Alvi mendorong kursi roda yang sudah di duduki oleh Nisa menuju ruang operasi. Sore ini Nisa akan melakukan operasi matanya. Terlihat senyuman yang merekah di wajah gadis itu karena sebentar lagi ia akan kembali bisa melihat apa yang ada di sekelilingnya.
Begitupun dengan Gibran. Remaja laki-laki itu juga ikut senang kalau Nisa bisa melihat lagi. Sementara Alvi, ia hanya menatap datar apa yang ia lihat. Alvi terus memikirkan apa yang terjadi siang tadi ketika ia menemui Nata, juga kejadian malam lalu ketika ia melihat Astrid sedang kesakitan dengan penyakitnya dan rela ingin mendonorkan mata untuk Nisa.
"Om, bukannya ruang oprasinya di sini ya?" Gibran membuyarkan lamunan Alvi ketika ia melihat Alvi mendorong kursi roda itu melewati ruang oprasi yang akan mereka tuju.
Alvi yang tersadar dari lamunannya itu menghentikan langkahnya. Ia mengusap rambutnya kasar dan menghembuskan napas berat. Wajahnya menunjukkan kalau ia sedang memikirkan berbagai hal.
"Papa, Are you okay?" tanya Nisa.
"Papa gak apa-apa. Kamu udah siap oprasi?" tanya Alvi dengan senyum tipis di bibirnya.
"Siap Pah! Oh iya, kalau boleh tau siapa orang baik yang mau mendonorkan matanya buat Nisa?" tanya Nisa membuat Alvi tertegun tidak bisa menjawab.
Belum sempat menjawab, seorang dokter wanita keluar dari ruang oprasi itu membuat Gibran dan Alvi menoleh.
"Maaf, kita tidak bisa melakukan operasi." ucap dokter membuat Gibran dan Alvi menautkan alisnya penuh tanya.
"Kenapa dok?" tanya Gibran.
"Jatuhnya pasien dari ketinggian dan penyakit yang di derita pasien, tidak bisa lagi kami sembuhkan. Dengan berat hati, saya harus mengatakan kalau pasien sudah meninggal." Jelas dokter.
"Gak mungkin."
Jantung Alvi berdegup kencang. Tangannya refleks menutup mulutnya dan matanya ingin sekali mengeluarkan air mata. Laki-laki itu sudah berusaha merawat Astrid selama wanita itu ada di rumah sakit. Wanita itu mendapatkan perawatan terbaik di rumah sakit ini, namun takdir berkata lain. Wanita itu memilih pulang ke Sang Pencipta.
Tiga suster keluar dari ruang oprasi itu seraya mendorong brankar berisi Astrid yang sudah ditutupi oleh kain putih menuju ruang mayat. Gibran yang melihat sedikit wajah Astrid yang tidak tertutupi kain itu terkejut. Ia langsung beropini kalau Astrid-lah yang akan mendonorkan matanya untuk Nisa.
"Ini dari pasien, katanya untuk Nisa." Satu orang suster memberikan sebuah alat perekam suara kepada Gibran, lalu melanjutkan langkahnya untuk mendorong brankar.
"Apanya yang buat aku? Dari siapa? Siapa pasien itu Gibran, Pah? Aku gak bisa lihat." ucap Nisa yang terlihat panik setelah mendengar pasien itu sudah meninggal.
"Jadi yang mau mendonorkan matanya untuk Nisa itu tante Astrid?" Gibran menatap penuh tanya kepada Alvi yang sudah duduk di atas lantai sana.
Alvi tidak menjawab. Laki-laki itu terlihat sangat sedih atas kepergian mantan istrinya. Ia merasa bersalah karena sebelum Astrid meninggal, hubungannya dengan wanita itu tidak baik-baik saja perihal masalah sewaktu Astrid mengurung Nisa di gudang.
Sedangkan Nisa, gadis itu mengeluarkan air mata tidak percaya dengan kenyataan pahit ini. Walaupun Astrid sering berlaku tidak baik kepadanya selama ini, ia tetap menyayangi Astrid selaku ibu sambungnya.
"Gak mungkin kalau Mama meninggal!"
"Ini semua bohong kan, Gibran?"
"INI SEMUA GAK MUNGKIN!"
Air mata Nisa mengalir deras di pelupuk pipinya. Rasa sesak di dadanya kini terasa membuat isakan tangis gadis itu beberapa kali terdengar.
Entahlah kenyataan apa ini. Belum juga Nisa menjenguk Astrid ketika wanita itu sakit, kini mendengar kabar kalau Astrid sudah tiada. Gadis itu merasa bersalah karena ia menganggap kalau Astrid jatuh dari ketinggian waktu itu gara-gara dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Tunggal ✔
Teen FictionSeorang gadis yang berusaha kuat diatas sulitnya menjalani kehidupan dengan berjuang sendiri. Anak tunggal itu tidak mudah. harus menjadi kakak untuk diri sendiri, juga menjadi adik untuk diri sendiri. Dan yang pastinya menjadi satu-satunya harapan...