7. Alvin

6K 340 9
                                    

Happy Reading

"Gue masih gak nyangka si Vani orangnya kek gitu."

"Sama. Dia itu pokoknya panutan gue, cantik, baik, pinter, ramah pula. Tapi aslinya beda, gue sama dia lebih mendingan gue lah."

"Cantik diluar doang."

Itu beberapa bisikan siswi yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Alvin mendengarnya dan berada di belakang mereka, tersenyum miring karena reputasi Vani yang tercoreng karena kejadian tadi.

"Eh, tapi bukannya si Vani pacarnya kak Alvin ya? Jangan-"

"Kalian gak nyangka ya Vani aslinya kayak gitu?" Alvin sengaja memotong perkataan salah satu dari mereka yang sekarang menampilkan wajah ketakutan, tapi Alvin malah tersenyum padanya. "Itu emang sifat asli Vani yang gak kalian tau." Lanjutnya, membuat mereka semakin penasaran.

"Emang sifat asli Vani kayak gimana kak?" Si rambut ikal bertanya, diangguki oleh ketiganya.

"Vani itu... saya mulai dari mana ya." Alvin tampak berpikir, dia memijit pelipisnya. "Oh, dia itu selingkuh dari saya beberapa bulan belakangan. Saya pura-pura gak tau, karena saya sayang banget sama dia. Mungkin karena saya memegang teguh prinsip, sebelum menikah nggak mau melakukan itu. Jadi mungkin dia sama selingkuhannya... kalian tau lah. Gak nyangka juga dia sampe bisa kayak sekarang. Mungkin saya gak cukup baik buat dia."

"Gak bener itu," Si bibir merah menyahut seraya tersenyum menggoda. "Kak Alvin itu menurut kami cowok idaman banget. Kalo kata anak wattpad sih Most Wanted, nah iya gak?" Si bibir merah meminta persetujuan dari teman-temannya dan mereka semua kompak mengangguk membenarkan hal tersebut.

"Terima kasih," Senyuman Alvin membuat mereka meleleh, bahkan ada yang berakting seolah akan pingsan. "Jadi, sekarang kalian tahu kan itu bukan anak saya."

"Iya kak. Tapi kak Alvin jangan sedih, karena kak Alvin nanti dapat yang lebih baik dari Vani."

Alvin mengangguk. "Kalo begitu saya duluan."

Alvin tersenyum penuh kemenangan, citranya sebagai anak baik tidak akan ikut tercoreng. Tapi, dia harus memastikan satu hal lagi. Membuat Vani tutup mulut dan tidak mengatakan yang sebenarnya. Jadi, sekarang Alvin pulang ke rumah dan berganti baju. Baru kemudian ke tempat yang akan dituju berikutnya.

Pintu rumah Vani tertutup. Alvin mengetuk pintu tersebut seraya mengucapkan salam. Dia lalu menyalami Dita, Mama Vani yang membukakan pintu untuknya. Lalu saat tante Dita membukakan pintu untuknya dan menyuruhnya masuk, Alvin seraga mengekor tante Dita.

"Ada yang mau saya bahas sama tante dan om." Alvin duduk sesopan mungkin. "Om nya ada kan tante?" Tanya Alvin pada Tante Dita setelah menyuguhkan minuman untuknya.

"Ada. Tante panggilan dulu."

Alvin terkejut saat Om Pram, Papanya Vani menarik kerah bajunya. Lalu bogeman mentah mengenai pipi sebelah kirinya. "KAMU YANG MENGHAMILI ANAK SAYA." Om Pram terlihat akan kembali memukul Alvin saat Tante Dita menghentikannya.

"Mas, kita bicarakan baik-baik. Tenang mas."

Om Pram terlihat menormalkan deru nafasnya yang memburu, kemudian duduk di depan Alvin yang masih meringis karena bogeman tadi.

"Saya datang ke sini karena ada yang perlu dibicarakan Om," Alvin melirik Om Pram yang memalingkan wajah. "Tante." Lalu pada Tante Dita yang mengangguk mempersilahkan.

"Ada apa?" Tanya tante Dita.

"Begini," Alvin membenarkan duduknya agar nyaman dan terlihat sopan, dia tidak ingin citranya buruk di depan orang tua Vani. "Vani selingkuh beberapa bulan belakangan dari saya om, tante." Mereka berdua terlihat syok atas perkataan Alvin tadi, lalu Alvin mulai menceritakan kebohongannya seperti yang dia lakukan pada keempat siswi tadi di sekolah.

"Tapi tante masih gak percaya. Vani gak mungkin berbuat seperti itu." Tante Dita terlihat bersedih atas apa yang menimpa anaknya, tapi juga merasa marah karena kebenaran yang diungkapkan Alvin.

"Buktinya dia memang seperti itu," Om Pram terlihat agak melunak dan memandang Alvin penuh penyesalan. "Dan Om minta maaf atas perlakuan Om sama kamu tadi."

"Gak apa-apa Om, saya maklum kok. Karena Om dan tante hanya tau Vani berpacaran sama saya," Ujar Alvin lalu matanya mengamati sekitar, mencari keberadaan Vani. "Vani nya ada Om, Tante?" Tanya Alvin yang menatap Om Pram dan Tante Dita bergantian.

"Saya tidak akan membesarkan anak yang hanya bisa mempermalukan keluarga saja. Vani sudah saya usir dari rumah."

Alvin terkejut tentu saja. Jadi, dia berpura-pura pamit pulang untuk mencari keberadaan Vani. Hari ini sengaja Alvin memakai sepeda motor dari pada mobilnya, karena bisa lebih cepat dan bisa memasuki jalan yang tidak bisa dilewati mobil.

Alvin menuduh di depan ruko saat hujan turun, saat matanya melihat seseorang yang tidak asing sedang berlari ketakutan karena dikejar oleh dua orang preman.

Kedua preman tadi tertinggal dan Alvin menggunakan kesempatan untuk mengejar Vani yang berlari tanpa melihat ke belakang. Diaa membalap mulutnya dan membawanya pada sebuah gang sempit yang remang-remang. "Dari pada sama mereka, mendingan sama gue." Lalu Alvin menghembuskan nafasnya pada leher Vani.

Berada di gang ini membuat mereka berdua tidak terguyur oleh air hujan karena atapnya yang saling berdekatan bahkan tersambung, sehingga tidak ada celah untuk air hujan.

Vani memberontak saat Alvin memutar tubuhnya, handak berteriak tapi segera dicegah olehnya dengan membekap mulut Vani. "Sssttt... Jangan teriak nanti ketahuan," Kata Alvin dengan senyum yang sangat mengerikan. "Oh, gue lupa. Sekarang hujan jadi gak bakalan ada yang denger. Gue lupa."

"Mau kamu apa?" Vani bertanya lirih.

Alvin tidak menjawab. Dia menelusuri wajah Vani yang basah oleh air hujan karena berlari tadi. Lalu tanpa aba-aba Alvin menarik paksa seragam Vani sehingga semua kancingnya berserakan. Menampilkan tank top berwarna putih.
"Kamu jangan macam-macam. Atau aku teriak."

"Gue. Gak. Peduli."

Alvin menahan kedua tangan Vani disamping diatas kepala. Lalu dia mulai menciumi lehernya, Vani yang memberontak membuat Alvin hilang kendali dan menggigit dengan sangat keras. Vani menjerit kesakitan dan terus minta tolong tapi tidak ada yang mendengarnya. Kakinya tidak bisa dia gerakkan karena tubuh Alvin yang menghimpitnya.

Tangannya masih ditahan oleh satu tangan Alvin sedangkan, tangan Alvin yang lainnya dia gunakan untuk menelusuri pinggangnya, dan semakin naik ke atas.

Vani terus memberontak dan Alvin segera menarik rambutnya dan membenturkan keningnya pada dinding dibelakang tubuh Vani. Sakit akibat terbentur meja sekarang dua kali lipat saat Alvin membenturkannya. Vani berteriak lagi, dan kali ini Alvin menampar pipi kiri Vani hingga sudut bibirnya robek.

"Diem atau lo mati." Ancam Alvin yang membuat Vani semakin memberontak.

"KALO GITU AKU PILIH MATI SEKARANG JUGA!"Vani berteriak diantara derasnya hujan dan Alvin kembali menamparnya.

"Kalo pun mati, tapi gak sekarang. Jadi... lo diem aja. Nurut sama gue, Ok?"

Alvin menyatukan bibir mereka dan dengan segera Vani menggigit bibirnya. Alvin berteriak kesakitan dan melakukan hal yang sama pada Vani, sekarang bibir mereka sama-sama berdarah.

"Tolong, lepasin aku kak." Vani menangis. Bukannya melepaskan Alvin malah melanjutkan aksinya, ia bahkan sampai meremas dadanya kasar dan membuat Vani memejamkan mata karena rasa sakit ditubuh dan hatinya.

"TOLONG!" Ucap Vani mungkin untuk terakhir kalinya. Harapannya hanya satu. Semoga dia mati hari ini dan saat ini juga.

***

Tbc
See you next part

Vanilla (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang