Typo bertebaran
Jangan lupa vote dan komen ya
Happy Reading♥️"Eh, kalian tau gak sih kalo kemaren ada penggerebekan?" Tanya salah seorang siswi yang memakai bandana berwarna kuning, dia meneliti penampilannya pada cermin di dalam toilet tersebut tanpa memandang ke arah lawan bicara.
"Penggerebekan apa?" Siswi yang satunya, dengan rambut sebahu yang agak bergelombang bertanya seraya memberikan sedikit olesan lip tint pada bibirnya
"Itu lho, penggerebekan tempat aborsi," Timpal siswi yang memakai sweater berwarna merah jambu. "Yang tempatnya gak jauh dari sini, di gang sempit gitu."
"Itu serius?" Tanya si rambut sebahu menatap kedua temannya yang balas menatapnya. "Terus ada bukti apa aja?"
"Ya, banyak bukti yang di dapat. Apalagi nih ya, ditempat sampahnya banyak banget janin yang dibuang gitu aja," Si bandana kuning bercerita seraya bergidik ngeri membayangkan hal tersebut, merasa iba pada bayi yang tak berdosa itu. "Dan berita yang paling heboh di sini itu, karena ada siswi yang ketangkap lagi aborsi." Ujar si bandana yang mendapatkan anggukan dari si sweater
"Siswi sini? Yang bener kalian ini, jangan sebar berita Hoax."
"Lo gak percaya?" Tanya si sweater dan si rambut sebahu mengangguk. "Kita tunggu aja, bentar lagi juga ketahuan siapa."
Lalu mereka berdua berlalu menuju ke kelas. Perkataan mereka tadi membuat Vani sangat gugup, jika saja kemarin dia tidak dibawa pergi oleh Akash, mungkin nasibnya sama dengan siswi yang mereka bicarakan tadi. Vani keluar dari balik bilik toilet, mencuci tangan. Pandangannya terarah pada cermin di depan, pagi tadi dia mengalami yang biasa orang hamil alami. Morning sickness.
Dilihat lagi penampilannya. Wajahnya pucat, kantung matanya hitam sekali karena tidak bisa tidur memikirkan keputusan apa yang akan diambilnya. Belum lagi dia sudah memberitahu orang lain, entahlah Akash bisa dipercaya atau tidak. Tapi, Vani hanya berharap Akash tidak membocorkan hal tersebut karena Akash sudah berjanji.
Vani kembali ke kelas. Ada segerombolan siswi yang sedang memakan sarapannya, harum bekal makanan yang dibawa temannya terasa sangat menyengat, membuat Vani mual dan segera kembali ke toilet untuk memuntahkan isi perutnya yang bahkan belum terisi apa-apa.
Vani tidak tahu apakah dia bisa melewati hari ini dengan normal atau tidak. Rasanya ingin menangis memikirkan hal tersebut. Vani mengambil lip tint yang berada di saku rok dan memakainya agar tidak terlalu pucat saat dilihat orang lain.
Saat keluar dari balik toilet Vani melihat Alvin yang langsung saja berlari menghampirinya. Vani tidak tahu harus berbuat apa saat Alvin memeluknya. Vani berusaha melepaskan pelukan Alvin karena ini merupakan lingkungan sekolah dan dia takut jika ada Guru yang melihat maka akan menjadi masalah besar.
"Gimana, kamu mau lakuin sekarang kan?" Tanya Alvin yang sekarang memegang kedua pundak Vani. "Aborsi, kamu hari ini mau kesana kam?" Alvin bertanya lagi, dan Vani dibuat takut bahkan hanya untuk menjawab pertanyaannya. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan dan dia tidak bisa mengeluarkannya.
Jadi, Vani hanya menggeleng membuat Alvin mengerutkan keningnya.
"Kenapa? Kamu tau kan janin itu bisa merusak masa depan aku?" Tanya Alvin, dia berdecak lalu melihat sekeliling, tidak ada orang lain selain dirinya dan Vani. "Aku antar kamu ke sana." Putus Alvin dan berlalu.
Vani mencekal pergelangan tangan Alvin saat dia akan pergi. "Kak Alvin belum tau beritanya?" Tanya Vani yang melepaskan cekalan tangannya saat Alvin sudah berbalik berdiri berhadap-hadapan seperti semula.
"Apa?"
"Kemarin disana ada penggerebekan. Bahkan ada siswi yang ditangkap. Kemaren aku kesan-"
"APA?!" Alvin memotong perkataan Vani dengan mengeluarkan bentakan tersebut. Alvin berdeham, lalu kembali bersikap normal takut-takut nanti ada yang melihat sifatnya tadi yang 'sedikit' tidak berwibawa. "Terus?"
"Aku langsung pulang karena gak yakin." Vani berbohong, dan dia tidak akan mengatakan kepada Alvin jika Akash yang membawanya pergi dari sana.
"GOBLOK!" Maki Alvin yang membuat Vani membelalakkan matanya. "Kenapa lo gak masuk, gugurin terus pulang. Kenapa?" Geram Alvin pada kata terakhirnya.
"Aku takut. Lagi pula itu keputusan yang tepat karena polisi udah ada disana.
"Alesan doang. Sekarang lo pilih gugurin atau masa depan lo hancur?"
"Tapi gimana pun, ini anak aku sama kamu."
"Ok, kalo gak mau aborsi. Lo minum obat aja. Pokoknya lo googling terus cari caranya. Gue mau denger kabar kalo itu udah gak ada."
Alvin berlalu dan Vani bahkan tidak berniat untuk mencegahnya lagi. Dia mendongakkan wajahnya, menahan desakan air mata yang ingin keluar saat itu juga. Vani mengeluarkan ponsel, melakukan apa yang disarankan oleh Alvin. Saat sedang membaca, ponsel yang berada digenggamannya ada yang merampas, setengah panik Vani berbalik dan melihat Akash yang sedang membaca apa yang ada disana.
"Serius?" Tanya Akash penuh selidik seraya menujukkan layar ponsel yang masih menyala menampilkan artikel yang sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan.
Akash menarik tangan Vani untuk mengikutinya, tidak menghiraukan bel masuk yang berbunyi. Dia membawa Vani ke kebun belakang sekolah yang penuh dengan pohon mangga. Bukan untuk berbuat yang aneh, Akash hanya perlu waktu berdua dengan Vani agar bisa membahas apa yang akan dilakukan olehnya.
"Kenapa ke sini?" Tanya Vani, dia mengedarkan pandangan melihat sekeliling yang sepi. "Bel udah bunyi, mendingan sekarang kita ke kelas deh. Aku gak mau bolos."
"Gak mau bolos tapi mau melakukan hal yang jahat." Akash masih membaca artikel yang ada di ponsel Vani. "Lo Beneran tega mau bunuh anak lo sendiri?" Tanya Akash tidak habis pikir dengan jalan pikiran Vani. Dia lebih mendengarkan perkataan si brengsek Alvin daripada hati nuraninya.
Akash memberikan ponsel Vani yang segera disimpan di saku roknya.
"AKU GAK PUNYA PILIHAN" Teriak Vani dengan air mata yang berhasil keluar. "Kalo Aku pilih... buat tetap pertahanin anak ini. Masa depan aku hancur."
"Kalo emang tau bakal hancur, kenapa lo lakuin itu?" Terdengar germelatuk gigi saat Akash baru saja menyelesaikan kalimat itu.
Vani menangis. Dia bahkan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Andai... Saat ini pun dia berandai-andai. Seandainya ini tidak terjadi, seandainya Vani tidak berpacaran dengan Alvin dan seandainya dia tidak bertemu dan mengenal Alvin, mungkin hal ini tidak akan terjadi.
Terduduk. Vani menangis tersedu-sedu. Terserah ada yang mendengar atau tidak, tapi saat ini dia hanya ingin mengeluarkan perasaan menyakitkan yang menghimpit dada, yang membuatnya sulit bahkan hanya untuk bernafas.
"Gue bukannya mau ngurusin hidup orang lain," Ucap Akash seraya ikut berjongkok di hadapannya, tangannya mengambang diudara, antara mengelus punggung rapuh itu atau dia tarik kembali, dan pilihannya jatuh pada opsi kedua. "Tapi, coba tanya sama hati lo sendiri. Emang lo tega buat lakuin itu, dan emang lo bakalan kuat sama rasa sakit yang ada? Bukan cuma rasa sakit fisik yang bakal lo terima, tapi hati lo juga bakalan sakit karena tega sama darah daging lo sendiri. Tapi, semua memang keputusan lo sendiri. Gue gak berhak ikut campur."
Vani mengangkat wajahnya dan berdiri saat dia merasakan getaran disaku roknya. Di keluarkannya ponsel yang sekarang tertera nama Rania disana. Vani berdeham, agar suaranya tidak terdengar aneh.
"Ada apa Ra?" Tanya Vani begitu dia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel tersebut ke telinga. Hening, Vani hanya mendengarkan lalu mengangguk walaupun sadar Rania tidak akan melihatnya.
"Rania bilang semua harus ada di kelas karena ada pengumuman penting, berarti kamu juga." Vani kembali seperti sebelum dia menangis, seakan tidak terjadi apa-apa.
Mereka berdua pergi untuk kembali ke kelas. Tidak tahu badai apa yang akan terjadi berikutnya.
***
Tbc
Side readers bisa gak kalian vote cerita ini?
Dukungan kalian berarti banget untuk kelanjutan ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla (COMPLETED)
Fiksi RemajaHamil sebelum menikah apalagi saat SMA, Vani tidak pernah merencanakannya. Terpikirkan pun tidak. Rencana untuk masa depannya sudah tersusun rapi walaupun orang tuanya yang merencanakan. Tapi sekarang ia hamil dan Alvin yang seharusnya bertanggung j...