Chapter 24

53 5 0
                                    

Gibran perlahan membuka matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata sipitnya. Hari, kini sudah pagi. Pikirannya tiba-tiba mengingat sesuatu, kalau Nisa akan pulang hari ini. Sontak tubuhnya yang tadinya terbaring di atas sofa, kini duduk dan memperhatikan situasi sekitar.

"Gibran udah bangun?" ucap Nisa yang sedang mengemas barangnya pada tas.

"Loh, kok lo udah siap aja?" tanya Gibran yang melihat keadaan Nisa sekarang sudah terlihat sembuh dan tidak memakai baju pasien rumah sakit lagi.

"Si curut— Kaffa mana?" tanya Gibran lagi ketika melihat tidak ada Kaffa di ruangan itu. Padahal tadi malam mereka tidur berdampingan di sofa.

"Udah pergi dari tadi subuh. Katanya ada urusan dan mau pamit sama kamu, tapi dia gak tega bangunin kamu" jelas Nisa membuat Gibran mengangguk paham.

Gibran berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya, sedangkan Nisa pergi dari ruangan itu untuk urusan administrasi.

Sesudah keduanya siap untuk pulang. Mereka pun berjalan menuju parkiran rumah sakit.

Gibran pun mulai mengendarai motornya dengan hati-hati, karena ia tidak mau kalau Nisa sampai kenapa-kenapa lagi.

"Gibran, dingin" ucap Nisa yang sedang memeluk dirinya sendiri. Cuaca pagi ini memang cukup dingin, di tambah lagi sekarang mereka berada di atas motor yang pastinya ada angin yang leluasa menyentuh kulit.

Gibran menghembuskan napas berat. Kenapa ia sampai lupa mengingatkan Nisa untuk memakai jaket. "Yaudah sini!" Gibran menarik tangan Nisa dengan tangan kirinya hingga melingkari perutnya. "Peluk yang erat biar nggak dingin"

Bukannya menurut, Nisa malah melepas rangkulan tangannya dan beralih menepuk kepala Gibran yang di baluti helm hingga hampir saja motor yang dikendarainya kehilangan keseimbangan. "Duh, sakit goblok!" protes Gibran tak terima.

"MODUS!" teriak Nisa. Gibran yang berinat melindungi Nisa agar tidak kedinginan malah mendapat pukulan di kepalanya. Gak bisa di ajak romantis emang.

———

Hari ini adalah hari sabtu, di mana semua anak SMA tidak masuk sekolah. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Sejak pulang dari rumah sakit, Nisa sudah ada niatan untuk menenangkan dirinya di sekitar danau hingga saat ini gadis itu sedang duduk di salah satu batang pohon tumbang sekitar danau.

Mata gadis itu menatap danau yang begitu tenang, suara kacauan burung dan katak pun kini terdengar. Suasana seperti ini adalah suasana yang diinginkan, jauh dari riuh kegiatan manusia yang terus mengganggu pikirannya.

"Kayaknya asik deh, kalau aku bisa mancing terus mancing di sana" tunjuk Nisa menghayal. "Sama Gibran, atau Kaffa juga boleh. Hhehe" lanjutnya berbicara dengan dirinya sendiri di akhiri kekehan kecil pada senyumnya.

"Hidup aku sunyi, gak ada kakak atau adik yang bisa aku ajak bercanda" Gadis itu tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca. "Tapi aku masih punya Tuhan, aku harus beryukur dengan semua yang aku punya. Nisa itu kuat, kayak batu di danau itu yang bisa berdiri kokoh walaupun setiap hari dia selalu sendiri." Nisa menghapus jejak air mata yang menetes beberapa kali di pipi cantiknya.

Gadis itu perlahan mulai bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah menuju batu yang berukuran lumayan besar. "Kamu hebat, bisa kuat walaupun sendirian. Nanti Nisa cariin batu kecil ya, buat nemenin kamu." beo Nisa seraya mengusap batu itu.

"Lo ngapain ngomong sama batu?" tanya seorang cowok yang datang tiba-tiba membuat Nisa berjingkrak kaget.

"Aku kaget loh An" jawab Nisa setelah membalikkan tubuhnya dan melihat cowok itu ialah Gibran.

Anak Tunggal ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang