Terima kasih♥️
Happy Reading ♥️Vani memikirkan apa yang Akash katakan pagi tadi dan dia juga sudah memilih keputusan yang menurut hati dan jiwanya merupakan sebuah kebenaran. Vani akan mempertahankannya, apapun resiko Vani tetap akan mempertahankannya. Bahkan saat dia dihadapkan pada posisi sekarang. Orang tuanya sudah berada diruang kepala sekolah bersamanya.
Hal ini terjadi saat Rania memintanya kembali ke kelas karena mengatakan ada pengumuman yang penting. Setibanya disana dia langsung melakukan tes kesehatan, juga untuk mengetahui apakah siswa-siswi disini menyalahgunakan obat-obatan terlarang.
Tapi, sepertinya tes itu bukan hanya untuk kedua hal tadi, juga untuk mengetahui siapa saja siswi yang sepertinya. Hamil. Ada sekitar tiga orang termasuk dirinya, dan mereka mendapatkan sanksi yang sama. Dikeluarkan.
Vani hanya menunduk selagi Pak Oyok, selaku kepala sekolah SMA Gemilang menjelaskan kesalahan Vani pada orang tuanya. Mereka terkejut tentu saja, menahan malu dan saat Papa berdiri, Vani merasakan kebas pada pipi kanannya.
"DASAR ANAK TIDAK TAHU DI UNTUNG,"Teriakan penuh amarah tersebut keluar saat Papa menampar pipi kanan, dan kalimat selanjutnya keluar saat pipi sebelah kiri Vani merasakan hal yang sama. "HANYA BISA MEMBUAT ORANG TUA MALU. AYO PULANG!"
Padahal tadi Mama, Pak Yoyok dan Bu Irma selaku wali kelasnya sudah menahan Papa yang terus saja menarik tangannya. Vani bahkan tidak mengeluarkan air mata saat dilihatnya Alvin yang malah membuang muka, seakan tidak melihatnya. Vani tidak bisa mengatakan kebenaran tersebut karena selalu mendapatkan ancaman.
Panggilan untuk orang tuanya memang dilakukan menjelang pulang sekolah agar siswa-siswi tidak mengetahui hal yang memang dirahasiakan. Tapi, banyaknya siswa-siswi yang menonton di koridor ini menunjukan bahwa berita tersebut menyebar dengan cepat dan entah siapa yang menyebarkannya.
Sebagian siswa-siswi menatap penuh iba dan sebagiannya lagi menatap dengan penuh penghakiman. Dapat dilihat Vani, Rania disana menatapnya tidak percaya seraya berlinang air mata. Sekarang semua sudah tahu jika dia melakukan hal yang sangat buruk, sekarang semua orang tahu bahwa Vani tidak terlihat baik sebagimana si putri baik sekolah.
Jika saja. Jika saja Papa tidak menyeretnya keluar seperti ini, maka mungkin saja dia tidak akan ketahuan seperti dua siswi lainnya. Vani menatap kosong koridor yang penuh desas-desus tentangnya. Lalu, matanya menangkap Akash, dia berdiri diantara banyaknya siswa disana. Vani langsung membuang muka, dia melakukan sesuatu yang sangat memalukan.
Papa mendorongnya begitu saja ke dalam mobil. Lalu, masuk bersama Mama di depan dan samping kemudi. Tidak ada yang berbicara selama perjalanan, dan Vani pun merasa ini yang terbaik daripada di cerca dengan berbagai pertanyaan.
"Anak siapa?" Tanya Papa begitu mereka memasuki rumah. "PAPA TANYA, ITU ANAK SIAPA?" Bentak Papa, yang lagi dan lagi menampar pipi Vani seraya bergantian. "KAMU TAHU, KELAKUAN KAMU INI SUDAH MEMPERMALUKAN KELUARGA KITA." Nafas Papa memburu terlihat dari bahunya yang naik turun.
Mama maju dan menenangkan Papa dengan mengusap bahunya yang langsung ditepis, Papa menarik rambut Vani sehingga membuatnya mendongak. Vani tidak menjawab bahkan memang berusaha tidak menjawab. Dia memejamkan matanya saat kulit kepalanya terasa seperti akan lepas dari kepala.
"ANAK SIAPA?" Papa berteriak lagi, lalu dia mendorong Vani dan membuatnya tersungkur dengan kepala yang menabrak pinggiran meja, darah mengalir dan Vani langsung merasakan pusing. "PERGI DARI RUMAH INI DAN JANGAN KEMBALI LAGI, SAYA TIDAK MAU PUNYA ANAK SEPERTI KAMU." Putus Papa.
Vani menggeleng dan air matanya bahkan mengalir deras karena perkataan menyakitkan dari Papa. Dia mencoba meraih kaki Papa dengan cara merangkak seakan membuang waktu jika harus berdiri terlebih dahulu.
"Maaf Pa, maaf. Tapi tolong jangan usir aku dari sini." Mohon Vani yang sekarang meletakan kepalanya pada sepatu mengkilap sang Papa. Papa menepis lengan Vani di kakinya. "Ma. Aku minta maaf" Vani sekarang merangkak menuju Mamanya, melakukan hal yang sama pada Mama, berharap ada sedikit belas kasihan. Tapi Mama bahkan tidak memandang ke arahnya sedikitpun.
Mama mundur, membuat pegangan Vani di kaki sang Mama terlepas. Dia menangis tersedu-sedu saat Papa menyeretnya keluar dari rumah ini. "Pa, aku mohon maafin aku. Jangan usir aku dari sini pa."Papa menyeret Vani seakan Vani adalah sebuah warung berisi sampah yang baunya sangat menyengat. Dan sepertinya itu memang benar.
Lalu Mama keluar dan tidak mengatakan apa-apa selain matanya yang mengungkapkan kekecewaan. " Ma, maafin aku, mama sama papa mau hukum aku juga gak apa-apa, tapi tolong jangan usir aku." Nafasnya sesak, orang taunya bahkan tidak melihatnya. Vani menangis saat orang tuanya menutup pintu dengan menimbulkan suara yang sangat keras. Suaranya bahkan terasa menyesakkan, menyentuh sampai ulu hati bahwa dia memang tidak diharapkan disini.
Bukan hanya sakit fisik yang Vani dapatkan, hatinya terasa sakit saat dia dibuang oleh orang tuanya. Tapi, Vani masih bisa membenarkan hal tersebut karena dia memang sudah melakukan hal yang sangat memalukan bagi kedua orang tuanya.
Vani berusaha berdiri, dia mengenang memori tentang rumah ini yang akan dirindukannya. Penampilannya saat ini sangat berantakan. Rambut yang sangat jauh dari kata rapi karena beberapa helai keluar dari ikatan rambut. Seragamnya kusut dan kepalanya yang berdarah.
Vani menengok ke belakang, masih berharap jika orang tuanya kembali membuka pintu dan menawarkan pelukan hangat yang dia harapkan. Tersenyum getir, setelah apa yang Vani perbuat sangat mustahil orang tuanya mau melakukan hal tersebut.
Di pandanginya langit yang sekarang berwarna jingga. Bahkan orang tuanya tidak menawarkan untuk menginap satu malam lagi dan baru menyuruhnya pergi saat hari menjelang pagi. Tapi, sepertinya mereka bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi padanya.
Lagi dan lagi Vani tersenyum getir. Orang tuanya mungkin berpikir dia sudah rusak jadi... dengan berat hati Vani siap pergi dari rumah ini, bahkan tanpa menengok ke belakang karena itu hanya akan membuatnya semakin sakit lalu enggan pergi dari sini.
Vani berjalan bahkan tanpa memikirkan sekarang berada dimana. Sempat terpikirkan untuk pergi ke rumah Rania, rumahnya memang besar, tapi Rania juga mempunyai banyak adik, jika Vani pergi ke sana, pasti akan sangat merepotkan Rania dan keluarganya.
Hari semakin gelap dan dia melirik jam yang berada di pergelangan tangan kirinya. Pukul tujuh empat puluh lima. Lapar. Tapi Vani tidak tahu sekarang ada dimana, karena hanya terlihat ruko-ruko yang sudah tutup.
Vani melihat ada sebuah mini market diujung sana. Jadi, dia berjalan untuk membeli sesuatu untuk di makan.
Kasir dan petugas mini market tersebut memandangnya dengan pandangan yang... Bahkan Vani tidak peduli dan terus berjalan menuju tak yang berisi roti dan air mineral.
Vani duduk di tempat duduk yang ada di depan mini market tersebut dan mulai makan. Uang sakunya beberapa hari ini memang selalu tersisa dan selalu berada di saku roknya. Jadi, dia bisa membeli ini semua karena uang tersebut.
Selesai makan. Vani tidak tahu harus kemana. Dia kembali berjalan menelusuri ruko tempatnya tadi, mungkin bisa tidur disini. Terdengar bunyi petir yang sangat mengejutkannya, kemudian di susul hujan yang semakin deras. Tempat yang tadinya sepi sekarang berisi beberapa orang pria yang sangat menyeramkan baginya.
Mereka berusaha mendekat dan Vani menjauhinya.
"Neng, sendiri aja nih? Mau di temenin gak, abang juga bisa kok kasih peluk gratis." Kata pria gondrong itu.
"Iya nih, saya juga bisa bahkan lebih dari peluk juga boleh kok." Sahut yang memakai tindik di hidungnya.
Vani berjalan dengan takut. Dia bahkan berlari menerobos hujan saat para preman tadi mengejarnya. Vani tidak mengenal daerah ini dan berlari mengikuti kakinya melangkah. Lalu dia tertangkap dan dibawa menuju sebuah gang yang gelap.
"Dari pada sama mereka, mendingan sama gue."
Vani bergidik saat nafas orang yang dibelakangnya sengaja mengenai leher. Kenapa kemalangan seakan selalu berpihak padanya.
***
Tbc
Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla (COMPLETED)
Teen FictionHamil sebelum menikah apalagi saat SMA, Vani tidak pernah merencanakannya. Terpikirkan pun tidak. Rencana untuk masa depannya sudah tersusun rapi walaupun orang tuanya yang merencanakan. Tapi sekarang ia hamil dan Alvin yang seharusnya bertanggung j...