"Terus gimana sama sekolah kamu?" Vani bertanya pada Akash, dia hanya ingin Akash tidak perlu mengorbankan masa depannya hanya untuk menikahi Vani.
"Gue bakalan berhenti sekolah." Jawaban Akash membuat Vani terkejut, dia segera menarik tangannya yang tadi di genggam Akash.
"Gak. Kamu gak bisa mempertaruhkan masa depan kamu cuma karena mau nikah sama aku. Aku nol-"
Ucapan Vani terpotong oleh perkataan yang keluar dari mulut Akash. "Gue sekolah pun cuma punya waktu sebulan karena gak bisa bayar uang sekolah. Gue gak sanggup, dan kayaknya lo nolak karena takut hidup miskin sama gue kan?"
"Bukan. Maksud aku, masa depan kamu masih panjang. Kalo kamu nikah sama aku, kamu gak bisa mengejar impian kamu."
"Impian gue cuma satu dan itu gak ada hubungannya sama sekolah. Gue itu anak bandel yang selalu buat guru-guru marah sama gue. Lagi pula, kalo gue nikah sama lo... Gue punya alasan kenapa berhenti sekolah. Supaya nenek gak khawatir."
Vani memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang di jam sore seperti ini. Lalu, dia melirik Akash wajahnya menampilkan lelah. Vani tahu, Akash bekerja dari pagi sampai malam untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan nenek. Apalagi nenek sudah usia lanjut, sakit pasti sering menghampiri. Dan, jika Vani masuk ke dalam kehidupan mereka, apa dia tidak akan menjadi beban untuk Akash?
"Nanti..." Vani menggantung ucapannya, dia menatap langit yang perlahan berwarna jingga, lalu menatap Akash yang juga sedang menatapnya. "Kalo Aku jadi istri kamu, apa aku gak akan jadi beban di hidup kamu?"
"Gue udah pernah bilang, lo gak akan jadi beban gue. Kalo emang lo gak mau, gue gak maksa," Akash melihat jam yang berada di ponselnya, waktu istirahat sudah habis, tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. "Gue balik kerja, lo hati-hati pulangnya."
Vani mencegah kepergian Akash, dia menahan pergelangan tangannya membuat Akash menoleh lalu membalikkan badan sehingga mereka berhadapan. "Aku mau." Kata Vani yang membuat Akash mengerutkan kening.
"Mau apa? Jadi istri gue?" Tanya Akash seraya mengangkat kedua alisnya. Lalu senyumnya terbit saat Vani mengangguk dan membalas senyumnya. "Thanks."
Sejenak Vani termenung, sebelumnya dia tidak pernah melihat senyum manis milik cowok di depannya ini, karena biasanya Akash hanya akan memamerkan ekspresi datar atau serius.
"Aku yang seharusnya berterima kasih sama kamu. Terima kasih."
Akash mengacak pelan rambut Vani. "Terima kasih mulu, emang gak ada kosa kata yang lain lagi?" Tanya Akash.
"Terima kasih." Bukannya mengelak, Vani malah mengucapkannya lagi. Dia terkekeh geli saat Akash menghela nafas kasar.
"Lo pulangnya ke rumah gue aja ya, temenin nenek."
Vani mengangguk, lalu Akash berpamitan karena jam istirahat sudah berakhir. Vani hanya berharap semoga keputusannya tidak salah dan tidak menjadi penyesalan baginya dikemudian hari.
Saat hendak kembali ke dalam, Rania dan Dito keluar cafe dengan pertengkaran kecil sepanjang jalan. Mulai dari mencubit, memukul bahkan mengakar yang hanya dilakukan oleh Rania, sedangkan Dito hanya pasrah saja.
"Lama banget lo ngobrol sama Akash, aneh gue berduaan sama makhluk ini." Rania berujar ketus, dia bahkan melemparkan tatapan permusuhan pada Dito.
"Maaf," Ucap Vani penuh penyesalan.
"Ayo, pulang!" Ajak Rania seraya menggandeng tangan Vani, tapi terasa berat karena Vani yang tidak beranjak. "Ayo!"
"Aku gak jadi ikut kamu, aku mau ke rumah Akash buat nemenin neneknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla (COMPLETED)
Teen FictionHamil sebelum menikah apalagi saat SMA, Vani tidak pernah merencanakannya. Terpikirkan pun tidak. Rencana untuk masa depannya sudah tersusun rapi walaupun orang tuanya yang merencanakan. Tapi sekarang ia hamil dan Alvin yang seharusnya bertanggung j...