Chapter 32

44 5 0
                                    

Nisa berjalan menuju kamarnya dengan bantuan Gibran yang menuntunnya berjalan. Dokter rumah sakit sudah mengizinkan Nisa untuk pulang malam ini karena kesehatannya yang sudah membaik, walaupun tidak dengan penglihatannya.

Malam ini hujan disertai suara petir yang kencang membuat Nisa yang sedang duduk di pinggiran kasur itu ketakutan sehingga memeluk Gibran yang berada di sampingnya untuk mendapat perlindungan. Berada di dalam dekapan laki-laki itu sangat nyaman dan aman untuk Nisa.

"Gibran" panggil Nisa yang masih dalam dekapan Gibran.

"Nisa mau dengerin rekaman yang suster kasih buat aku." Nisa melepas rangkulan tangannya dari Gibran.

Tanpa penolakan, laki-laki itu mengeluarkan alat perekam suara dari saku jaketnya, lalu memencet tombol start yang menandakan suara di dalamnya akan mulai terdengar. Gibran meletakkan alat perekam suara itu di telapak tangan Nisa hingga gadis itu memegangnya erat.

"Ini sudah merekam? Oh iya. Hai Nisa, anak Mama!"

Suara Astrid kini terdengar melalui perekam suara itu. Nisa yang mengenal siapa pemilik suara itu langsung tersenyum tipis. Kini ia sangat merindukan Astrid di kehidupannya.

"Saya tahu kalau saya sangat tidak pantas di panggil Mama sama kamu. Saya hanya istri dari papa kandung kamu. Saya seorang wanita yang egois, hanya ada kebencian di dalam diri saya hingga bisa melukai gadis baik seperti kamu. Uhukk... Uhukk... "

Suara Astrid yang begitu halus membuat hati Nisa terasa teriris. Apalagi saat mendengar wanita paruh baya itu seperti menahan sakit akibat penyakitnya, gadis itu semakin merasa bersalah atas kepergian Astrid.

"Tapi, mungkin ini terakhir kalinya saya di panggil mama sama kamu. Kamu akan bahagia tanpa mama yang gila ini, mama yang selalu nyakitin kamu. Mama minta maaf atas semua yang mama lakuin terhadap kamu. Mama harap kamu bisa maafin mama."

Air mata Nisa meleleh begitu saja dengan derasnya. Cuaca dingin, derasnya suara air hujan yang bersamaan dengan suara Astrid yang terdengar membuatnya semakin sedih dan terpukul. Rasa sesak di dadanya kian menyeruak. Gibran yang melihatnya itu tidak tega dengan Nisa yang terus meneteskan air mata. Laki-laki itu pun mengusap pundak Nisa untuk menenangkan.

"Mama berharap kalau oprasi pendonoran mata mama ini berhasil agar kamu hidup bahagia tanpa merasakan kegelapan. Dan satu lagi.... "

Suara Astrid seketika terhenti sejenak. Sesekali terdengar suara batuk ada sepertinya saat itu Astrid sedang menahan sakit.

"Kamu harus bahagia dengan mama kandung kamu-"

"-Nata."

Suara Astrid benar-benar berhenti saat itu juga setelah terdengar benda jatuh. Sepertinya itu adalah alat perekam suara yang tidak kuat Astrid pegang hingga jatuh ke lantai dan berhenti merekam. Mungkin saat itu juga saat-saat terakhirnya Astrid yang tidak kuat lagi menahan sakit.

"Gibran, kenapa reakamannya berhenti?" Alis Nisa menaut bingung karena suara Astrid tidak lagi terdengar di telinganya.

Gibran mengambil alih alat perekam suara itu dan memeriksanya, namun rekaman itu memang sudah berakhir sampai di situ.

"Rekamannya sudah berakhir, Nisa."

Nisa meneteskan air matanya kembali. Ia sangat merindukan Astrid walaupun Astrid itu selalu jahat terhadapnya, namun Nisa juga sadar kalau Astrid seperti itu karena kehilangan anak kandungnya yang meninggal secara tidak langsung karenanya.

"Tuhan, Nisa mohon. Kembalikan mama Astrid kepada Nisa, Nisa sayang mama!" air mata Nisa semakin deras membasahi pipinya, bahkan sesekali ia sesegukan karena tangisannya.

Anak Tunggal ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang