3. Mengaku

6.8K 391 2
                                    

Typo bertebaran!
Jangan lupa vote dan komen ya
Happy Reading♥️

Bel pulang berbunyi dan Vani langsung merasakan tarikan di lengannya begitu dia keluar dari kelas. Alvin. Entah apa yang membuatnya begitu tergesa untuk menarik Vani menuju kebun belakang sekolah. Suasana disini cukup sepi walaupun di luar sana masih banyak siswa-siswi yang baru saja keluar dari kelas.

Alvin menghimpit tubuhnya diantara tembok yang menghubungkan antara sekolah dengan lingkungan pemukiman. Saat dia memajukan tubuhnya, mengikis jarak diantara mereka, Vani segera sadar dan mendorong tubuh Alvin menjauh darinya. Dapat dilihat wajah murka Alvin yang sekarang menatap tajam ke arahnya.

Vani menggeleng tanda menolak sentuhan fisik dari Alvin. Hal tersebut tentu saja membuat Alvin mengerutkan keningnya. "Kamu lupa sama konsekuensi nolak aku?" Kata Alvin yang sekarang kembali memojokkan Vani.

Selalu begini. Vani selalu dikendalikan oleh Alvin dengan ancaman yang sama. Tapi, jika terus dibiarkan maka hal tersebut akan selalu terjadi dan entah kapan akan berhenti.

"Kamu selama seminggu terus menghindar dari aku. Aku telpon kamu gak pernah angkat, chat dibales singkat, terus lama. Kamu gak selingkuh 'kan Van?"

Aura mengintimidasi langsung keluar saat Alvin baru saja mengakhiri ucapannya. Vani menunduk takut, menelan saliva dengan susah payah. Tangannya bahkan sudah bergetar saat Alvin mulai mencekik lehernya. Tidak terlalu erat hanya saja itu membuatnya mendongak dan memandang takut ke arahnya.

"Bilang sama aku kalo kamu gak selingkuh." Kata Alvin yang sekarang semakin mencengkeram lehernya, Vani hampir kehabisan nafas, tapi seakan mengerti Alvin segera melepaskan cengkramannya.

Entah apa yang ada di pikiran Alvin sehingga menuduhnya berselingkuh. Vani memang berusaha menghindar darinya, tapi semua itu dia lakukan karena badai yang baru saja terjadi terhadapnya. Kenyataan bahwa dia hamil. Kenyataan bahwa ia mengandung anak dari pacarnya. Kenyataan bahwa hal tersebut terjadi bukan karena kemauannya.

"Gak. Aku gak selingkuh." Ucap Vani seraya menundukkan kepala, amat takut bukan karena berbohong hanya saja tatapan Alvin saat marah memang menyeramkan.

"KALO NGOMONG ITU TATAP GUE," Bentakan Alvin membuat Vani sangat terkejut. Detik itu juga dia langsung menatap tepat pada bola mata Alvin. Penuh kemarahan, selayaknya api membara yang siap membakar. "Bilang sekali lagi, kalo kamu gak selingkuh." Kali ini suara Alvin melembut, bahkan dia mengelus puncak kepala Vani.

"Aku Bneran gak selingkuh." Kata Vani, kali ini menatap Alvin. Matanya berkaca-kaca, Vani bahkan takut untuk mengatakan kebenaran bahwa dia... Hamil.

Apa yang harus Vani dilakukan? Katakan atau tidak. Tapi jika Vani tidak mengatakannya, nanti masalah semakin rumit dan jika mengatakannya Vani tidak takut akan respon Alvin. "Aku mau ngomong sesuatu sama kakak." Vani berkata lirih, dia memilin dasi. Melakukan apapun untuk menyalurkan rasa takut dan gugupnya.

"Ada apa?" Vani semakin bertambah takut karena perlakukan Alvin padanya bahkan semakin melembut, Alvin menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.

"Aku..." cicit Vani, merasa takut akan respon yang akan dikatakan Alvin, dadanya terasa sesak bahkan saat dia belum mengatakan kebenaran tersebut. "Ak-aku... Aku hamil." Lirihnya seraya memejamkan mata, Vani bahkan tidak merasakan elusan tangan Alvin dikepalanya.

Alvin mundur selangkah saat Vani mendongakkan kepala, rasa takut semakin mendominasi saat Alvin bahkan tersenyum padanya. Badai sebentar lagi akan datang. Alvin maju kembali, lalu tertawa. Vani tidak mengerti apa yang lucu dari perkataannya.

"Kamu hamil?" Tanya Alvin yang membuat Vani menganggukkan kepala takut. "Anak siapa?" Dan seketika rasanya Vani baru saja jatuh di dasar hutan yang paling curam.

"Anak kamu. Aku hamil anak kamu kak." Vani memberanikan diri maju selangkah, dia menggenggam sisi seragam yang dikenakan Alvin, bahkan saat Alvin bergerak mundur pun. Vani tidak melepaskannya, membuat seragam tersebut keluar dari celananya.

"BOHONG!" Bentak Alvin yang untuk kedua kalinya membuat Vani terkejut, Alvin mencengkeram tangan Vani yang masih bertengkar disisi seraganmya. "Itu. Bukan. Anak. Gue." Tekan Alvin di setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Vani hanya meringis saat cengkeraman tersebut terasa begitu kuat. Vani melirik tangannya, air mata mengalir saat Alvin menabrakkan punggungnya ke tembok. "Beneran aku gak bohong. Kak Alvin mau tanggung jawab 'kan?" Mohon Vani dengan linangan air mata.

"Masa depan gue masih panjang. Kalo gue nikah sama lo, apa artinya gue sekolah sampe SMA? Bentar lagi gue lulus, lo jangan egois."

"Kak Alvin pikir masa depan aku gak hancur? Aku juga sama kak, masa depan aku juga hancur. Kalo kakak gak lakuin itu, semua ini gak bakalan terjadi."

Rasanya sesak. Sangat sesak bahkan saat ini nafasnya memburu. Nafas mereka memburu karena emosi masing-masing. Alvin yang tidak percaya padanya, bahkan dia tidak segan untuk mencekik lehernya lagi. Vani kehabisan nafas, wajahnya pucat dan mungkin sebentar lagi dia akan mati. Ya, Vani rasa itu yang memang seharusnya terjadi.

"Gugurin janin itu, Kalo emang masa depan lo gak mau hancur. Gugurin!" Ucapnya seraya melepaskan cekikan tersebut. Alvin benar-benar marah. Penggunaan Lo-gue, sudah menjadi buktinya.

"Aku gak mau. Ini anak aku. Anak kita." Vani tetap pada pendiriannya. Kenapa dia harus menggugurkan bayinya hanya untuk membuktikan bahwa ini anak mereka berdua?

Alvin mengeluarkan ponsel yang berada disaku celana, dia mengetikkan sesuatu dan notifikasi langsung Vani dapatkan. "Sekarang lo pergi, jangan sampe ada yang tahu kalo gak... lo tau akibatnya. Lo pokoknya harus..." Ucap Alvin menggantungkan kalimatnya seraya memandang sekitar. "Aborsi!" Lalu pergi begitu saja, dan Vani hanya terduduk dengan lesu.

Vani menekuk lutut dan menenggelamkan wajahnya diantara tangan yang terlipat diatas lutut. Dia menangis. Menangis tanpa suara yang sangat menyesakkan dari pada berteriak sekencang-kencangnya. Andai dia bisa, andai teriakannya nanti tidak terdengar oleh orang lain. Andai dia bisa melukannya. Andai... seandainya dia bisa berandai-andai bahwa ini semua hanya mimpi.

Alvin memang mengatakan hal yang benar. Semua ini akan menghancurkan masa depannya. Tapi ini semua tidak akan terjadi jika Alvin tidak mengancamnya, jika Alvin...Bahkan Vani tidak sanggup untuk mengutarakannya.

Vani mengambil ponsel yang berada di saku roknya. Memandang sebuah alamat yang dikirimkan oleh Alvin tadi. Dia sudah memutuskan, Seperti perintah Alvin. Vani akan melakukannya walaupun dia tidak menginginkan itu.

Vani berdiri, memejamkan matanya, mencoba untuk melakukan hal yang memang salah. Dia tersenyum getir dan mengelus perutnya yang masih rata. Bahkan sebelum lahir pun janin ini akan hilang untuk selamanya. Jadi, sekarang dia berjalan menuju tempat tersebut. Berjalan kaki karena jaraknya tidak jauh dari sini. Tempat yang sangat dihindarinya sekarang akan menjadi tujuannya. Tempat aborsi.

Air mata tidak pernah berhenti mengalir. Itu semua menjadi pusat perhatian orang yang berlalu-lalang. Vani berusaha menghentikannya. Dia sudah sampai. Tempat ini, hanya sebuah gubuk kecil yang berada di daerah gang yang sempit. Tidak ada rumah lainnya selain rumah ini. Vani hanya perlu meyakinkan hati dan melakukan hal yang seharusnya.

Tapi, saat dia baru saja ingin mengetuk pintu, seseorang menarik tangannya dan membawanya berlari dari sini.

***

Tbc
See you next Part♥️

Vanilla (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang