS, saat sudah diluar mereka mengambil jalan yang berbeda, Akash ke kiri dimana tujuannya adalah kantin sedangkan Vani sebaliknya dia akan kembali ke kelas.
Vani bertemu Rania saat sedang dalam perjalanan menuju ke kelas, disana Rania sedang menghadiri rapat Osis. Rania memang merupakan anggota Osis dan juga sekertaris di kelas. Jadi, waktu istirahatnya akan berkurang karena mereka sedang menyiapkan acara kelulusan kelas dua belas. Walaupun masih ada waktu beberapa bulan, mereka menyiapkannya lebih awal agar acara berjalan dengan penuh persiapan dan tidak mengecewakan.
Vani dan Rania tahun depan akan menjadi kakak senior, karena saat ini mereka masih duduk di kelas sebelas. Dan mereka berdua tidak sabar untuk menantikan tahun berikutnya. Tatapan mereka bertemu, Rania melambaikan tangan. Lalu, seseorang disana juga melihatnya dan segera berjalan keluar untuk menemuinya.
"Van, udah baikan?" Tanya Alvin, pacar Vani yang merupakan kakak kelasnya. "Kamu sakit apa?"
Vani hanya menggeleng "Cuma pusing Kak." Ucap Vani, padahal tadi Alvin sudah menelpon untuk menanyakan keadaannya.
Saat Alvin ingin menyelipkan anak rambutnya, Vani mundur selangkah, membuat Alvin heran dan mengerutkan keningnya. Vani pun tidak mengerti kenapa dia melakukan hal ini, tapi saat Alvin tersenyum dia merasa lega. Padahal Vani takut Alvin akan marah padanya.
"Aku mau ke kelas kak." Kata Vani seraya menunduk, takut saat menatap mata Alvin yang menatapnya dengan tajam.
Vani diam saja saat Alvin maju selangkah dan mengelus puncak kepalanya. "Istirahat." Kata Alvin yang kemudian berlalu meninggalkan Vani menuju ruang Osis.
Vani kembali melanjutkan perjalanan menuju ke kelas. Tadi, saat dia melewati segerombolan siswi banyak sekali yang mengatakan dia merupakan siswi yang beruntung. Vani itu cantik, pintar, baik dan ramah, mempunyai pacar yang pintar, baik, ramah, bertanggung jawab dan pintar seperti Alvin adalah keberuntungan.
Alvin menurut mereka adalah sosok Good boy yang selalu ramah, murah senyum dan rendah hati. Alvin itu bagikan malaikat tanpa sayap yang siap membantu mereka. Sosoknya yang tinggi seakan dapat melindungi Vani yang kecil dan rapuh.
Mereka melihat dari satu sudut pandang saja, tanpa melihat dari sudut pandang sang pacar dan sepertinya mereka tidak akan percaya dengan apa yang berada dibalik topeng kebaikannya.
***
Tbc
Jangan lupa vote dan komen ya!
See you next Part•Rinai Hujan
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla (COMPLETED)
Teen FictionHamil sebelum menikah apalagi saat SMA, Vani tidak pernah merencanakannya. Terpikirkan pun tidak. Rencana untuk masa depannya sudah tersusun rapi walaupun orang tuanya yang merencanakan. Tapi sekarang ia hamil dan Alvin yang seharusnya bertanggung j...