"MAMA!" Teriak Nisa yang berlari ketika melihat Astrid sudah tidak sadarkan diri dengan kepalanya yang sudah berlumuran darah. Gadis itu pun membelah kerumunan orang-orang yang melihat kejadian gila itu.
Waktu berjalan begitu cepat hingga Nisa tidak mampu menahan kepergian Mamanya sewaktu berlari terjun dari tempat setinggi itu.
Gibran, Kaffa dan orang lain yang masih berada di kerumunan itu membantu mengangkat tubuh Astrid setelah mobil yang di kendarai Alvi sudah siap melaju ke rumah sakit. Bukan rumah sakit jiwa.
Gibran duduk di sebelah pengendara yang tak lain adalah Alvi, sedangkan Nisa duduk di belakang dengan pahanya menjadi sandaran kepala Astrid yang sudah berlumuran darah. Sementara itu Kaffa menjemput Dika dan Vella untuk ikut menjenguk keadaan Astrid serta menjelaskan semua kejadian yang baru saja terjadi.
"Mama harus sembuh." lirih Nisa dengan isak tangisnya yang terdengar oleh Alvi dan Gibran.
"Nisa tenang sayang, jangan panik. Papa yakin kalau Astrid akan sembuh." ucap Alvi yang masih fokus mengendarai mobil.
"Nisa gak bisa tenang sebelum Mama buka matanya." Air mata gadis itu dengan nakalnya terus meleleh membasahi pipinya.
"Ini semua salah Nisa. kalau aja Nisa gak ceroboh waktu kecil, Mama gak bakal menderita karena kehilangan. Tadi juga, harusnya Nisa kasih Mama waktu, bukan malah buat Mama kehilangan bonekanya." Isakan tangis Nisa terus terdengar.
"Ini takdir. Lo gak boleh nyalahin diri lo sendiri." Kini Gibran yang berbicara, berusaha menenangkan perasaan Nisa.
"Tapi ini semua salah Nisa!" Bantah Nisa.
Kini ia menatap wajah Astrid yang mulai memucat. "Nisa sayang Mama, tapi Nisa udah jahat sama Mama." Gadis itu menghirup udara yang ia rasa sangat sesak.
Perlahan tangannya mengusap ujung kepala Astrid dengan kasih sayang, tidak peduli kalau tangannya akan ikut berlumuran darah juga. "Kalau Mama butuh apa-apa, Nisa siap bantu. Sekalipun Mama butuh organ tubuh Nisa, Nisa siap kasi untuk Mama."
"NISA!" Ucap Alvi dan Gibran serentak karena ucapan Nisa yang mulai ngelantur. Mana mungkin keduanya rela kalau Nisa kekurangan satu atau lebih dari organ tubuhnya.
———
Alvi menatap kosong lantai rumah sakit yang berada di hadapannya. Saat ini ia sedang duduk di kursi depan ruangan dimana Astrid sedang ditangani beberapa dokter. Di sampingnya terdapat seorang putrinya.
Nisa yang sedari tadi menangis hingga terdengar isakannya, kini sedang bersandar di ceruk lekuk leher milik Gibran. Laki-laki itu senantiasa berada di samping gadis itu walaupun hanya berusaha melindungi dan menenangkan.
"Gibran" panggil Nisa.
"hm?"
"Nisa sayang Mama Astrid" ucap Nisa membuat Gibran merasa kasihan dengan gadis itu.
"Iya tahu. Kamu sabar aja, nanti tante Astrid sembuh dan bisa kembali menatap kamu" Gibran mengusap bahu Nisa dengan maksud menenangkan gadis itu.
Kamu?
Mendengar ucapan Gibran, hati Nisa sedikit tenang. Rasa sesak yang ia rasa mulai berkurang walaupun hanya secuil.
"Keadaan tante Astrid gimana?" tanya Kaffa yang baru saja datang diikuti Dika dan Vella di belakangnya.
Gibran menggelengkan kepalanya tanda belum ada jawaban dari Dokter yang sedari tadi menangani Astrid. Kaffa pun mengangguk mengerti.
"Nisa, kamu yang sabar. Aku yakin tante Astrid akan sembuh" ucap Vella menenangkan Nisa hingga Nisa mengangguk dan memperlihatkannya senyum tipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Tunggal ✔
Teen FictionSeorang gadis yang berusaha kuat diatas sulitnya menjalani kehidupan dengan berjuang sendiri. Anak tunggal itu tidak mudah. harus menjadi kakak untuk diri sendiri, juga menjadi adik untuk diri sendiri. Dan yang pastinya menjadi satu-satunya harapan...