Chapter 17

50 11 0
                                    

Gibran, Dika, dan Kaffa berjalan di koridor kelas mencari keberadaan Vella. Dengan seragam sekolah yang masih rapih, wangi dan wajah ketiganya yang tampan membuat semua cewek yang melihatnya di sepanjang koridor terpesona. Tidak heran lagi, mereka mungkin sangat pantas di bilang pria most wanted di sekolahan ini.

"Sialan, Vella gak ada di sini" ucap Dika yang ikut khawatir dengan hilangnya Nisa.

Semenjak mereka bertiga datang ke sekolah, mereka sudah mencari keberadaan Vella bahkan menanyakannya ke beberapa orang, namun tidak ada yang melihatnya.

"Apa jangan-jangan, Nisa emang ada sama Vella? Mungkin aja kalau Vella lagi ada masalah sama Nisa, dan... " Opini Kaffa yang tidak mau ia lanjutkan.

"Awas aja kalau Vella berani sakitin Nisa" Dika yang mengerutkan dahinya dengan gigi bergemelatuk.

"Kenapa malah belain Nisa? Awas nanti kena gampar Gibran" ucap Kaffa yang mendapat tatapan tajam dari Dika.

Gibran memutar bola matanya malas. "Lo pada mikir apaan sih? Mending kita ke rumah Vella buat mastiin bener apa nggak, Nisa ada di sana!" cowok itu menghentikan kedua sahabatnya yang akan mengoceh ria. Mendengar Kaffa dan Dika adu mulut membuatnya tambah pusing.

Mereka bertiga segera melenggang pergi menuju parkiran dan mengendarai motornya masing-masing, dengan di dahului Dika yang tahu persis alamat rumah mantannya. Ketiga cowok itu terlihat sangat gagah ketika menaiki motor gede.

Sekarang ini sekitar jam sembilan pagi, jalanan tidak terlalu macet membuat ketiganya leluasa membelah jalan.

Butuh waktu beberapa menit hingga kini Gibran, Dika dan Kaffa berada di depan gerbang rumah Vella yang cukup besar dan luas. Rumah itu terlihat sepi, hanya ada satu orang pembantu yang sedang menyiram tanaman dan dua satpam yang sedang berjaga.

"Permisi pak, apa Vella ada di rumah?" tanya Gibran kepada Satpam di hadapannya.

"Kita gak tau karena kita baru berjaga. Satpam yang menjaga rumah non Vella itu berganti di setiap pagi dan malamnya." jawab satpam yang berbadan kekar itu.

"Tapi Bapak lihat, Vella berangkat sekolah? Katanya Bapak jaga rumahnya untuk jam pagi?" Kaffa menaik turunkan alisnya.

"Kalian siapa?" ucap seorang gadis cantik di dalam pintu Gerbang. Gadis itu seperti sedang sakit, mukanya sedikit pucat dengan perban kecil berbentuk persegi di dahinya.

"Vio! Vella ada di rumah?" tanya Dika yang mungkin akrab dengan gadis yang mengenakan sweter ping dan celana pendek itu.

"Gak ada kak. Kak Vella lagi sekolah, bukannya sekolah kak Vella bareng sama kak Dika?" ucap gadis yang Dika panggil dengan sebutan Vio.

Dika menggelengkan kepalanya tanda tidak ada Vella di sekolahan.

"Non Viola ko keluar? ayo masuk, non Vio kan lagi sakit" ucap seorang wanita dengan baju seragam pembatu rumah itu.

"Kalau lo ketemu Vella, lo bilang sama dia. Kita nyariin dia" ucap Gibran dibalas dengan anggukan dari Viola sebelum masuk kedalam rumahnya.

Gibran menaiki motornya kembali. Kepalanya tertunduk lesu menatap helm yang ia pegang. "Lo kemana... Gue janji kalau lo kembali, gue bakal jagain lo Nisa" gumam Gibran yang masih bisa di dengar oleh Kaffa dan Dika.

"Lo.... Udah mulai sayang sama Nisa?" tanya Kaffa dengan hati-hati.

Gibran mendongkak dengan senyum tipis di bibirnya, matanya menutup beberapa detik dengan arti meng-iyakan pertanyaan Kaffa.

———

Gibran berjalan lesu menuju taman belakang sekolah. Karena merasa lelah, ia duduk di bawah pohon rindang dan menyandarkan punggungnya pada pohon itu. Suasana taman terasa sepi karena semua siswa sedang sibuk mempersiapkan dekorasi maupun latihan untuk penampilan mereka di acara pelepasan yang akan di adakan besok pukul sembilan pagi.

Gibran memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar di pohon. Kepalanya sangat pusing karena terus mencemaskan keadaan Nisa, selain itu iya juga belum makan dari tadi malam. Setelah memeriksa keadaan Nisa yang tidak ia ketahui membuatnya tidak nafsu untuk makan. Bahkan saat Kaffa dan Dika membujuk Gibran, cowok itu malah memilih pergi dari hadapan kedua sahabatnya.

Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Gibran tidak merasakan terik panas matahari karena cuaca saat ini mendung, membuatnya nyaman dengan semilir angin yang menerpa wajah tampannya.

Gibran membuka matanya ketika mendengar suara senapan panah menusuk sesuatu. Ia mendongkak kaget ketika melihat senapan itu berlumuran darah. Bukan! Ini bukan darahnya. Baunya sedikit menyengat dan amis seperti darah hewan, mungkin darah tikus?

Senapan itu menusuk tepat di atas kepala Gibran, tepatnya menusuk di batang pohon yang tadi di jadikan sandaran untuk Gibran. Kalau panahannya tidak tepat sasaran, mungkin panah itu sudah melukai wajah tampan cowok itu. Apa mungkin memang benar kalau Gibran itu sasarannya?

Gibran mengerutkan dahinya ketika melihat ada sebuah foto yang menggantung di panahan itu. Ia memegang foto itu karena ingin tahu siapa yang ada di dalamnya.

"NISA!" Gibran membulatkan matanya terkejut melihat foto Nisa yang sedang tersenyum itu di tusuk jarum. Ini artinya apa? Nisa benar dalam bahaya? Pikiran Gibran terus berkelana untuk mencerna kejadian ini.

Gibran mengalihkan pandangannya dan melalar setiap sudut taman yang cukup luas itu untuk memastikan siapa yang sengaja menancapkan panah itu. Cowok itu sedikit menyipitkan matanya untuk memastikan apa yang ia lihat itu benar. Ia melihat satu orang berpakaian serba hitam yang hanya terlihat matanya itu mengawasinya di belakang salah satu pohon rindang.

Sosok pria misterius itu segera berlari ketika melihat Gibran yang ingin mengejarnya. Langkah Gibran sedikit lambat akibat tubuhnya terasa lemas, bahkan sesekali ia terjatuh karena tidak bisa menopang tubunya.

"BRENGSEK LO SETAN!" Gibran mengacak rambutnya frustasi karena ketinggalan jejak.

———

Motor yang di kendarai Gibran, kini membelah jalan. Kecepatannya lebih kencang dari biasanya, namun Gibran cukup lihai membawanya walaupun kini sedang hujan deras. Penampilannya yang semula rapih, kini acak-acakan.

Kepala Gibran saat ini rasanya pusing seperti di hantam batu besar. Padahal itu semua karena dia belum sarapan serta badannya yang bersentuhan langsung dengan dinginnya air hujan. Badannya tanpa jaket membuat angin dingin leluasa menyentuh kulitnya.

Brakkk

"Arghhh!" motor Gibran kehilangan keseimbangan ketika tidak sengaja melindas batu kecil yang cukup licin di jalanan. Badannya kini sejajar dengan jalan. Matanya terasa ngantuk akibat pusing yang menetap di kepalanya membuat cowok itu berfikir bahwa dunianya akan berhenti saat itu juga.

————

Vote dulu, jangan lupa tinggalkan jejak sebelum pindah chapter menuju kematian Gibran

See You All♡♡♡

Anak Tunggal ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang