Upacara pemakaman nenek dilakukan pagi hari kemudian, karena baru Akash ketahui bahwa nenek memiliki seorang anak. Dia Om Ibrahim begitu katanya saat memperkenalkan diri, usianya sekitar empat puluh tahunan, dia putra tunggal nenek yang datang tadi malam.
Duka masih menyelimuti proses pemakaman ini. Banyak sekali orang yang hadir. Mulai dari warga, Vani, bahkan teman-teman Akash pun ikut mengantarkan nenek di tempat peristirahatannya.
Disaat orang-orang mulai pergi satu persatu, hanya tersisa Akash dan Vani. Akash menjadi orang terakhir yang duduk menatap nisan tersebut setelah Om Ibrahim. Tidak banyak kata yang Akash keluarkan, tapi matanya menyimpan beribu kalimat yang sangat ingin Akash ungkapkan.
"Nek..." Berulang-ulang, Akash hanya mampu memanggil neneknya tanpa kata atau bahkan kalimat lain.
Langit mendung tidak membuat Akash segera pulang ke rumah. Dia masih tidak rela dan mungkin tidak bisa merelakannya. Diusapnya nisan tersebut dengan linangan air mata yang tidak berhenti.
Vani hanya memandang dengan sedih Akash yang bahkan sudah menangis tersedu-sedu tanpa mengucapkan kata lagi. Gerimis sudah turun, tapi Akash bahkan tidak beranjak dari tempatnya.
"Akash, ayo pulang." Ajak Vani yang tidak mendapat respon dari Akash. Vani berjongkok, dia mengelus pundak cowok yang selama ini selalu terlihat tegar tersebut. "Ayo, nenek juga gak mau kamu nanti sakit karena kehujanan."
Akash menggeleng, dia bahkan ikut berbaring diatas gundukan tanah yang ditaburi bunga segar itu. "Nenek. Nenek gak boleh pergi."
"Akash. Kamu jangan kayak gini. Nenek makin sedih, kamu harus mengikhlaskannya. Kalo kamu kayak gini terus dia gak bakalan tenang. Please, kasihan nenek."
Akash termenung sebentar, membiarkan air hujan membasahi mereka berdua. Lalu,dia tersadar. Ucapan Vani benar. Jika dia terus seperti ini, maka nenek tidak akan tenang dan terus bersedih disana. Akash bangun, dia mengecup nisan yang masih baru tersebut.
"Akash pamit nek, tapi nanti bakalan sering kesini. Nenek tenang disana ya, maafin Akash."
Akash berdiri. Dia melihat kembali nisan neneknya, sebelum dia memusatkan perhatian pada cewek di depannya. Vani menggigil kedinginan, tapi dia bahkan tidak protes pada Akash. Disini, ada perasaan bersalah yang tumbuh pada hatinya. Dia melupakan segalanya, karena kesedihan yang di alami. Dia melupakan Vani, yang akan menjadi tanggung jawabnya setelah menikah nanti.
"Maaf," Akash berkata lirih yang membuat Vani mengernyitkan kening, tidak mendengar apa yang Akash ucapkan karena hujan semakin lebat. "MAAF, GUE MINTA MAAF SAMA LO." Akash berteriak ditengah hujan lebat, berharap Vani bisa mendengarnya.
Vani tersenyum dan mengangguk, membuat perasaan bersalah yang tumbuh pada hatinya sedikit menghilang. Lalu, dia menggandeng tangan Vani, membawanya meninggalkan tempat terakhir nenek.
Saat tiba dirumah Akash meminta Vani untuk mandi terlebih dahulu, lalu tante Nia, istri Om Ibrahim memberikan baju ganti pada Vani karena dia masih belum memiliki baju lain.
Setelah mengucapkan terima kasih, Vani bergegas menuju kamar mandi untuk mandi sekaligus berganti pakaian. Setelah selesai, kini giliran Akash yang mandi. Akash termenung di kamar mandi, dia tahu Vani belum makan, dan tadi pagi sempat mengalami morning sickness tapi Akash seakan menutup mata. Perasaan bersalah yang tadi sedikit menghilang, kini bahkan kembali dua kali lipat karena tidak memperhatikan Vani.
Akash keluar, dan dapur penuh dengan aroma makanan yang mampu menggugah selera jika suasana hatinya sudah baik. Akash mungkin bisa merelakan kepergian nenek, tapi dia masih tidak bisa melupakannya dan selalu menyalahkan diri sendiri karena tidak ada saat nenek membutuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla (COMPLETED)
Fiksi RemajaHamil sebelum menikah apalagi saat SMA, Vani tidak pernah merencanakannya. Terpikirkan pun tidak. Rencana untuk masa depannya sudah tersusun rapi walaupun orang tuanya yang merencanakan. Tapi sekarang ia hamil dan Alvin yang seharusnya bertanggung j...