Nisa menundukkan kepalanya. Rasa sesak di dadanya kian menyeruak. "Aku udah tahu semuanya pah." gumam gadis itu yang masih bisa di dengar oleh Alvi, Gibran dan Kaffa.
"Kenapa Papa sembunyiin semuanya dari aku?" Nisa mendongkak untuk bertatapan langsung dengan Alvi.
"Aku kira Mama Astrid adalah Mama kandung aku, tapi ternyata nggak. Aku kira Mama selalu marah sama aku karena memang dia nggak suka kalau aku deket sama orang lain, ternyata dia punya dendam sama aku. Secara gak langsung aku menjadi penyebab kematian Anak Mama karena ketika aku masih berumur lima tahun, aku buat lantai tangga rumah licin pas aku main dan akhirnya diinjak sama Mama yang masih gendong Anak Mama hingga mereka jatuh dari tangga. Anak Mama kehilangan nyawanya dan rahim Mama bermasalah sampe gak bisa punya anak lagi." Nisa menghentikan ucapannya sejenak dan mengatur nafas karena sedari tadi meneteskan air mata hingga sesegukan.
Gibran dan Kaffa yang mendengar penuturan Nisa itu dibuat terkejut. Mereka berdua tidak menyangka kalau kenyataan itu memang benar adanya.
"Semenjak Mama kehilangan anak kandungnya dan juga tidak bisa mempunyai anak, kondisi psikolog Mama jadi terganggu. Dia begitu membenci aku, dan juga orang di sekitar aku yang sayang sama aku." Nisa terus mengingat kejadian dimana Alvi dan Astrid bertengkar hebat dan mengatakan kebenaran itu semua ketika Nisa berada di dalam gudang pada saat itu. Gadis itu menatap tepat di manik mata Gibran yang juga sedang menatapnya.
"Mama benci juga sama Gibran" Nisa mengambil nafas panjang untuk menenangkan perasaannya.
"Maafin Papa. Papa udah nyembunyiin semuanya dari kamu, Papa gak tahu harus kayak gimana. Papa cuma bisa menyayangi kamu semampu Papa ini." Alvi mendekatkan dirinya kepada Nisa dan langsung mendekap tubuh gadis itu dengan kasih sayang.
"Maafin Papa, gak bisa jagain kamu dari jahatnya Astrid."
Tidak terasa air mata Alvi ikut meleleh membasahi pipinya, segera ia menghapus jejak air matanya karena tidak ingin terlihat lemah di depan putri satu-satunya itu.
Mereka mengurai peluknya. Alvi mengusap jejak air mata di pipi Nisa. "Anak Papa jangan nangis."
Senyum manis kini terukir di bibir Nisa. "Pah" panggilnya dengan suara sedikit serak.
"Hm?"
"Nisa mau peluk Mama Astrid, boleh?" tanya Nisa dengan binar di matanya.
"Tapi...." Alvi menghembuskan napas berat.
"Sekali aja Pa, Nisa mohon"
Alvi menganggukan kepalanya pasrah dan segera memanggil perawat yang kebetulan lewat untuk membukakan pintu ruangan Astrid.
Nisa mulai mendekat ke arah Astrid yang hanya diam dan melangkah ke arahnya. Astrid terlihat sangat pucat dengan boneka berukuran bayi senantiasa berada di tangannya.
"Mama" ucap Nisa yang kemudian memeluk Astrid.
Ekspresi Astrid berubah menjadi seperti orang marah. Astrid mondorong tubuh Nisa kencang hingga membuat tubuh gadis itu terhuyung ke lantai dan memekik kesakitan.
Sontak ketiga lelaki yang tak lain Alvi, Gibran dan Kaffa membulatkan matanya kaget. Segera Gibran membantu Nisa untuk bangkit.
"DASAR PEMBUNUH! PASTI KAMU MAU BUNUH ANAK SAYA INI YA?" dengan giginya yang bergemelatuk, Astrid menatap Nisa nyalang.
"Tenang ya sayang, Mama bakal jagain kamu dari bocah pembunuh itu." Astrid yang sudah hilang warasnya itu menimang boneka yang berada di pelukannya.
Astrid segera menjauh dan berlari menghindari semuanya.
Oh shit, dia lari ke tangga menuju rooftop. Terjadilah kejar-kejaran disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Tunggal ✔
Teen FictionSeorang gadis yang berusaha kuat diatas sulitnya menjalani kehidupan dengan berjuang sendiri. Anak tunggal itu tidak mudah. harus menjadi kakak untuk diri sendiri, juga menjadi adik untuk diri sendiri. Dan yang pastinya menjadi satu-satunya harapan...