Tiga bulan telah berlalu, keuangan kafe juga sudah stabil secara mendadak, Akash saat ini sedang kembali menghitung keuangan saat pintu ruangannya diketuk. Dia sudah hafal diluar kepala, tahu siapa yang ada dibalik pintu tersebut. Zurra, adiknya. Beberapa bulan ini tidak henti-hentinya mengganggu. Bahkan sudah sering kali Akash menolak, tak jarang kata-kata kasar yang bisa membuat sakit hati si pendengar.
Padahal jauh di lubuk hatinya dia tidak tega. Akash tahu, Zurra tidak bersalah. Tapi, alasan yang membawanya kemari yang membuat Akash geram dan kerap mengacuhkannya. Sang ayah, atau Akash selalu memanggilnya Bapak, ah... Bahkan Akash hanya pernah memanggilnya sekali dan sekarang meminta dia pulang padahal itu bukan rumah tempatnya tinggal.
Hei, kemana saja Bapaknya itu? Apakah baru sekarang dia ingat bahwa Akash ini merupakan anaknya juga. Dulu bahkan dia tidak pernah memastikan dan menanyakan keadaannya, tapi sekarang memintanya kembali.
Saat ini jam makan siang, dan tanpa dipersilahkan masuk, Zurra sudah duduk tenang di hadapannya, membawa sebuah rantang yang pasti berisi makan siang untuknya. Akash tahu, dibelakangnya pasti ada campur tangan Vani yang selalu mengatakan 'tidak tega'.
"Kak, makan siang dulu yuk!" Ajak Zurra. Dia membuka satu persatu rantang susun yang langsung saja mengeluarkan aroma makanan yang membuat Akash lapar.
Biasanya Zurra tidak pernah membukanya, dia hanya akan masuk dan menyimpan makanan tersebut, yang kemudian Akash berikan pada pegawainya. Tapi, sekarang berbeda-
"Ya, karena kakak gak pernah makan makanan aku, jadi sekarang aku mau liat kak Akash makan makanan aku." Ucap Zurra, menjelaskan alasannya yang sekarang membuka rantang makanan.
"Saya gak lapar."
Ucapan Akash berbeda dengan suara perut yang minta diisi. Zurra mengulum senyum, sedangkan Akash semakin berfokus pada kertas di hadapannya sembari menahan malu.
"Kalo gitu, aku suapin ya?" Zurra menyendok nasi beserta sayur tumis buatannya. "Aaaa..." Ucap Zurra seraya membuka mulutnya lebar-lebar, agar Akash mengikuti perintahnya.
Tapi, Akash tidak menggubris. Bahkan melirik pun tidak, dan Zurra juga tidak mudah menyerah, dia terus saja menyodorkan sendok dihadapan Akash.
"A dong, tangan aku pegel nih kak." Tidak ada sahutan. "Kak, please." Tetap tidak ada sahutan.
Lalu, saat tangan Zurra bergetar menahan pegal, nasi yang berada diatas sendok jatuh mengenai kertas yang sedang di pegang Akash. "Maaf kak, aku gak sengaja." Ucap Zurra penuh penyesalan seraya membersihkan butiran nasi yng masih tersisa disana.
"Bisa gak sih, kamu itu gak berulah? Saya sudah menolak, seharusnya kamu sadar. Ini bukan pertama kalinya saya gak makan makanan kamu. Dan sekarang..."
Akash memijat pelipisnya. Pusing, entah harus apa dia kemudian berdiri hendak berlalu meninggalkan Zurra saat suara isak tangis menghentikan langkahnya.
"Maaf." Lirih Zurra seraya menunduk. "Maaf karena aku... selalu buat kak Akash marah. Tapi, aku cuma mau kakak pulang."
"Tapi saya gak mau."
"Kalo gitu, setidaknya jangan menutup mata kalo kita itu masih adik kakak. Dirumah aku kesepian. Aku selalu sendiri. Kak Reza pergi, mama pergi, papa selalu sibuk dan gak pernah ada waktu buat aku, padahal sering sakit. Kalo emang kakak gak mau pulang setidaknya aku cuma berharap kakak akui aku sebagai adik..."
"... Aku belajar masak walupun gak enak. Gak jarang aku tanya makanan kesukaan kakak ke kak Vani. Aku juga berusaha buat bersikap baik. Aku benar-benar kesepian kak. Dirumah sebesar itu aku ngerasa sendiri. Tapi, yang aku dapat malah penolakan dari kakak. Aku harus sama siapa lagi?"
Zurra kembali terisak. Dia tersedu-sedu, menumpahkan segala isi hati pada sang kakak yang sekiranya mungkin bisa sedikit mempunyai rasa iba padanya. Jujur saja, saat itu Zurra tidak terlalu ingat Kakaknya ini. Tapi, saat dia tidak sengaja masuk ke ruangan kerja papa dan menemukan file berisi data dari Akash, Zurra ingat Akash adalah anak laki-laki yang saat itu datang ke rumahnya bersama Bu Yuyun.
Dan saat dia sudah menemukan kakaknya, yang di dapat adalah penolakan, bentakan atau bahkan pengusiran yang slelau dia anggap angin lalu. Selama tiga bulan ini, tak jarang Zurra tidak bisa tidur nyenyak hanya untuk mendapatkan ide bagaimana caranya agar Akash bisa mengakuinya sebagai adik.
Disaat hatinya ragu akan usaha ini dan berniat untuk mengakhirinya, seseorang berdiri di hadapannya. Akash berjongkok, dia menghela nafas sebelum mengusap air mata tadinya itu. Ya, adiknya, karena bagaimana pun seharusnya Akash tidak berprilaku sangat kejam pada gadis di depannya ini.
"Maaf." Ucap Akash merasa bersalah setelah mendengar cerita Zurra tadi.
Zurra menggeleng dan air matanya kembali turun secara perlahan. "Aku yang seharusnya minta maaf."
Akash mengangguk, lalu dia kembali duduk di tempat semula setelah membereskan kertas-kertas yang berada di meja. "Saya lapar."
Zurra mengangkat kedua alisnya, lalu seakan sadar senyum cerah segera menghampirinya. Siang ini mereka menghabiskan makan siang bersama untuk pertama kalinya, sebagai kakak adik yang sama-sama merasa kesepian akan sosok keluarga.
Saat Zurra sudah pulang dan Akash kembali berkutat dengan kertas dan keuangan kafe, pintu ruangannya tiba-tiba diketuk. Saat di persilahkan masuk ternyata itu adalah Nia, salah satu pegawainya juga.
"Ada apa?" Tanya Akash saat Nia membuka pintu.
"Ada yang mau ketemu Bos. Katanya penting."
"Dimana?"
"Ditunggu di luar katanya Bos."
Akash berdiri. Kebetulan dia sudah menyelesaikan pekerjaannya, karena saat ini selain Om Dika ada Akash yang mengecek kas kafe.
Dia berjalan keluar dan langsung melihat dan tahu siapa yang ingin menemuinya. Akash menghampiri meja yang ditunjuk Nia, lalu dia mengerutkan kening saat tahu siapa yang ingin menemuinya. "Intan?" Akash bertanya saat lawan bicaranya tadi masih fokus berbincang dengan bayi kecil digendongannya.
"Hai, apa kabar?" Sapa Intan, dia hendak berdiri saat Akash memerintahkan Intan agar kembali duduk melalui gerakan tangannya.
"Kabar baik. Lo apa kabar?" Akash bertanya seraya duduk dihadapan Intan. "Anak lo?" Tanya Akash, dia melirik bayi perempuan di gendongan Intan.
"Iya."
Lalu tidak ada pembicaraan lagi diantara keduanya. Minuman sudah datang, entah kapan Akash meminta Nia untuk mengantarkannya, tapi saat melihat putri dari Intan dia mengajukan pertanyaan. "Namanya siapa?"
"Ah, Renita. Istri lo, udah lahiran?"
"Belum, usia kandungannya baru delapan bulan." Jawab Akash seraya menyeruput minumannya. "Oh iya, ada perlu apa?"
Intan menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba merasa gatal, dia hendak bertanya pada Akash namun ragu. "Gue ngerasa gak enak banget sama lo."
"Kenapa?"
Tepat saat Akash bertanya seperti itu, Intan menangis. Hei, kenapa perempuan yang menemuinya sekarang ini sepertinya hobi menangis. Tadi siang Zurra dan sekarang Intan.
"Gue benar-benar butuh pertolongan lo Kash."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla (COMPLETED)
Teen FictionHamil sebelum menikah apalagi saat SMA, Vani tidak pernah merencanakannya. Terpikirkan pun tidak. Rencana untuk masa depannya sudah tersusun rapi walaupun orang tuanya yang merencanakan. Tapi sekarang ia hamil dan Alvin yang seharusnya bertanggung j...