“SABAR, satu kata yang mudah di ucapkan namun begitu sulit untuk aku pertahankan keberadaannya di dalam hidupku”
-Nisa Alvia Natasha-
Nisa menatap lalar jalanan yang tidak terlalu ramai malam ini. Saat ini ia sedang menunggu sate yang ia pesan untuk Astrid yang memintanya membeli makanan di pinggir jalan tersebut.Sesudah menerima sate yang ia pesan sedari tadi, Nisa berjalan menuju motornya. Langkahnya terhenti karena satu mobil yang tiba-tiba berhenti begitu saja di depannya.
"Hai cewek.." ucap seorang cowok yang muncul dari mobil bersama dua temannya.
"Malem-malem gini sendirian aja neng, hehe.."
Ketiga cowok tersebut terus menggoda Nisa sampai Nisa ketakutan.
"Mau apa kalian? Jangan ganggu saya!"
Dengan rasa takut dan keringat dingin ada di tubuhnya Nisa berusaha menghindari ketiga laki-laki itu. Namun nihil, tangannya malah terpegang erat oleh laki-laki yang ingin membawanya ke dalam mobil
"Tangan Nisa sakit, TOLONG!"
Ketika pintu mobil terbuka, tiba-tiba saja tangan yang menggenggam Nisa terlepas dengan tubuhnya yang tumbang ke jalanan akibat tendangan seorang laki-laki yang baru saja datang menolong Nisa.
"Gibran..."
"Cowoknya dateng nih. Belum cukup lo, kemarin udah kita habisin? Apa punya nyawa dua, sampe sekarang lo mau nyerahin nyawa lo disini?!" ucap seorang cowok dengan tampang sinisnya
"Bacot! Dasar banci lo semua, beraninya sama cewek atau nggak keroyokan!"
Bugh...
Satu pukulan lolos dari Gibran mengenai cowok yang dia ketahui adalah Satria. Mungkin Satria sengaja menggangu Nisa karena Satria tahu kalau Nisa sedang dekat dengannya
"Gibran awas!" teriak Nisa dengan mata sendunya yang khawatir akan keadaan Gibran.
Gibran terus melawan mereka bertiga hingga mereka kalah. Cukup mudah baginya mengalahkan mereka karena cuma bertiga. Ya, cuma bertiga bukan lawan puluhan orang.
Tahu kalau ketiga cowok tersebut kalah, langsung saja mereka menaiki mobilnya dengan muka lebam kesakitan.
"Gibran kamu gak apa-apa? Maafin aku kamu jadi kayak gin–"
"Syut! Lo gak usah ngoceh terus" potong Gibran
"Kamu kenal siapa mereka?" tanya Nisa hingga Gibran pun menjelaskan kalau mereka adalah Satria dan geng nya. Mereka sengaja mengincar Nisa karena mereka sempat melihat Nisa kemarin waktu Nisa menolong Gibran, dan memang markas geng Satria tidak jauh dari lokasi perkelahian waktu itu.
"Pantesan kemarin kamu marah banget pas aku nyamperin kamu. Maafin aku ya Gibran, aku bener-bener gak tau soal itu. Sorry..."
"Gue anterin lo pulang" ketus Gibran beranjak ke motornya Nisa, tanpa merespon kata maaf dari Nisa.
—
Motor yang Gibran dan Nisa tumpangi berhenti di depan rumah Nisa
"Gue ikut masuk sampe dalem rumah lo, buat mastiin kalau lo itu baik-baik aja sampe sana" ucap Gibran seraya melangakah ke dalam rumah Nisa tanpa jawaban dari Nisa yang ingin melarangnya masuk
Mungkin tingkah Gibran terlalu lebay sampai masuk ke dalam rumah Nisa, sedangkan sudah tahu kalau di hadapannya itu Nisa baik-baik saja
Perlakuan Gibran seperti itu bukan karena bucin. Tapi demi melindungi Nisa dari marahnya Astrid yang selalu saja bersikap tidak baik kepada Nisa
"Assalamualaikum..." ucap Nisa memasuki rumahnya, mendapati Astrid yang tengah berdiri dengan mata tajam bak elang
"Mah... Ini Gibran tadi nolongin–"
"Mana makanan yang tadi mama suruh beli?" tanya Astrid memotong pembicaraan Nisa
"Aduh Nisa lupa lagi, gara-gara Satria tadi yang gangguin Nisa sampe lupa sama sate yang gak sengaja kelempar" gerutu Nisa dalam hati
"Lupa? Malah pacaran, hah? Kamu kok gitu banget sih ya jadi anak. Gak guna! Sini kamu" dengan marahnya Astrid memegang keras tangan Nisa, namun hal itu tercegah oleh tangan Gibran yang melindunginya
"Jangan sakitin Nisa! Kalau tante gak suka, silahkan tante sakitin saya. Ini salah saya tante"
Plak...!!
Satu tamparan lolos dari tangan Astrid mengenai pipi Gibran
"Jadi ini pacar kamu Nisa? Gibran, kamu gak usah ikut campur sama urusan saya!"
"Gibran itu bukan pacar Nisa!" ucap Nisa menyangkal perkataan Mamanya "Mending kamu pergi dari sini Gibran. Tadi juga Nisa gak izinin kamu masuk"
Gibran merasa kecewa dengan sikap Nisa yang seolah mengusirnya, lalu ia pergi begitu saja. Padahal pada kenyataannya Nisa tidak mau kalau Gibran di salahkan atas kesalahpahaman Mamanya, bahkan Mamanya sampai menampar Gibran padahal Gibran tidak salah.
"Aku gak mau kamu ngerasain sakit lagi, cuma gara-gara mau lindungin aku"
Astrid menarik tangan Nisa secara kasar lalu mendorongnya hingga tangan Nisa terbanting ke ujung meja yang tajam. Darah segar mengalir begitu saja dari tangannya. Mungkin tangannya yang berdarah, tapi kenapa hatinya yang begitu sangat sakit. Air matanya sedari tadi terasa terus berjatuhan tanpa aba-aba
"Anak manis..." ucap Astrid mendekat kepada Nisa. Mungkin kalau orang lain yang melihat tatapan Astrid saat ini sudah tak karuan bergidik seram.
"Mama, Nisa minta maaf. Tadi Nis–"
"Saya gak butuh maaf dari kamu, masuk kamar sana! Saya gak mau liat muka pembunuh kayak kamu itu!" Astrid melenggang pergi menuju kamarnya dengan raut wajah marah, sedih, dan kebencian yang tercampur
"Pembunuh?"
"Maksud Mama ngomong kayak gitu itu apa? Kenapa Mama benci banget sama aku? Kenapa?"
Dalam tangisan matanya yang terus meneteskan air mata itu, hati Nisa terus bertanya. Apa yang terjadi di masa lalu?
Nisa menaiki anak tangga satu persatu menuju kamarnya. Sesampainya di kamar ia membenamkan tubuhnya kedalam selimut
Seketika matanya mengedarkan pandangan mencari sumber suara telepon yang berdering sejak beberapa detik yang lalu. Tertera nama Papanya, ia langsung mengangkat telepon tersebut
"Hallo Nisa, kamu belum tidurkan? Maaf Papa ganggu waktu kamu sebentar" ucap Alvi di sebrang sana
"Papa, nggak ganggu kok pah"
"Anak Papa sayang, kenapa suara kamu kayak berat gitu? Kamu nangis? apa lagi sakit?" Tanya Alvi berturut-turut merasa khawatir kepada anak satu-satunya itu
"Nisa gak apa-apa kok pah. Mungkin Nisa cuma kurang minum, makanya suaranya jadi kayak giti. Oh iya, ada apa Papa nelpon? Udah malem gini kok belum pulang?"
"Papa harap, kamu lagi baik-baik aja. Malam ini Papa gak bisa pulang karena banyak kerjaan yang harus Papa urus, mungkin besoknya lagi Papa bisa pulang" Jelas Alvi
"Yahh, padahal Nisa kangen Papa. Tapi yaudah deh gak apa-apa, semangat terus kerjanya ya pa"
"Kamu juga, belajarnya yang serius" Tutup Alvi
Nisa meletakan kembali benda pipih itu keatas meja belajar, lalu duduk di kasurnya
"Andai aja aku bisa cerita banyak hal ke Papa soal Mama, mungkin aku merasa lega? Tapi kalau aku cerita, aku takut Papa malah marah ke Mama. Lagi pula, baik buruknya Mamaku kan tetap saja ia adalah Mamaku. Dan.... Apa maksud dari omongannya Mama tadi? Pembunuh? Apa aku tanyain aja soal ini ke Papa?"
o0o
Pembunuh???
Gimana menurut kalian tentang part ini?
Makin Penasaran?!Terus Vote and Comment untuk menghargai karya aku yang udah kalian baca♥♡
Kalau ada Typo tolong komentar ya
Thank YouJangan lupa tekan bintang yang ada dibawah!👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Tunggal ✔
Teen FictionSeorang gadis yang berusaha kuat diatas sulitnya menjalani kehidupan dengan berjuang sendiri. Anak tunggal itu tidak mudah. harus menjadi kakak untuk diri sendiri, juga menjadi adik untuk diri sendiri. Dan yang pastinya menjadi satu-satunya harapan...