"Thank's ya Kash, gue gak tau mesti gimana kalo gak ada lo." Ucap Intan dengan senyuman tulus. Dia lalu beranjak dari duduknya. "Kalo gitu gue pamit."
Akash mengangguk. "Iya, kalo ada apa-apa kabarin gue aja. Udah di-save,' kan nomer gue?"
"Iya, thank's ya."
Lalu saat Intan sudah menghilang dari pandangannya, Akash kembali ke ruangannya, dia mendudukkan dirinya di sofa seraya memijat kepala. Dan saat suara ponsel di saku celananya membuat Akash segera mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Vani tertera disana.
"Halo?" Sapa Vani diseberang telepon. "Akash? Kamu lagi apa? Aku gak ganggu,'kan?"
"Gak. Emang ada apa?"
"Aku mau izin ke rumah Rania. Boleh?"
Akash melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Belum terlalu sore. "Boleh, kamu mau aku antar ke sana?" Tanya Akash.
"Gak perlu. Aku mau naik taksi aja."
"Kalo gitu hati-hati. "
"Iya."
Sambungan telepon terhenti begitu saja, dan Akash kembali melakukan pekerjaannya. Mulai dari membantu menyiapkan makanan, mengantarkannya dan menjadi kasir, karena terkadang pegawainya mempunyai urusan mendesak, ke kamar mandi misalnya.
Tidak terasa waktu seakan cepat berlalu. Sedari tadi Akash mencoba menghubungi Vani, bertanya sudah sampai atau belum? Tapi nomernya tidak dapat dihubungi, pesannya tidak satu pun terbalas. Akash mencoba berpikir positif, lalu dia menghubungi Restu untuk menanyakan nomer telepon Rania.
Saat sudah mendapatkannya, tidak perlu buang-buang waktu, Akash segera menghubungi Rania dan mendapatkan jawaban yang membuatnya semakin berkhawatir.
"Eh, bukannya udah pulang dari tadi?"
Segera saja Akash mencari keberadaan Vani, pertama dia mencarinya ke rumah. Siapa tahu Vani sudah sampai dan ketiduran sehingga tidak menjawab teleponnya. Tapi, di rumah Akash tidak menemukan keberadaan istrinya itu. Sumpah demi apapun Akash khawatir dengan keberadaan Vani, apalagi sekarang di sedang mengandung dan usia kandungannya sudah hampir menginjak sembilan bulan.
Akash kembali keluar rumah, dia mencari ke sana kemari, mencoba menghubungi dan bahkan meminta bantuan teman-temannya untuk mencari keberadaan istrinya itu. Nihil, mereka tidak menemukannya. Lalu, saat Akash hampir menyerah, dia melihatnya. Dia melihat Vani sedang duduk berdua dengan seorang pria yang Akash tidak kenal. Mereka seakan dekat, berbincang begitu hangat bahkan senyum cerah tidak bisa Vani sembunyikan saat pria tersebut mengelus perutnya.
Disaat Akash khawatir setengah mati, Vani sedang berbincang seakan lupa waktu. Lalu, saat kedua orang itu keluar dari restoran, Akash berlalu. Saat dia sudah memastikan Vani masuk ke dalam mobil dan akan di antar pulang.
Akash duduk menunggu diruang tamu, dan tidak lama kemudian Vani masuk ke dalam rumah. Keningnya berkerut saat mendapati Akash sudah berada di dalam rumah.
"Kamu udah pulang?" Tanya Vani, dia mendudukkan dirinya di sofa depan Akash.
"Dari mana?"
"Dari rumah Rania. Kenapa?"
"Gak kemana-mana lagi, 'kan? Kenapa baru pulang."
"Ah, soalnya lupa waktu kalo main sama Reza dan Anya. "
"Oh, kalo gitu aku mandi duluan." Kata Akash, dia berlalu menuju kamar untuk membersihkan diri.
Hari-hari sudah berlalu begitu cepat, dan sejak malam itu sifat Akash kepada Vani berubah. Akash menjadi lebih dingin, bahkan saat Vani sudah susah payah menyiapkan sarapan, dia akan berlalu begitu saja tanpa memakannya.
Bahkan, pernah saat Vani mengantarkan makan siang Akash beralasan sudah makan dan lagi-lagi tidak memakan masakannya.
Perubahan Akash tentu saja membuat Vani tidak terbiasa. Walaupun saat pertama menikah atau bahkan saat masih SMA mereka tidak pernah bertegur sapa, tapi rasanya saat sudah menikah terasa berbeda. Vani sudah terbiasa dengan sikap Akash yang kadang manja, perhatian dan selalu mengkhawatirkannya.
Dan Vani teringat akan satu hal. Apakah Akash marah saat malam itu Vani pulang terlambat? Sepertinya iya, maka dari itu hari ini dia kembali memutuskan untuk pergi menemui Akash.
"Barusan aja keluar."
Itu perkataan Doni saat Vani menanyakan keberadaan Akash di Kafe. "Akash gak bilang mau pergi kemana?" Tanya Vani.
"Nggak."
Akhirnya Vani kembali memutuskan untuk pulang saja, tapi langkahnya terhenti saat dia melihat Akash sedang bersama seorang perempuan, dan perempuan itu tidak sendiri, dia bersama seorang bayi yang berada digendongannya. Vani tersenyum pilu, Disaat dia mencari keberadaan Akash, ternyata Akash sedang duduk di sebuah taman bersama wanita lain.
Matanya berkaca-kaca, seakan ditikam benda tajam hatinya terasa perih. Lalu saat taksi lewat di depannya Vani menghentikan taksi dan hendak masuk, sekali lagi Vani menoleh ke sana. Dan tatapan mereka bertemu. Vani melihat Akash yang beranjak dari duduknya sebelum dia masuk dan taksi yang di ditumpanginya berjalan pergi meninggalkan tempat tersebut.
Vani segera mengemasi barang-barangnya, entah apa yang dipikirkannya tapi Vani merasa ini memang yang terbaik. Mungkin saja sedari dulu dia menghalangi Akash untuk memilih wanita pilihannya. Disaat dia sedang mengemasi barang-barang, Akash menghentikan tangan Vani yang akan menutup koper peng berisi pakaian yang akan dia bawa pergi dari sini.
"Kamu mau kemana?" Tanya Akash dan kembali menghentikan tangan Vani yang hendak kembali menutup koper tersebut.
"Pergi." Jawab Vani. "Aku mau pergi dari sini supaya gak jadi penghalang hubungan kamu. Sedari awal aku tahu kamu terpaksa buat nikahin aku, jadi kalo emang kamu udah punya orang yang bisa buat kamu bahagia. Aku harus pergi."
"Kamu ngomong apa sih?"
"Aku tadi lihat kamu sama cewek, dia bawa anak dan kalian kayaknya bahagia banget." Ucap Vani terbata, dia tidak bisa berhenti menangis. "Aku emang pernah bayangin hal itu, tapi kayaknya mustahil. Harapan aku terlalu tinggi."
"Maksud kamu apa? Aku sama dia?" Akash menunjuk pintu kamar yang tidak ada siapa-siapa, dia menjambak rambutnya frustasi. "Terus kamu apa? Kalo aku dituduh punya cewek lain, apa bedanya sama kamu?"
Vani mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Malam itu, waktu kamu izin sama aku buat ke rumah Rania." Jelas Akash, tapi Vani masih tidak mengerti apa kesalahannya. "Aku telepon kamu gak angkat, aku kirim pesan pun kamu gak bales. Aku tanya Rania, dia bilang kamu udah pulang dari tadi, terus kamu tahu apa yang aku lihat di jalan?..."
Akash menarik nafas, dia menggantungkan ucapannya seraya menatap mata kemerahan Vani yang terus mengeluarkan air mata. "...Aku lihat kamu berduaan sama cowok di restoran. Kalo apa yang kamu pikirkan terhadap aku seperti itu, terus aku harus pikir bagaimana hubungan kamu sama cowok itu yang bahkan sampai pegang perut kamu dan antar kamu pulang."
"Itu aku bis-"
"Gak perlu. Dan kamu gak perlu pergi, aku yang pergi dari sini."
Akash berlalu begitu saja. Dia pergi meninggalkan Vani yang menangis tersedu di tepi ranjang. "Maaf, aku gak jujur sama kamu." Lirih Vani, dia memandang pintu kamar setelah kepergian Akash.
Setelah kepergian Akash tidak lama kemudian Rania datang ke rumah diantar Restu karena permintaan Akash untuk menemaninya. Vani hanya terus menangis tanpa bisa menjelaskan apa-apa kepada Rania. Ini adalah pertengkaran pertama mereka, dan Rania mengerti untuk tidak bertanya lebih lanjut pada Vani. Sekarang yang perlu Rania lakukan hanya menemani dan menjaga Vani atas permintaan Akash dan keinginannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla (COMPLETED)
JugendliteraturHamil sebelum menikah apalagi saat SMA, Vani tidak pernah merencanakannya. Terpikirkan pun tidak. Rencana untuk masa depannya sudah tersusun rapi walaupun orang tuanya yang merencanakan. Tapi sekarang ia hamil dan Alvin yang seharusnya bertanggung j...